Kita mungkin sering mendengar ungkapan “jangan pernah menaruh harapan kepada seseorang, karena ujungnya bisa sangat mengecewakan”. Mungkin ungkapan ini terdengar klise, tetapi di dalam politik elektoral, harapan-harapan kita sebagai pemilih kepada para politisi atau partai politik memang seringkali berakhir mengecewakan.
Dalam kontestasi politik, pemilih tentu memiliki harapan-harapan, dan harapan itu bisa berbeda-beda untuk setiap orang. Ada yang mengharapkan kondisi ekonomi yang lebih baik, situasi sosial yang lebih humanis dan berkeadilan, lingkungan hidup yang lebih lestari, politik yang lebih stabil, kehidupan keagamaan yang lebih teduh, dan lain sebagainya.
Ada sebagian orang yang harapannya sedemikian tinggi, sampai-sampai mereka skeptis bahwa sistem politik yang ada akan mampu mewujudkannya. Tapi, mayoritas pemilih Indonesia sepertinya masih percaya bahwa harapan-harapan itu bisa terwujud melalui mekanisme politik elektoral yang ada. Buktinya, tingkat partisipasi dalam Pemilihan Umum 2014 lalu masih sangat tinggi, 75,11% menurut perhitungann Komisi Pemilihan Umum (KPU),
Dan seperti janji, setiap harapan pun menuntut untuk ditunaikan. Tepat di titik inilah politik elektoral membentur paradoks yang ia ciptakan sendiri. Harapan-harapan politik pemilih nyaris tak terbatas, sementara pilihan-pilihan untuk dapat membayarnya sangat terbatas.
Seorang pemilih mungkin memimpikan sosok presiden yang sempurna; gagah, memiliki darah biru, lantang, tegas, kaya raya, nasionalis, dekat dengan rakyat, suka blusukan, pintar, rendah hati, berpengalaman, dan lain sebagainya. Toh dalam Pemilihan Presiden 2014 lalu pilihan kita tinggal dua, Prabowo Subianto atau Joko Widodo.
Di sisi lain, seorang kandidat atau sebuah partai politik mungkin mencoba tampil populis, seolah-olah mampu mewujudkan semua harapan-harapan pemilih. Tapi, itu nyaris mustahil. Politisi dan partai politik apa pun sama-sama terperangkap oleh pilihan-pilihan yang terbatas karena berbagai situasi; anggaran cekak, birokrasi yang buruk, korupsi, tentangan dari pihak oposisi, tumpukan persoalan lama yang tak terselesaikan, tantangan atas keteguhan integritas diri mereka sendiri, dan ribuan persoalan lainnya.
Semakin populis sebuah partai politik atau seorang kandidat, semakin banyak kebohongan-kebohongan yang harus ia buat.
Pun di negara dengan demokrasi yang sudah mapan seperti Amerika Serikat, probabilitas harapan seorang pemilih akan terwujud sebenarnya sangat kecil. Ilmuwan politik Columbia University Andrew Gelman, ahli statistik Nate Silver, dan ekonomi California University (Barkeley) Aaron Edlin pernah menghitung secara matematis, probabilitas pengaruh satu orang pemilih terhadap hasil Pilpres AS tahun 2008 adalah 1 : 60.000.000.000. Iya, hanya satu per 60 miliar!
Oleh karena itu, setiap kali kita berpartisipasi di dalam proses-proses politik elektoral, kemungkinan matematis untuk merasa kecewa sangatlah besar.
Maka, melihat suasana politik Indonesia sekarang ini, banyak orang yang sepertinya belum mampu mengelola rasa kecewa itu. Yang memilih lalu kandidatnya kalah sering melampiaskan kekecewaannya dalam bentuk kebencian yang tak berkesudahan kepada kandidat yang terpilih. Sementara yang kandidatnya terpilih tapi harapannya tak segera tertunaikan lalu melampiaskan kekecewaannya dalam bentuk apatisme. Dua pola perilaku ini jelas tidak akan membuat kehidupan politik kita menjadi lebih baik.
Kita sering lupa bahwa demokrasi tak bisa bertumpu hanya di atas harapan saja. Ia juga membutuhkan kaki kedua: kesabaran.
Bagaimanapun perubahan-perubahan politik di dalam demokrasi selalu berjalan lamban, dan kadang terasa menyiksa. Tak ada harapan-harapan politik yang dapat tertunaikan dalam waktu semalam saja. Sejarah berulangkali mengajarkan bahwa perubahan-perubahan politik yang terjadi secara massif dan cepat cenderung tak akan langgeng. Ketergesa-gesaan dalam politik justru seringkali menyebabkan kekacauan dan menuntut harga yang terlampau mahal. Lihat saja kekacauan politik di sebagian besar negara-negara Timur Tengah pasca revolusi Arab Spring.
Di dalam psikologi, kesabaran identik dengan konsep delayed gratification, yaitu sejenis kemampuan menahan diri dari dorongan untuk memperoleh balasan dengan segera, dan bersedia menunggu demi imbalan yang lebih besar dalam jangka panjang (Walter Mischel, dkk., Cognitive and attentional mechanisms in delay of gratification, terbit di Journal of Personality and Social Psychology, 1972, 21(2)). Dalam hal ini, kesabaran dalam politik dapat dimaknai sebagai kesediaan kita untuk memberikan waktu kepada seorang kandidat atau partai terpilih untuk memenuhi harapan-harapan pemilih sesuai dengan kerangka waktu yang mereka janjikan.
Kesabaran politik juga mengandung unsur keterbukaan pikiran agar mampu melihat perubahan-perubahan kecil yang sedang terjadi, menuju sebuah perubahan besar di masa yang akan datang.
Kesabaran akan mengendalikan kekecewaan elektoral agar tak menjelma menjadi kebencian dan apatisme. Kekecewaan atas kekalahan Prabowo Subianto dalam Pilpres 2014 lalu, misalnya, tak semestinya membuat pendukungnya membenci sosok Presiden Joko Widodo secara membabi buta. Pun dengan pendukung Ahok dalam Pilkada Jakarta 2017 lalu, mereka tak seharusnya terus menerus nyinyir terhadap semua kebijakan yang diambil oleh Anies Baswedan.
Kesabaran politik semestinya membuat kita mampu melihat progres yang dapat dicapai oleh para kandidat terpilih secara lebih obyektif, dan seberapa banyak harapan-harapan pemilih yang tak mampu mereka tunaikan. Pada saat pemilihan berikutnya kita tinggal menilai, apakah seorang kandidat atau partai politik layak dipilih kembali atau sudah saatnya untuk diganti.
Kolom terkait:
Peluang Prabowo Pasca Pilkada Jakarta