Jumat, April 26, 2024

Proyek Kebangkitan Islam dan ‘Anak-Anak Rifaa’

Andar Nubowo
Andar Nubowo
Sekjen Public Virtue Institute (PVI) Jakarta, Mahasiswa S3 Filsafat dan Epistemologi Ecole Normale Superieure (ENS) Lyon Perancis

Pada 18 November lalu, organisasi Islam modernis terbesar di Indonesia, bahkan di dunia, Muhammadiiyah, merayakan milad ke-109 tahun. Perayaan ini tidak hanya memperingati hari lahir Muhammadiyah secara administratif saja, tetapi lebih dari itu, merayakan keberhasilan ‘anak-anak Rifaa’ di Indonesia, sebuah istilah yang dipopulerkan oleh Guy Sorman dalam bukunya Les Enfants de Rifaa: Musulmans et Modernes [Anak-Anak Rifaa: Muslim dan Modern], Paris: Fayard (2003), dalam mewujudkan gagasan pembaharuan Islam, sebuah gerakan sosial dan institusi Islam yang kokoh dan mapan di Indonesia.

Berdirinya Persyarikatan Muhammadiyah, kado istimewa bagi gerakan kebangkitan Islam (nahdlah), yang digagas oleh Rifaa Rafi Tahthawi di Mesir pada 1930-an. Kado ini menjadi istimewa karena Persyarikatan Muhammadiyah tidak lahir di tanah Mesir atau negeri Arab lainnya seperti yang diharapkan oleh Rifaa, tetapi kata Sorman, “di sebuah negeri yang jauh dari Mesir, peradaban Arab Islam, dan peradaban Eropa”.

Muhammadiyah tidak saja berhasil kembali memadukan Islam, modernitas, dan ilmu pengetahuan–yang dikembangkan dan berkembang di dunia Barat, setelah kejatuhan Andalusia Islam pada abad ke-15.

Muhammadiyah juga berhasil mewujudkan apa yang disebut Sorman sebagai manifestasi sempurna Islam de lumiere, Islam yang mencerahkan. Tidak salah jika, persyarikatan dengan ribuan amal usaha dan jaringan tersebar di Indonesia dan mancanegara bersama intelektual Muslim pembaharu Indonesia seperti Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid (Gus Dur), dan Ahmad Syafii Maarif disebut sebagai ‘anak-anak Rifaa’, yakni mereka yang mewarisi gagasan nahdlah 200 silam di Mesir.

Gerakan Nahdlah 

Gerakan Nahdlah dipicu oleh buku “Takhlish al Ibriz fi Talkhish Baaris” [Mutiara Elok dalam Ringkasan Kota Paris], karya Syeikh Rifaa Rafi’ al Thahthawi. Rifaa adalah seorang imam lulusan Al-Azhar yang diutus oleh pasha Mehmet Ali atau Muhammad Ali untuk menjadi imam para pelajar Mesir yang mendapat beasiswa studi di Paris pada 1826 M. Selain itu, ia juga ditugasi belajar bahasa Prancis dan terjemahan.

Selama 5 tahun di Paris (1826-1831), ia mengamati secara sosiologis dan antropologis peradaban dan kebudayaan Paris atau Prancis pada abad awal ke-19 itu dengan rasa takjub dan kekaguman: sejarah, masyarakat, sistem norma, sosial, budaya dan ilmu pengetahuannya, serta institusi dan organisasi sosial, politik dan ekonominya.

Di buku yang baru diterjemahkan dalam bahasa Perancis pada tahun 1957 oleh Anwar Louca, seorang Kristen Koptik Mesir, ia menulis perjalanannya dengan antusias, “selama perjalanan dari Mesir ke Paris dan keanehan-keanehan yang kami lihat di perjalanan atau selama menetap di kota yang dinamis dengan berbagai macam ilmu pengetahuan dan hikmah, seni dan keadilan yang memukau dan kesetaraan yang aneh menakjubkan, seharusnya hal ini semua menjadi ciri utama di negara-negara Islam atau negeri-negeri yang menerapkan syariat Nabi”.

Seberedarnya di Mesir dan negeri Muslim lainnya, buku Rifaa memicu lahirnya gerakan nahdlah –kebangkitan. Mesir dan Tunisia, misalnya, melakukan reformasi besar-besaran di bidang pendidikan, teknologi, dan juga organisasi militer. Inti dari reformasi itu adalah mengadopsi ilmu pengetahuan Barat yang gemilang dan sembari tetap berpijak pada pemahaman Islam yang progresif. Karena itu, di mata Sorman, Rifaa adalah seorang humanis yang beriman.

Kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, dan peradaban Barat yang humanis, dalam pemahaman Rifaa, dapat dikembangkan di negerinya Mesir dan dunia Islam tanpa meninggalkan ajaran fundamental Islam. Karena itu, reformasi yang digagasnya selalu ditautkan dan diberangkatkan dari pemahamannya tentang Qur’an.

Pandangannya tentang hak perempuan untuk memperoleh pendidikan di Mesir sebagaimana di Perancis dan Barat pada waktu itu bertolak pada pemahamannya bahwa Al-Qur’an menganut prinsip kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, termasuk hak pendidikan. Dalam alur pemahaman progresif ini, Rifaa juga menolak poligami di dalam Islam. Baginya, ayat yang dijadikan argumen ulama tradisionalis yang memperbolehkan seorang lelaki untuk menikahi maksimal 4 istri (Surat al-Nisa, ayat 3) seharusnya digandengkan dengan ‘syarat berlaku adil’ yang membatasi praktik poligami dan berat dipenuhi.

Selanjutnya, Rifaa memahami bahwa prinsip perkawinan dalam Islam adalah ikatan perkawinan suci yang agung, sebagaimana dijelaskan Al-Quran dalam surat Al-Nisa ayat 21 yang berbunyi, “Atas hak apa kamu mengambil kembali (harta istri yang diceraikan) padahal kalian telah bergaul satu sama lain (sebagai suami istri). Dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil perjanjian (ikatan perkawinan) yang kuat darimu?.”

Ketika menikah, Rifaa membuat surat perjanjian tidak poligami kepada istrinya. Lebih lanjut, Rifaa juga berpendapat bahwa jilbab bagi perempuan – menutup tubuh kecuali muka dan tangan, tidak wajib. Baginya, yang lebih penting dari itu adalah bagaimana mendidik permpuan Muslim dengan ilmu pengetahuan supaya dapat menjadi pribadi yang bermanfaat bagi masyarakatnya.

Dalam konteks reformasi yang lebih luas di bidang sosial, budaya, dan politik, Sorman menyejajarkan observasi Rifaa pada peradaban Paris (Barat) dengan Alexis de Tocqueville, pemikir liberal Perancis, yang mencatat amatannya pada demokrasi di Amerika Serikat pada 1848.

Jika Rifaa dimotivasi pada keyakinan bahwa Islam itu bisa sejalan dengan gagasan modernitas dan kemajuan, maka Tocqueville digerakkan oleh sebuah pertanyaan apakah liberalisme yang ia yakini dapat berkembang dalam sebuah masyarakat Amerika Serikat yang baru tumbuh di sana. Karena itu, selain seorang humanis yang beriman, Rifaa Thahtawi juga bisa disebut sebagai ‘Tocqueville dari Timur’.

Gagasan dan gerakan Nahdlah itu telah berlangsung sejak hampir 200 tahun silam, tetapi mengapa dunia Islam belum bangkit dan maju? Di Mesir, negara di mana benih-benih nahdlah tumbuh, gerakan kebangkitan, modernisasi, dan reformisme Islam Rifaa ditenggelamkan oleh sistem otoritarianisme sejak 1950 dan juga islamisme (Islam politik) yang sama-sama tidak menghargai demokrasi, kebebasan berpendapat, dan kemajuan.

Seperti yang dicatat oleh Sorman, hanya 2 persen dari populasi Muslim dunia yang hidup sejahtera secara ekonomi, selebihnya umat Islam jatuh dalam kemiskinan dan keterbelakangan, di tambah konflik, perang saudara, radikalisme dan terorisme.
Kondisi ini, lanjut Sorman, disebabkan oleh ‘Perang Tujuh Ratus Tahun’ yang berlangsung di dunia Muslim, yakni sebuah konflik dan perpecahan di dalam tubuh umat Islam dan munculnya fatwa-fatwa jihad, murtad, dan kafir Ibn Taymiyah pada 1258.

Ibn Taymiyyah dikenal sebagai Bapak Fundamentalisme Islam. Sebelumnya, Khalifah Al-Qadir di Baghdad menerapkan kredo ideologi keagamaan bahwa ‘Al-Qur’an itu bukan makhluk’ pada 1017 atau empat abad setelah Nabi Muhammad wafat.

Selanjutnya, dunia Islam diwarnai sistem mullakrasi (kepemimpinan para ulama) yang menyebabkan skisma teologis dan hukum di tubuh umat Islam; Suni vs Syiah, Jabariyah vs Qadariyah, Mu’tazilah vs Asy’ariyah dan sebagainya. Mazhab itu saling menindas satu sama lain, ketika sebuah madhab keagamaan didukung oleh sebuah rejim dan atau menjadi ideologi negara. Dus, sejak abad ke-13, Dunia Islam terbelah dalam perang tafsir dan ideologi ini sejak saat itu hingga saat ini.

Perang Tujuh Ratus Tahun itulah yang sampai sekarang merundung dunia Muslim dalam kemalangan dan ketertinggalan. Umat Islam terbelah dalam kotak-kotak ideologi, pemikiran, dan sekte. Reformasi yang dicetuskan dan digerakkan Rifaa di Mesir ditolak oleh ulama konservatif Islam di Mesir (Universitas Al-Azhar).

Sebagai teolog lulusan Al-Azhar, pandangan reformis dan progresif Rifaa dianggap bertentangan dengan Islam. Oleh ulama konservatif, Rifaa dituduh ‘makan babi dan mengunjungi para pelacur selama di Paris’. Bagi kelompok konservatif ini, semua perempuan Perancis adalah pelacur.

Setelah Pasha Muhammad Ali mangkat dan digantikan oleh Pasha Abbas yang konservatif, Rifaa diusir dari negerinya dan mengungsi selama lima tahun di Khartoum Sudan dan mengajar di sekolah dasar.

Setelah Pasha Abbas meninggal pada 1854, ia kembali ke Mesir hingga meninggal dunia pada 1874. Pemikirannya menyinari Mesir hingga tahun 1950, tahun ketika diktatur militer Gammal Nasser berkuasa melalui kudeta. Dalam poin ini, Sorman mencatat bahwa matinya semangat kritis di dalam tubuh umat Islam adalah dampak paling buruk dari perang tujuh abad itu: tumbuhnya konservatisme, fundamentalisme, dan islamisme.

Karena itu, apa yang dilakukan Rifaa bagi kebangkitan Islam dan dunia Islam dengan ‘hanya’ menterjemahkan buku-buku bahasa Perancis ke Bahasa Arab pada saat itu adalah bentuk mimetisme atau menyadur dan meniru kemajuan Barat, tanpa memahami mengapa Barat bisa maju.

Di mata Sorman, spirit atau elan vital kritis inilah yang menjadi sumbu pencerahan, penemuan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan kemajuan peradaban Barat. Kritisisme inilah yang tidak ditemukan dalam peradaban Islam. Inilah batasan-batasan reformasi dan modernisasi Islam yang digerakkan oleh Rifaa dan pendukung utamanya Pasha Muhammad Ali: meniru hasil peradaban Barat, bukan mempelajari proses dan mengidupkan kritisisme.

Karena itu, modernisasi di Mesir pada masa Pasha Ali hanya mencangkok Barat di negerinya, yang berujung pada kegagalan. Untuk mengejar ketertinggaan ekonomi dan teknologi, Pasha Ali membangun pabrik tekstil dengan mengimpor mesin-mesin konveksi modern dari Inggris. Hanya tahun pertama pabrik ini menghasilkan untung, setahun berikutnya proyek tekstil ini gagal karena mesin-mesinnya rusak dan tidak ada tenaga terampil dari putra Mesir yang dapat memperbaikinya. Menanggung malu, Pasha akhirnya menyalahkan mogoknya mesin tekstil itu pada Inggris yang dianggap berkonspirasi mematikan mesin tekstil yang diimpor mahal itu.

Reformasi pendidikan di Mesir yang dilakukan Rifaa dinilai Sorman bersifat instrumental, tidak bersifat epistemologis dan metodis. Rifaa atas dukungan Pasha Ali, misalnya, membangun sekolah laki-laki dan perempuan, tetapi tidak melakukan reformasi sistem dan metode pendidikan dan pengajaran di Mesir. Ia tetap mempertahankan sistem pendidikan tradisional agama, yang bertumpu pada hafalan, bukan analisa kritis. Dalam sistem tradisional ini, seorang guru tidak bisa didebat atau dibantah argumennya oleh seorang murid.

Metode itu luput dari reformasi Rifaat, sehingga sekolah-sekolah publik yang didirikan negara tidak berbeda dengan sistem pendidikan dan pengajaran di sekolah-sekolah agama tradisional: hafalan, dan anti kritisisme, dan keterbukaan. Hal inilah mengapa, di masa sekarang ini, Mesir dan umumnya dunia Islam menyaksikan generasi muda Islam yang anti kritik, pun di kalangan terpelajarnya, sehingga mereka gagal berinovasi dan hanya sekedar memanfaatkan inovasi teknologi Barat sambil membuang jauh-jauh peradaban Barat di bidang kemanusiaan, sosial, dan politik lainnya.

Sebagian generasi muda Islam sekarang gandrung pada gagasan politik Islam atau Islamisme yang digagas oleh Abu A’la Maudludi (ulama islamis Pakistan) dan Sayyed Qutb (Ikhwanul Muslim Mesir) yang mencita-citakan negara Islam dan menolak demokrasi dan modernitas Barat. Tumbuhnya, insinyur-insinyur Islam’ dewasa ini, kata Sorman, juga adalah dampak sampingan dari gerakan Rifaa yang tidak mereformasi spirit dan nalar kritisisme dalam proyek pembaharuan dan kebangkitannya. Ya, tak ada gading yang tak retak.

‘Anak-anak Rifaa’

Meski demikian, Rifaa melahirkan barisan panjang anak-anak ideologisnya. Anak-anak itu (baik yang liberal, sekuler, nasionalis, dan Islam) bertebaran dalam ruang dan waktu yang luas dan tak terbatas, dari dulu hingga sekarang ini. Mereka mentransformasikan dan mengimplementasikan gagasan dan gerakan Rifaa di dunia Islam untuk reformasi Islam dan modernisasi dunia Islam. Rifaa misalnya menginspirasi Kheiruddin Al Tunisi — birokrat dan pasha di Tunisia, Syeikh Jamaluddin Al-Afghani, dan juga Muhammad Abduh menyuarakan pembaharuan dan pencerahan Islam : memadukan Islam, ilmu pengetahuan, dan modernitas.

Gerakan pembaharuan ini juga mengalir hingga jauh, ke Hindia Belanda atau Indonesia. Dengan poros intelektual Kairo-Nusantara yang terbentuk pada akhir abad ke-19, dan juga penerbitan Majalah Al-Urwatul Wutsqa di Paris (1884) dan Majalah Tafsir Al Manar oleh murid Abduh, Syeikh Muhammad Rasyid Ridha, Muslim di Indonesia terinspirasi untuk mengorganisir diri melakukan pembaharuan dan sekaligus mencita-citakan kemerdekaan dan kebangsaan di Negeri Bawah Angin (Bilaad al Jawi). Dalam alur intelektual reformis Islam inilah, Muhammadiyah dan gerakan pembaharuan Islam di Nusantara tumbuh dan berkembang.

Buku yang ditulis Sorman pada 2003, dua tahun setelah gempar terorisme 9/11 dan kampanye militer Amerika Serikat dan aliansi Barat di Afghanistan dan Irak, memberikan gambaran bahwa dunia Islam itu tidak monolitik anti Barat dan radikal, tetapi terbagi dalam dua kutub, yakni Muslim tapi modern, dan Islamis konservatif. Muslim yang modern, terbuka, dan kosmopolitan adalah ‘anak-anak Rifaa’ yang gandrung pada Islam sekaligus gagasan kemajuan, ilmu pengetahuan, dan modernitas. Sedangkan yang terakhir adalah mereka yang dipengaruhi islamisme dan militantisme konservatif Sayyid Qutb yang dihukum mati oleh rejim otoriter Gamal Abdel Nasser pada 1950-an.

Menghadapi globalisasi dan modernitas, ‘anak-anak Qutb’ menempuh jalan fanatisme, radikalisme, dan kekerasan atas nama Islam. Di mata mereka, peradaban modern adalah jahiliyah modern yang menyimpang dari Islam. Untuk itu, ‘anak-anak Qutb’ diwajibkan untuk memeranginya dan menggantikannya dengan peradaban modern yang bersumber dari ajaran Islam.

Sebaliknya, ‘anak-anak Rifaa’ percaya bahwa umat Islam harus mengadopsi demokrasi dan modernitas. Mereka melawan fanatisme keagamaan, ideologi totaliter dan kaum tirani dan diktatur politik. Dalam dua gambar besar kontras dunia Islam inilah, Sorman menawarkan opsi kepada Dunia Barat untuk menjalin kerja sama dengan ‘anak-anak Rifaa’ ini, bukan kepada para tiran, diktator, dan apalagi kaum Islamis.

Guy Sorman, profesor dan penulis ateis, liberal dan berdarah Yahudi Perancis, mengkritik kebijakan Barat atas dunia Muslim. Menurutnya, kebijakan Barat itu lebih berpijak pada kompromisme politik untuk menjaga dan mempertahankan kepentingan Barat. “Ini kesalahan sangat fatal Barat bekerja sama dengan para tiran dan diktatur!” kritik Sorman. Baginya, hanya kebebasan umat Islam dari para islamis, diktator, kebodohan, dan kemiskinanlah yang akan membangun harmoni dan keamanan dunia Barat.

Sorman optimis dengan proposalnya, sebab ia menjumpai anak-anak Rifaa itu di Maroko, Indonesia, Mesir, Turki, Kuwait, Arab Saudi, Iran, dan Bangladesh. Anak-anak Muslim dan modern inilah yang menjadi masa depan hubungan Islam dan Barat yang lebih baik, harmonis, dan saling bekerja sama.

Lebih khusus lagi, Sorman menemukan dan menyaksikan bahwa ‘anak-anak Rifaa’ di Indonesia berhasil menjadi elemen Islam Pencerahan di Indonesia; Muhammadiyah, NU, dan intelektual progresif pembaharu Muslim yang pro demoktasi, keterbukaan, dan kebebasan sipil. Ia menolak trikotomi Geertz santri, priyayi, dan abangan pada 1950-an.

Trikotomi itu berasal dari imajinasi orientalisme Barat yang gagal melihat perkembangan Islam di Indonesia, dengan seolah-olah kaum abangan dan priyayi itu adalah agama Jawa yang bukan Islam. Meminjam istilah antropolog Perancis Claude Levis Strauss, Sorman menyatakan bahwa buku The Religion of Java adalah ‘dongeng’, bukan riset atau temuan antropologis.

Lagi-lagi dengan kritis Sorman mencatat, trikotomi itu tidak akan menjadi berpengaruh di dunia akademik, jika Clifford Geertz bukan orang Amerika dan bukunya tidak dicetak di sana. Padahal, temuan Geertz tidak lebih dari imajinasi dunia Barat atas dunia Timur dan juga bias Bali-centrisme Geertz dalam melihat Jawa. Bali centrisme ini menempatkan Geertz melihat Bali sebagai pusat peradaban Jawa yang non-Muslim, sehingga ketika Jawa mengalami islamisasi sejak ratusan tahun silam dianggap telah keluar dari superioritas Bali yang Hindu.

Kata Sorman, akhirnya, Geertz sendiri setelah tahun 1980 mengakui bahwa trikotomi itu tidak relevan untuk melihat perkembangan Islam di Jawa, terutama bagaimana ‘Islam civil’ yang dikembangkan ‘anak-anak Rifaa’ itu berhasil menampilkan Islam yang padu padan dan selaras dengan modernitas, demokrasi, dan hak asasi manusia serta ilmu pengetahuan dan teknologi.

Untuk itu, saya banyak berharap dan berdoa kepada ‘anak-anak Rifaa” di Indonesia, khususnya garis Muhammadiyah. Semoga obor pembaharunya terus langgeng dan abadi. Selamat Milad Muhammadiyah!

Andar Nubowo
Andar Nubowo
Sekjen Public Virtue Institute (PVI) Jakarta, Mahasiswa S3 Filsafat dan Epistemologi Ecole Normale Superieure (ENS) Lyon Perancis
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.