Kamis, April 25, 2024

Privatisasi Air Menyelinap di Balik Utang

Hertasning Ichlas
Hertasning Ichlas
Koordinator Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Universalia

 

Mck-Sungai-Tercemar-Limbah-Pabrik-060815-ADB-1
Foto: ANTARA

Dalam artikel “The World Bank and Water Privatisation” pada September 2008, orang dalam Bank Dunia, Nuria Molina dan Peter Chowla, secara jujur menegaskan pengakuan Bank Dunia bahwa beberapa privatisasi, terutama air, telah gagal.

Pada pertemuan tahunan Bank Dunia bertajuk “Pekan Air” di Washington DC tahun 2008, Vice President Bank Dunia Kathy Sierra mengatakan, privatisasi bukan satu-satunya jawaban. Beberapa hari sebelumnya di New Delhi, pejabat senior Bank Dunia Shekhar Shah menegaskan Bank Dunia “learned the hard way” bahwa tidaklah tepat menyerahkan air kepada sektor swasta.

Namun, pengakuan terbuka paling heboh dari Bank Dunia terlihat dalam laporannya pada tahun 2003. Penganjur public private participation ini mengakui, swasta tidak cocok mengelola air sebab sulit memproyeksikan keuntungan — lantaran sektor air adalah juga barang sosial.

Artinya, orang bisa mati jika tidak ada air. Dan hak inklusif atas air tidak boleh dibatasi oleh nilai ekonomi. Sulit mencari untung di saat yang sama harus memberikan layanan sosial.

Privatisasi air secara global sebenarnya tidak berhasil. Hanya kurang dari 10 persen kota-kota besar dunia yang diprivatisasi. Sebagian privatisasi terjadi karena negara merasa sudah melakukan belanja publik yang besar dan memenuhi cakupan layanan 100 persen, sehingga kemudian menyerahkan urusan air kepada swasta sebagai operator.

Namun, harus diingat pula Bank Dunia sering punya wajah ganda dan ikut menari-nari dengan menggunakan terminologi publik seperti “hak atas air”. Terminologi sakral itu juga dipakai perusahaan-perusahaan swasta. Mereka mengakui air adalah hak dan berdalih yang mereka jual bukan airnya melainkan servis dan teknologi pengelolaannya. Termasuk belanja iklan dan pemasaran mereka yang alokasinya bisa 75 persen dari belanja perusahaan.

Screen Shot 2016-03-22 at 12.51.43 PM
Infografis: GEOTIMES/ Zulkifli Faiz

Pemain air perpipaan terbesar di dunia asal Prancis, Suez Lyonnaise des Eaux, menyatakan diri akan mundur dari sektor air karena tidak visible keuntungannya. Dalam kerangka satu-dua tahun ini ada 20 sampai 30 kota yang membatalkan, atau tidak melanjutkan, kontraknya dengan Suez.

Privatisasi air di Indonesia setelah reformasi ditandai masuknya program “Water Resources Sector Structural Adjustment Loan” (WATSAL). Program ini dirintis Bank Dunia sejak April 2008 disusul perjanjian pinjaman US$ 300 juta yang kemudian mengajarkan Indonesia menyerahkan urusan air dari tangan publik kepada swasta.

Wakil Presiden Boediono yang kala itu menjabat sebagai Kepala Bappenas adalah orang yang menandatangani WATSAL. Utang US$ 300 juta ketika itu dibagi tiga termin. Fase terakhir termin pembayaran utang ditahan oleh perjanjian Bank Dunia, yang menekan agar Indonesia membuat undang-undang sumber daya air baru yang membolehkan keterlibatan swasta.

Boediono kemudian membuat matriks yang membuka jalan liberalisasi air. Di matriks itu terdapat peta restrukturisasi PDAM dan sumber daya air. Di matriks itu pula terlihat mana saja PDAM yang akan diswastakan atau dijual sesuai public private partnership yang sekarang turut menyasar irigasi. Irigasi pertanian dianggap paling boros dan gratis.

Akhirnya korporatisasi juga terjadi di urusan sumber air irigasi. Perusahaan Tirta di Citarum, misalnya, tak lagi melayani publik tapi sudah full cost recovery dalam operasinya.

Anggota TNI membantu pembagian air bersih kepada warga di Desa Jatirunggo, Pringapus, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, Jumat (14/8). Sedikitnya 2.000 jiwa di desa tersebut mengalami krisis air bersih selama musim kemarau yang telah berlangsung sekitar dua bulan. ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/kye/15.
Anggota TNI membantu pembagian air bersih kepada warga di Desa Jatirunggo, Pringapus, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. ANTARA FOTO/ Aditya Pradana Putra

Air mulai mengalami komodifikasi ketika Bank Dunia menilai krisis air di Indonesia karena boros dan tidak efisien: penggunaan yang tidak disiplin. Untuk mendisiplinkan penggunaan air perlu memberikan harga ekonomi terhadap air. Pintu privatisasi dan standar-standar ekonomi kemudian terbuka lebar dari landasan krisis itu.

Di setiap public private partnership di Indonesia selalu ditandai dengan jaminan keuntungan dan jaminan pengembalian modal awal, sedangkan target dari kerja sama selalu bisa dikompromikan. Artinya, yang membikin kontrak sangat pro-swasta.

Kepala Badan Regulator Jakarta Kris Tutuko mengatakan, selama kontrak kerja sama tidak diubah atau dikoreksi, sulit untuk meningkatkan layanan publik sambil melihat air sebagai bisnis.

Dalam kontrak kerja sama, jika wanprestasi, pemerintah wajib membayar pinalti, termasuk future profit operator swasta. Itulah mengapa operator selalu membukukan untung Rp 200 miliar per tahun. Dengan begitu, jika dipotong di tengah jalan, Rp 200 miliar per tahun itu harus langsung dibayar sampai akhir kontrak.

Presiden baru Indonesia dan para pemimpin politik harus diingatkan keras bahwa kontrak sosial adalah perjanjian tidak tertulis antara warga negara dan pemerintahan demokratis. Warga negara membayar pajak untuk digunakan membiayai layanan publik dasar seperti air, sanitasi pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur.

Pemimpin politik kita harus berani menolak program-program donor yang cenderung “one size fits all”, demi mementingkan kualitas warga negara.

Laporan Utama majalah GeoTIMES No. 19, 21-27 Juli 2014

Hertasning Ichlas
Hertasning Ichlas
Koordinator Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Universalia
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.