Jumat, Maret 29, 2024

Pro Jokowi Vs Kontra Jokowi, Perang Abadi Netizen?

Arli Aditya Parikesit
Arli Aditya Parikesit
Pengajar di STAI Al-Hikmah, Jakarta. Meraih PhD bidang bioinformatika dari Universitas Leipzig, Jerman.
Presiden Joko Widodo (kedua kanan) didampingi Wapres Jusuf Kalla (kiri) berjalan menuju ruang VVIP setibanya di Bandara Internasional Halim Perdanakusuma, Jakarta, Jumat (19/2). Presiden Joko Widodo beserta delegasi tiba kembali di Tanah Air usai melakukan lawatan ke Amerika Serikat untuk menghadiri KTT ASEAN-AS, berkunjung ke Silicon Valley dan menjadi pembicara utama dalam US-ASEAN Business Council. ANTARA FOTO/Widodo S. Jusuf/nz/16.
Presiden Joko Widodo dan Wapres Jusuf Kalla. ANTARA FOTO/ Widodo S. Jusuf

Dari sudut pandang politik, konstelasi perpolitikan kita sekarang ini seakan-akan tidak pernah bergerak dari Pemilu Presiden 2014. Kegaduhan pilpres antara pendukung Joko Widodo-Jusuf Kalla yang tergabung ke Koalisi Indonesia Hebat (KIH) dan pendukung Prabowo-Hatta dari Koalisi Merah Putih (KMP) masih berlanjut.

Walau secara de jure partai yang berperan sebagai oposisi sekarang ini hanyalah Gerindra, masih banyak pihak yang nampaknya terdorong untuk melanjutkan kegaduhan tersebut. Upaya Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla untuk “menggembosi” KMP supaya bergabung dengan KIH sama sekali tidak meredam perundungan atau bully terhadap Presiden Jokowi sendiri.

Simak beberapa contoh perundungan terhadap Presiden Jokowi yang cukup luas diliput oleh media massa. Sewaktu Pemilu 2014, misalnya, Jokowi pernah berkata kalau sepak bola Indonesia tidak juara juga, beliau (saat itu) memeragakan potong leher ke diri sendiri. Pengamat sempat menyindir Presiden Jokowi bahwa sepak bola Indonesia sengaja dimatikan supaya Jokowi tidak termakan janjinya sendiri. Penulis senior Edy Effendi melalui akun twitter @eae18 menuduh Presiden Jokowi sebagai pembohong karena tidak memenuhi janji-janjinya pada kampanye Pemilu 2014.

Pelaku bully terhadap Presiden Jokowi yang paling terkenal di media sosial tentu saja Jon Riah Ukur Ginting alias Jonru, melalui akun twitter @jonru. Dalam blognya, Jonru menganggap semua kesederhanaan Presiden Jokowi hanya pencitraan belaka, dan Jokowi tidak konsisten. Walau pendukung Presiden Jokowi menuduh Jonru sebagai tukang fitnah, Jonru santai dan tidak mempedulikan tuduhan tersebut.

Foto Jokowi saat Tahun Baru 2016 di Raja Ampat, Papua, juga menjadi obyek perundungan. Ada pengamat yang menganggap hal tersebut sekadar pencitraan dan penipuan publik karena rekayasa komputer. Pendukungnya, termasuk sang fotografer, sontak menyerang balik. Sepulang dari Papua, Presiden Jokowi berpose bersama kodok-kodok di dekat sebuah kolam. Itu pun menjadi bahan perundungan dari para haters.

Hal yang membuat relawan Jokowi menjadi sangat tidak nyaman adalah diseretnya semua aspek perundungan ke arah ideologi. Segala isu dibawa ke situ. Jokowi dianggap pro-LGBT, liberal, dan komunis. Kontra Jokowi adalah islamis, kontra LGBT, kontra liberal dan komunis. Semua tuduhan tersebut berserakan di berbagai akun twitter maupun blog.

Jika dikaji secara mendalam, tuduhan tersebut absurd dan tidak masuk akal. Hal tersebut disebabkan komunisme dan liberalisme adalah ideologi yang sangat bertentangan. Di negara-negara Eropa, Partai Liberal dan Partai Komunis selalu berseberangan dalam hampir semua hal. Bahkan di negara komunis seperti Uni Soviet sejak zaman Josef Stalin, pendukung LGBT juga dikriminalisasi sebagai “pendukung borjuasi dan kapitalis Barat”.

Maka, menstigmatisasi pendukung Jokowi sebagai pro-LGBT, komunis, dan liberal sekaligus adalah contradictio in terminis. Namun oleh lawan politik Jokowi hal-hal tersebut distigmatisasi sebagai bagian dari Jokowi itu sendiri. Stigmatisasi seperti ini menandakan ketidakpahaman mereka terhadap ideologi politik dunia.

Kalau diperhatikan, dalam Nawa Cita Jokowi justru tidak menyebutkan atau tersirat mengenai isme-isme tersebut. Nawa Cita umumnya berfokus mengenai kebijakan pemerintahan, bukan hal-hal abstrak seperti ideologi. Di sini memang sebaiknya mengkritik Presiden Jokowi menggunakan kajian yang mendalam dan ilmiah, dengan begitu bisa lebih mencerahkan publik.

Kritik adalah sesuatu yang biasa. Namun akan lebih produktif jika diarahkan kepada kebijakan Presiden Jokowi sendiri, dan bukan kepada pribadi. Jika kebijakan Presiden Jokowi ada yang tidak sesuai kepentingan publik, tentu layak dikritisi dan diberi masukan agar kebijakan alternatif bisa diambil oleh pemerintah.

Tetapi jika ranah pribadi yang di-bully, hal ini tidak produktif dan tidak memberi pencerahan kepada publik sama sekali. Justru lawan politik Presiden Jokowi bisa mendapatkan simpati dengan cara yang lebih cerdas dan mencerahkan seperti yang dilakukan negara-negara Eropa. Salah satu caranya adalah membentuk semacam “kabinet bayangan”, yang bertugas mengawasi dan mengkritisi kebijakan pemerintah yang dianggap merugikan kepentingan publik.

Istilah “kabinet bayangan” memang tidak dikenal dalam sistem politik kita. Namun membentuk suatu tim solid yang mengawasi kebijakan pemerintah secara komprehensif dengan melakukan kajian mendalam tentu bisa lebih produktif dibanding sekadar mem-bully dan sumpah serapah di media sosial maupun media online. Fungsi pengawasan ini tentu saja tidak hanya ranah DPR/MPR, yang melakukannya secara formal sesuai hukum tata negara sebagai representasi dari partai politik, tapi juga ranah lembaga swadaya masyarakat dan komunitas adat misalnya.

Satu hal yang perlu dicatatat, masyarakat Indonesia acap punya karakter mellow, sehingga cenderung bersimpati dengan mereka yang dizalimi sudah menjadi teori yang terbukti kebenarannya. Terpilihnya Susilo Bambang Yudhoyono dan Jokowi sebagai Presiden salah satu faktor utamanya adalah perundungan/bully yang tanpa henti tertuju ke mereka, sehingga publik justru semakin bersimpati.

Maka, jika pihak oposisi memanfaatkan teori ini untuk keuntungan mereka, dengan cara yang benar, justru publik akan simpati dengan mereka juga.

Arli Aditya Parikesit
Arli Aditya Parikesit
Pengajar di STAI Al-Hikmah, Jakarta. Meraih PhD bidang bioinformatika dari Universitas Leipzig, Jerman.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.