Joe Biden telah empat bulan lalu dilantik sebagai Presiden Amerika Serikat ke 46 pada 20 Januari 2021. Joe Biden bersama pasangan wakil presiden Kamala Harris memenangkan Pemilu Presiden AS setelah mengalahkan petahana Donald Trump (4-7/10/2020).
Kemenangan Joe Biden (78 tahun) disebut banyak kalangan di dalam negeri AS sendiri dan mancanegara sebagai pertanda berakhir era Trump yang penuh gejolak dan kekacauan. Presiden Trump tidak hanya membangkitnya politik identitas, tapi juga pembelahan dan kegaduhan rasisme kulit putih terhadap kulit hitam; juga Latino (Hispanik) dan Asia, China khususnya
Komparasi Joe Biden-Trump
Secara retrospektif, tak kurang pentingnya, Presiden Donald Trump juga menampilkan sikap dan kebijakan anti-Muslim. Dia mengeluarkan Perintah Eksekutif Presiden (Executive Order 13769) yang secara resmi disebut untuk ‘protecting the nation from foreign terrorist entry into the United States’. Perintah Eksekutif itu yang juga disebut sebagai ‘Muslim ban’ (pelarangan Muslim) itu melarang masuknya Muslim dari enam negara: Iran, Iraq, Libya, Somalia, Sudan, Syria, dan Yaman. Ketika Perintah Eksekutif ini diberlakukan 27 Januari 2017, sekitar 700 pelancong yang sudah sampai di berbagai bandara AS dikembalikan ke negara masing-masing dan sekitar 700.000 visa AS yang diterbitkan untuk warga keenam negara itu dibatalkan.
Agaknya masih terlalu dini untuk membayangkan kebijakan Presiden Joe Biden secara komprehensif sepanjang masa pemerintahannya nanti. Oleh karena itu, negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim dan warga individu dan jamaah atau Muslim di negara-negara Eropa, Australia, India, China dan AS sendiri di mana mereka merupakan minoritas tidak perlu terjerumus ke dalam euforia penuh harapan para pemerintahan Joe Biden-Kamala Harris.
Meski demikian, rekam jejak Joe Biden dapat dilacak; yang sejauh menyangkut Islam sangat berbeda dengan Donald Trump. Nama terakhir ini jauh sebelum menjadi Presiden ke-45 AS berulangkali mengeluarkan pernyataan tidak bersahabat terhadap Muslim dan Islam. Trump antara lain menyatakan ‘masjid perlu ditutup’, ‘perlu membuat database Muslim untuk mengawasi’ dan ‘migran Muslim boleh jadi adalah lasykar ISIS’.
Rekam jejak Presiden Joe Biden nampaknya tidak memperlihatkan sikap bermusuhan terhadap Islam dan Muslim. Selama dua kali masa jabatan sebagai Wakil Presiden AS ke-47 (2009-2017), Biden bersama Presiden Barack Obama memberikan banyak gesture bersahabat dengan Islam dan Dunia Muslim. President Trump sebaliknya dalam banyak kesempatan mengritik Obama-Biden sebagai ‘terlalu bersahabat pada Islam atau terlalu pro-Muslim’.
Meski Trump menganggap Joe Biden ‘terlalu bersahabat’ dengan Muslim, ‘hanya’ 69 persen pemilih Muslim yang memberikan suara kepada Biden-Harris dalam Pilpres lalu. Artinya, sekitar 17 persen dari jumlah pemilih Muslim yang masih pro-Trump. Tidak begitu jelas alasan pemilih Muslim yang ‘pro-Trump’ itu.
Gesture Positif
Untuk diingat kembali, sejak masa kampanye Pilpres, pencoblosan kartu suara 4 November 2020, penghitungan suara yang berakhir dengan kemenangan Capres Joe Biden, Presiden ke-46 AS ini menjadi tambah populer di kalangan Muslim. Ini tidak lain karena Joe Biden memberikan gesture yang sangat positif.
Popularitas yang meningkat karena gesture itu terkait ketika Capres Joe Biden mengucapkan ‘Insya Allah’ di sela debat dengan Capres petahana Donald Trump menyangkut pajak yang dia kemplang (6/10/20). Trump berdalih akan mengembalikan pajak itu [ke kas negara], yang langsung ditukas Biden dengan ucapan: ‘Insya Allah’.
Popularitas Biden meningkat ketika di tengah masa penghitungan suara menyatakan akan bersungguh-sungguh memperlakukan Islam semestinya—seperti dia juga memperlakukan agama-agama besar lain.
Biden kemudian mengutip hadits yang sangat populer tentang kewajiban mengubah kemungkaran. “Hadits Nabi Muhammad memerintahkan siapapun di antara kamu melihat kesalahan [kemungkaran], hendaklah dia mengubahnya dengan tangannya; jika dia tidak mampu, dengan lidahnya; jika dia tidak mampu, dengan hatinya”, ujar Biden.
Selanjutnya Joe Biden menyatakan akan mencabut ‘Muslim [travel] ban’ pada hari pertamanya. Pernyataan ini mendapat sambutan hangat dari berbagai penjuru Dunia Muslim. Pernyataannya ini segera dia tepati tak lama setelah dia dilantik.
Dalam konteks lebih luas itu, Joe Biden dalam artikelnya ‘Why America Must Lead Again’ (Foreign Affairs, Vol 99, 2; 2020) menyatakan akan menghentikan destabilisasi Timur Tengah yang meningkat di masa Presiden Trump baik karena ancaman senjata nuklir maupun terorisme. Dalam konteks itu, Presiden Joe Biden menghentikan dukungannya pada koalisi militer pimpinan Arab Saudi dalam perang di Yaman. Presiden Joe Biden juga meminta pemerintah Saudi menghentikan perang yang telah mengorbankan ratusan ribu warga Yaman, termasuk perempuan dan anak-anak.
Biden juga bermaksud membawa pulang mayoritas tentara AS di Afghanistan dan wilayah Timur Tengah lain. Dia ingin pula menghentikan dukungan AS terhadap Arab Saudi dengan koalisi militernya yang menghancurkan Yaman.
Presien Joe Biden juga mempersoalkan kasus pembunuhan jurnalis Adnan Kashogi. Pemerintah AS di bawah Presiden Joe Biden memperlihatkan sikap ‘tidak berkenan’ terhadap penanganan kalangan penguasa Saudi terhadap Kashogi.
Terhadap Palestina, Presiden Joe Biden juga memberikan gesture positif. Pemerintahan Joe Biden menyatakan akan memulihkan proses perdamaian yang kredibel yang bisa diterima kedua belah pihak: Palestina dan Israel. Untuk itu, pemerintah AS segera memperbaharui hubungan dengan kepemimpinan Palestina.
Presiden Joe Biden juga menyatakan akan memulihkan bantuan ekonomi dan kemanusiaan untuk Palestina. Bantuan semacam ini diperlukan untuk menciptakan situasi kondusif bagi perdamaian.
Bahan Pemantik Diskusi Webinar Internasional ‘Membaca Arah Kebijakan Presiden Joe Biden Terkait Muslim dan Dunia Muslim’ Komisi Hubungan Luar Negeri dan Kerjasama Internasional Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, Jakarta, Jumat 9 Aprll 2021