Selasa, April 30, 2024

Belajar dari Kasus Prancis

Syafiq Hasyim
Syafiq Hasyim
Pengajar pada FISIP UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta dan Visiting Fellow pada Indonesia Programs ISEAS Singapore. Tulisan ini merupakan pandangan pribadi.

Prancis kembali rusuh dipicu oleh tindakan polisi yang menembak Nahel (17 tahun) karena tidak mau memberhentikan mobilnya yang melanggar. Tepat tembakan itu berada di dada. Tembakan itu memicu kerusuhan di plebagai kota di Paris. Pelbagai laporan media menceritakan sisi negatif dan positif dari Nahel. Namun apapun yang terjadi, polisi sebenarnya tidak bisa begitu saja mengambil tindakan seperti yang menimpa Nahel.

Bukan kali ini saja kerusuhan di Prancis yang melibatkan stigmatisasi kaum minoritas terjadi. Dengan pelbagai kejadian kerusuhan yang terjadi dan membawa ketegangan antara kelompok mayoritas dan minoritas itu menunjukkan Prancis belum benar-benar menjadi negara yang bisa dijadikan teladan bagi kehidupan multikulturalisme.

Meskipun secara teoritik Prancis memiliki prinsip menjunjung tinggi kebebasan, keadilan dan persaudaraan sebagai moto utama negara ini, namun secara kenyataan prinsip atau moto itu sulit untuk diwujudkan.

Prancis memang negara yang unik. Kejadian rusuh hampir bisa dikatakan kerap terjadi, bahkan sejak abad 13. Pada tahun 1229, University of Paris, misalnya pernah melakukan mogok yang menyebabkan kematian mahasiswa mereka. Pada abad ini juga terjadi gerakan pemberontakan di mana-mana misalnya di Marseille, Limoges dan lain-lain.

Pada abad 16 lebih dari 20 kerusuhan terjadi. Abad 17, 18, 19 terus terjadi. Dari sekian penyebab terjadinya kerusuhan, mogok, dan lain sebagaimana adalah persoalan pajak, tenaga kerja, makanan dan yang paling sering memang soal makanan. Pada abad 17 dan 18, kerusuhan yang dipicu oleh soal food sangat mendominasi.

Kerusuhan yang terkait dengan kelompok minoritas Islam memang hal yang baru terjadi di Prancis bertepatan dengan semakin banyaknya imigran Muslim yang menetap dan beranak keturunan di negeri ini. Kehadiran imigran Muslim yang lumayan ini terkait dengan sejarah panjang Prancis sebagai negeri kolonial atas negara-negara Islam di Afrika dan juga kawasan Timur Tengah. Selain itu, sebagaimana negara Eropa lainnya, pasar tenaga kerja pada era pasca perang dunia kedua, menyebabkan banyak pekerja buruh (bangunan) yang didatangkan dari negara-negara Islam.

Kerusuhan yang terkait dengan imigran Afrika Utara terjadi pada 1979 di kawasan pinggiran Lyon. Kerusuhan pada tahun ini dicatat sebagai kerusuhan pertama yang terjadi di kawasan pinggiran Prancis. Kerusuhan ini melibatkan pemuda berlatarbelakang Afrika Utara dan kejadian ini ternyata bukan yang terakhir namun 2 tahun lagi juga muncul hal yang sama. Persoalannya adalah penanganan aparat keamanan yang menyulut peristiwa seperti ini menjadi membesar.

Ada kesan umum bahwa polisi atau otoritas keamanan memperlakukan para pemuda imigran ini dengan penuh kecurigaan terutama soal latar belakang asal dan juga keyakinan mereka. Pada sisi yang lain, solidaritas atas kekelompokkan dan keyakinan muncul dari kelompok minoritas Muslim. Seringkali itu terjadi setelah pihak otoritas keamanan tidak bisa memberikan penjelasan kepada publik mengapa kejadian seperti itu harus menimpa salah satu dari mereka, kelompok Muslim. Mereka berpikir “bukankah kejadian seperti itu juga terjadi umum di kalangan anak muda Prancis, mengapa jika hal yang sama dilakukan oleh pemuda Muslim menjadi berakhir seperti itu?”

Dari prasangka-prasangka yang terjawab inilah, mau tidak mau yang tadinya bersifat etnis menjadi melebar ke urusan agama juga karena rata-rata mereka adalah imigran Muslim yang tinggal di negeri Prancis ini.

Memang, sering masalah awal bukan murni masalah agama. Bahkan kadang-kadang memang tidak terkait agama atau rasisme sebagai misal. Ini adalah tipe umum dari kerusuhan yang terkait agama terutama di wilayah-wilayah yang sensitif. Di Prancis sudah terjadi berulang-ulang, namun kenapa kejadian yang berulang-ulang itu tidak bisa dilakukan mitigasinya.

Terus terang kita menyayangkan kejadian seperti itu terjadi lagi di negeri yang secara demokratis sudah sangat tua dan matang. Kita mengenal sejarah revolusi Prancis, sebuah revolusi yang menjadi akar bagi tersebarnya nilai-nilai kesetaraan dan keadilan sesama manusia. Bahkan revolusi ini berhasil memproduksi sebuah revolusi pada otoritas agama. Di Prancislah terjadi perlawanan terhadap otoritas agama Katolik yang terlalu berlebihan dalam mengenakan pajak gereja dan mengeksploitasi urusan manusia. Dari sinilah kemudian terjadi pemisahan agama dan gereja atau dalam bahasa sosiologis sering disebut dengan sekularisasi.

Namun sejarah yang panjang dalam demokrasi dan menjunjung tinggi nilai-nilai kesetaraan dan keadilan serta persaudaraan bukan berarti bahwa Prancis terbebas dari peristiwa-peristiwa ketidakadilan tersebut.

Pada 2013 terjadi kerusuhan yang terjadi di kawasan pinggiran Prancis. Hal ini bermula dari inspeksi polisi pada pasangan Muslim di mana suami menyerang polisi karena polisi ini memerika identitas istri yang juga seorang Muslim yang berhijab. Polisi meminta agar si istri membuka hijab yang menutup wajahnya. Si suami marah dan ditahan atas perilakunya. Mengapa polisi bisa melakukan itu? Karena di Prancis ada hukum pelarangan face covering, penutupan wajah. Namun meskipun apa yang dilakukan oleh Polisi Prancis dalam kasus ini merupakan penegakan hukum mereka, namun banyak kalangan yang tidak tahu bahwa hal seperti itu dianggap sebagai penghinaan atas keyakinan Islam.

Pemahaman seperti itu bisa terjadi di kalangan masyarakat Prancis sendiri, dan juga terutama di kalangan masyarakat di luar. Namun meskipun ini butuh pemahaman, mengapa kejadian yang serupa juga terjadi lagi dan melibatkan atau mengorbankan masyarakat minoritas Muslim lagi.

Apakah yang sebenarnya terjadi adalah memang pemahaman masyarakat Muslim Prancis yang masih kurang utuh atas hukum agama dan hukum negara mereka ataukah itu memang hal yang dikehendaki oleh negara atau bagaimana?

Sebenarnya peristiwa yang seperti ini merugikan dua belah pihak. Pertama, pihak Prancis dan kedua, pihak warga negara Muslim Prancis terlibat dalam kerusuhan. Jika ini sering terjadi dan modusnya sama, maka jelas negara tidak mampu mengelola diversitas dan pluralitas warganya. Ini adalah citra buruh bagi Prancis sebagai negara champion demokrasi. Bagi masyarakat Muslim, peristiwa yang terus berulang ini membuat citra Muslim sebagai kelompok yang sering marah dan bertindak semau mereka. Saya katakan dua-duanya rugi besar.

Sebagai catatan, meskipun negara Prancis itu sudah matang dan tua sebagai negara yang demokratis, namun mereka tetap saja mengalami masalah ketidakadilan kepada kelompok minoritas, apalagi jika kita masih yang masih muda sebagai negara yang berdemokrasi. Mari kita belajar dari kejadian Prancis ini agar kita bisa menjadi kaum minoritas yang berbuat adil dan sayang kepada kelompok minoritasnya.

Syafiq Hasyim
Syafiq Hasyim
Pengajar pada FISIP UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta dan Visiting Fellow pada Indonesia Programs ISEAS Singapore. Tulisan ini merupakan pandangan pribadi.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.