Sabtu, April 20, 2024

Survei CSIS, Kalkulator SBY, dan Politik Islamis

Arie Putra
Arie Putra
Peneliti Komunikasi Politik MediaCitra dan Analis Kebijakan Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN RI).

Barangkali masih banyak yang mempertanyakan keputusan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyetujui pencalonan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) di Pilkada DKI Jakarta yang lalu. Karir Agus yang begitu cemerlang di militer harus terhenti dalam sebuah parade politik.

Bukan SBY namanya kalau tidak ulung berpikir strategi. Tidak mungkin keputusan tersebut diambil secara serampangan.

Presiden RI ke-6 ini adalah seorang politisi yang selalu menghitung menggunakan matrik-matrik sebab-akibatnya yang sangat detail. Orang sekitar beliau biasa menyebutnya “Kalkulator Pak Lurah”. Semua keputusan terukur, terstruktur, dan sistematis. Itulah politik bagi Pak Bambang, sebutan lain untuk SBY.

SBY juga tokoh yang berpikir ilmiah. Di tahun 2004, dia adalah satu dari sedikit tokoh politik nasional yang percaya hasil survei. Banyak tukang survei berada di sekitar lingkaran istana ketika itu.

Sepertinya SBY perlu mendapat penghargaan sebagai tokoh yang berkomitmen terhadap demokrasi ilmiah. Lepas dari sikap politiknya saat ini yang berupaya mempertahankan trah/silsilah/keturunan, kita juga harus mengakui bahwa SBY adalah salah satu orang yang pernah berjasa membuat partai-partai di Indonesia mulai bersedia mempertimbangkan, bahkan mensyaratkan, hasil survei dalam pencalonan kandidat.

Kembali kepada kalkulator SBY memajukan AHY di Pilkada DKI Jakarta. Sorotan yang besar tentunya membuat semua yang ikut bertarung akan dikenal oleh publik nasional. Begitu juga AHY, Sang Ilalang pasti akan mendapatkan popularitas besar, meski tidak menang dalam pilkada.

Pak SBY tentunya sudah mengukur popularitas dan elektabilitas AHY yang “hanya” berpangkat mayor akan mampu menyamai atau bahkan lebih tinggi daripada jenderal-jenderal aktif setelah pergelaran Pilkada DKI. Launching produk andalan memang harus di momen dan event yang tepat.

Hasil survei teranyar CSIS mengonfirmasi hasil kalkulator Pak Lurah. Lupakan persaingan papan atas antara Jokowi dan Prabowo dulu (sekarang 50,9 persen vs 2,8 persen); mereka pernah bertarung, wajar angka mereka begitu besar. Di papan bawah, nama-nama penantang mulai bermunculan..

Meski masih dalam rentang margin of error, nama AHY menjadi yang terdepan, 2,8 persen. Bahkan, elektabilitas Agus berada di atas Jenderal TNI Gatot Nurmantyo. Agus juga bahkan berhasil menyalip angka yang dimiliki oleh SBY sendiri, 2,7 persen.

Belum lagi kalau dibandingkan dengan jenderal-jenderal yang jabatannya di bawah Panglima Gatot, seperti KSAD Mulyono, pasti AHY jauh unggul. Bahkan Pangkostrad Jenderal bintang tiga Edy Rahmayadi “hanya” berencana mencalonkan diri di Pemilihan Gubernur Sumatera Utara.

Dengan baliho yang sudah terpampang di semua kantor Kodim dan Koramil, Gatot Nurmantyo hanya berhasil memperoleh angka 1,8 persen. Gerakan Panglima mengambil panggung kelompok Islamis ternyata juga tidak berdampak signifikan terhadap elektabilitasnya.

Hasil survei nasional ini juga memperlihatkan kurang dari 13 persen warga Indonesia yang sangat setuju dan cukup setuju perlu ideologi lain menggantikan Pancasila. Kita bisa duga kelompok Islamis berada pada kisaran angka tersebut.

Perlu diperdalam lagi, ke mana suara dari sebagian besar kelompok tersebut bermuara? Dengan kondisi politik yang masih cair, mereka pasti sedang bersemayam di balik setiap nama.

Prabowo Subianto tentu masih paling besar mendapat dukungan dari kelompok Islamis. Ini mengingat Jendral Gatot yang sudah menggunakan simbol keislaman ternyata tidak mampu membelokkan pilihan mereka.

Melihat perputaran isu sejauh ini, sangat kecil kelompok tersebut, kalau tidak mau dibilang tidak ada, yang memberi dukungan pada Presiden Jokowi. Dalam berbagai pemberitaan, posisi Jokowi juga kerap berseberangan dengan mereka.

Meski ratusan ribu orang dari kelompok Islamis dan kelompok-kelompok lain yang berkepentingan mampu turun ke jalan menuntut proses peradilan terhadap Basuki Tjahaja Purnama, jumlah mereka ternyata bukanlah yang paling dominan di dalam komposisi elektoral.

Mengeluarkan upaya besar untuk menggarap segmen Islamis tentu bukanlah sebuah keputusan yang tepat. Paling tidak, elektabilitas Panglima Gatot yang kurang dari 5 persen sudah mengonfirmasi. Panglima butuh menata strategi baru jika ingin berkompetisi dengan AHY, yang hanya seorang perwira menengah.

Political game selalu berkaitan dengan mengelola keberagaman dukungan. Sejarah sudah membuktikan segmented politics selalu mengalami stagnasi. Sejauh ini kalkulator SBY selalu berhasil menjaga keseimbangan tersebut.

Di sisi lain, Joko Widodo juga tidak boleh melepas dukungan dari kelompok Islamis begitu saja. Perlu upaya-upaya kongkret untuk mengakuisisi sedikit demi sedikit kekuatan lawan.

Ibu Negara Iriana Jokowi yang mengenakan simbol adat Minangkabau di upacara kemerdekaan ternyata cukup mendapatkan sorotan media di Sumatera Barat, tempat Jokowi mengalami kekalahan paling telak. Strategi tersebut, untuk tingkat tertentu, sudah cukup menjadi kredit bagi Presiden.

Promosi pembangunan infrastruktur strategis di kandang-kandang lawan juga perlu lebih ditingkatkan lagi. Sejauh ini, Jokowi lebih banyak memberitakan keberhasilan di kandang sendiri.

Selain itu, hasil Pemilihan Kepala Daerah 2018 di kandang lawan juga sangat menentukan. Jika kubu lawan berhasil meneguhkan dominasi kembali, akuisisi agak berat dilakukan.

Lepas dari itu, Jokowi juga perlu memperhatikan nama-nama potensial penantang yang akan terus mengalami pertumbuhan elektabilitas, mengingat pemilu masih kurang dari dua tahun lagi. Waktu tersebut terbilang cukup untuk melipatgandakan angka. Singkat cerita, pemenang pemilu masih jauh dari kepastian.

Melihat angka yang diperoleh Putra Mahkota Cikeas saat ini, kalkulator Pak Lurah SBY pasti sedang bekerja siang-malam. Sepertinya, tombol perintah untuk meningkatkan eskalasi akan dipencet dalam waktu dekat. SBY pun akan berkata, “ini pilpres, jangan sampai rasa pilkada.”

Tulisan terkait:

Bukan Fundamentalisme yang Menguat

AHY dan Masa Depan Demokrat

Aliansi Dua Jenderal?

Menakar Siasat Politik Dua Jenderal

Arie Putra
Arie Putra
Peneliti Komunikasi Politik MediaCitra dan Analis Kebijakan Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN RI).
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.