Prancis, sebuah negara yang identik dengan romantisme dan kemewahan, kini bergulat dengan tantangan ekonomi yang signifikan. Negara ini tengah menghadapi beban utang nasional yang fantastis, mencapai angka 3,8 triliun euro, dan yang lebih mengkhawatirkan, jumlah ini terus membengkak sekitar $6.000 setiap detiknya! Tingkat akumulasi utang yang mencemaskan ini telah mendorong Perdana Menteri Prancis, Francois Beeru, untuk mengeluarkan peringatan keras, mendeklarasikan negaranya dalam “bahaya fana.” Seruan darurat ini menggarisbawahi urgensi dan beratnya krisis yang menuntut tindakan segera.
Sebagai respons terhadap ancaman ekonomi yang membayangi, Perdana Menteri Beeru telah mengusulkan serangkaian langkah-langkah kontroversial yang dirancang untuk menstabilkan keuangan negara. Di antara gagasan-gagasan ini adalah pembatasan keringanan pajak bagi kaum kaya, sebuah upaya untuk mendistribusikan beban fiskal secara lebih adil. Selain itu, pemerintah berencana untuk mengurangi jumlah pekerjaan pegawai negeri, yang berpotensi meningkatkan efisiensi sektor publik dan menghemat anggaran.
Namun, proposal yang paling memicu gelombang kemarahan publik adalah rencana untuk menghilangkan dua hari libur nasional. Meskipun proposal ini belum difinalisasi, wacana untuk memangkas hari libur telah menyulut kemarahan yang meluas di seluruh negeri.
Bagi masyarakat Prancis, hari libur nasional, atau yang mereka sebut “jour fier,” lebih dari sekadar jeda dari rutinitas pekerjaan. Ini adalah denyut nadi dari “joie de vivre” mereka, sebuah filosofi hidup yang mengutamakan kegembiraan dan keseimbangan. Khususnya bulan Mei, memiliki tempat istimewa di hati mereka, karena secara tradisional bulan ini dihiasi dengan beberapa akhir pekan panjang berkat hari libur seperti Senin Paskah dan 8 Mei, yang merupakan peringatan penting berakhirnya Perang Dunia II.
Proposal Perdana Menteri Beeru untuk meniadakan kedua hari libur ini didasari oleh logika ekonomi: dengan memaksa warga bekerja dua hari ekstra per tahun, diharapkan dapat meningkatkan produktivitas nasional dan, pada gilirannya, membantu meringankan utang negara. Namun, rencana ini telah ditentang keras. Banyak warga memprotes keras prospek bekerja lebih banyak tanpa bayaran tambahan, dan mereka skeptis tentang dampak sebenarnya terhadap utang nasional yang begitu besar. Sebuah jajak pendapat terbaru menunjukkan bahwa tiga dari empat orang menentang langkah ini, mencerminkan penolakan yang meluas.
Penolakan terhadap peningkatan jam kerja ini menyoroti aspek khas budaya Prancis: pendekatan mereka yang santai terhadap pekerjaan. Prancis memang terkenal dengan anggur, keju, mode, dan kebanggaan nasionalnya, tetapi jarang sekali dikenal karena etos kerjanya yang “gila-gilaan.” Hari kerja khas Prancis sering kali diwarnai dengan makan siang yang panjang, istirahat kopi yang santai, bahkan istirahat anggur. Ini bukan sekadar kebiasaan, melainkan bagian dari ritme hidup.
Lebih dari itu, undang-undang Prancis melindungi hak karyawan untuk beristirahat. Mereka menetapkan istirahat minimal 11 jam di antara shift dan bahkan melarang pengusaha mengganggu karyawan di luar jam kerja. Negara ini juga secara hukum mewajibkan minggu kerja 35 jam, meskipun rata-rata orang Prancis hanya bekerja sekitar 31 jam per minggu. Angka ini sangat kontras dengan Amerika Serikat (36 jam), Tiongkok (45 jam), dan India (46 jam). Selanjutnya, pekerja Prancis menikmati cuti berbayar yang sangat murah hati, mulai dari lima hingga sepuluh minggu setiap tahun, memperkuat budaya di mana keseimbangan kehidupan kerja yang santai bukan hanya norma, tetapi juga diabadikan dalam undang-undang. Ini menunjukkan bahwa bagi orang Prancis, pekerjaan adalah bagian dari kehidupan yang lebih luas, dan perubahan mendasar dalam kebiasaan kerja mereka akan memerlukan perubahan filosofi hidup yang jauh lebih dalam.
Prancis, sebuah negara dengan sejarah panjang dan kaya akan gejolak sosial, seringkali menjadi sorotan karena budaya unjuk rasa dan mogok kerjanya yang intens. Dari Revolusi Prancis yang monumental pada tahun 1789 yang mengubah lanskap politik Eropa, hingga protes massal baru-baru ini menentang kenaikan usia pensiun, masyarakat Prancis secara konsisten menunjukkan komitmen mendalam terhadap waktu luang dan keseimbangan kehidupan kerja. Fenomena ini mencerminkan sebuah penekanan kolektif yang mendalam pada kualitas hidup di luar ranah profesional.
Meskipun bagi sebagian pengamat asing, sikap ini mungkin disalahartikan sebagai “hak” yang berlebihan atau bahkan “kemalasan”, penting untuk menempatkannya dalam konteks yang lebih luas. Prancis bukanlah anomali dalam hal ini; negara-negara Eropa lainnya seperti Belgia dan Finlandia juga menikmati jumlah hari libur nasional yang sebanding. Yang lebih menarik lagi, terlepas dari persepsi bekerja lebih sedikit, produktivitas Prancis dilaporkan 18% lebih tinggi daripada Inggris. Data ini menantang pandangan konvensional bahwa waktu kerja yang lebih panjang selalu berbanding lurus dengan efisiensi dan output.
Perspektif budaya ini memiliki akar yang kuat dalam sejarah dan tradisi filosofis Prancis, yang telah berkembang selama berabad-abad. Konsep bahwa “kemalasan itu produktif” bukanlah gagasan baru. Ambil contoh seorang pemikir Prancis pada tahun 1571 yang memutuskan untuk pensiun pada usia 38 tahun demi mendedikasikan waktunya untuk membaca. Dari “kemalasan” yang disengaja inilah ia akhirnya menemukan esai, sebuah bentuk sastra yang kemudian mempengaruhi pemikiran dunia. Kisah ini menggambarkan bagaimana waktu luang yang berkualitas dapat menjadi katalisator bagi kreativitas dan inovasi.
Konteks historis dan filosofis ini secara signifikan memperkuat keyakinan yang mengakar kuat di Prancis bahwa waktu jauh dari pekerjaan bukan hanya hak, tetapi juga komponen esensial bagi kehidupan yang seimbang dan bermakna. Bahkan, komitmen terhadap nilai-nilai ini begitu kuat sehingga para politisi di parlemen Prancis pun pernah secara terbuka membela hak untuk menjadi “malas”. Ini menunjukkan betapa terintegrasinya gagasan ini dalam wacana politik dan sosial mereka.
Bagi orang Prancis, pekerjaan hanyalah salah satu komponen dari sebuah kehidupan yang utuh. Identitas dan kebahagiaan mereka tidak semata-mata didefinisikan oleh profesi atau jam kerja. Oleh karena itu, setiap upaya pemerintah untuk mengubah kebiasaan kerja mereka akan memerlukan perubahan mendasar dalam cara mereka memandang dan menjalani hidup. Ini bukan sekadar penyesuaian kebijakan, melainkan sebuah intervensi terhadap filosofi hidup yang telah lama dipegang teguh.
Sebuah pepatah populer Prancis dengan cerdas merangkum pandangan ini: “jika bekerja keras membuatmu kaya, keledai akan tertutup emas.” Pepatah ini secara humoris namun tajam menunjukkan skeptisisme mereka terhadap gagasan bahwa kekayaan atau kesuksesan hanya berasal dari kerja keras yang tiada henti, menekankan bahwa ada nilai-nilai lain yang sama pentingnya dalam hidup. Memahami nuansa budaya ini adalah kunci untuk memahami reaksi masyarakat Prancis terhadap kebijakan ekonomi yang mengancam keseimbangan hidup mereka.