Minggu, Oktober 13, 2024

Setelah Tsamara Membedah Fahri Hamzah

Donny Syofyan
Donny Syofyan
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas

Menarik membaca tulisan Tsamara Amany berjudul Sesat Pikir Fahri Hamzah. Dalam kolom tersebut, Tsamara menulis tiga sesat pikir seorang Fahri dalam serangkaian twitwar, yakni Fahri menilai korupsi E-KTP  hanyalah khayalan, Fahri menyebut Komisi Pemberantasan Korupsi kini sudah mulai ada bisnis untuk menangkap orang, dan pernyataan Fahri bahwa KPK sebenarnya bukan lembaga yang sukses.

Tulisan ini bukan bermaksud setuju atau menyanggah kolom tersebut, melainkan sekadar tawaran perspektif untuk memahami seorang Fahri Hamzah. Selama ini publik lebih mengenal Fahri sebagai sosok kontroversial. Gagasannya untuk membubarkan KPK, penghinaan anggota DPR, pasang badan untuk megaproyek DPR, cemooh penolak revisi UU KPK, mendorong kenaikan anggota dewan hingga pemecatannya dari segenap struktur di Partai Keadilan Sejahtera (PKS) secara aktual kian mencitrakan dirinya sebagai politisi yang produktif melahirkan pro dan kontra.

Terlepas dari prahara individual seorang Fahri Hamzah, sejatinya dia adalah tokoh visioner yang merupakan aset luar biasa buat PKS.

Kapasitas visoner Fahri Hamzah terbuhul erat dengan kekuatannya sebagai “juru kamera” untuk setiap periode zaman yang digelutinya. Keberaniannya dalam banyak kasus karena ia menguasai detailisasi, bukan sekadar orang yang memahami gambaran umum (big picture) dalam banyak persoalan.

Kecakapannya menjadi seorang juru kamera zaman pada gilirannya mengantarkannya menempati maqam berikutnya, sebagai juru bicara zaman merespons pelbagai isu. Sungguhpun secara resmi Fahri bukanlah juru bicara PKS, publik dalam banyak hal bisa memafhumi bahwa keresahan seorang Fahri secara intelektual mau tidak mau mewartakan pikiran-pikiran PKS.

Kompetensi inti selaku juru kamera dan juru bicara PKS tak bisa dilepaskan dari ketajaman intusi Fahri Hamzah. Dalam berpendapat, ia bukan hanya mengandalkan informasi yang cukup dan akurat tapi juga firasat, sebab acapkali rasionalitas tidak mandiri dalam berkeputusan.

Kritik pedasnya terhadap KPK, sesuatu yang berlawanan dengan arus publik, nyatanya secara perlahan mulai memperlihatkan kebenaran dari dalam diri KPK sendiri (self-fulfilling prophecy) ketika sejumlah pimpinan KPK, semisal Saut Situmorang dan Basaria Panjaitan, terkenal bukan lagi dengan integritas melainkan dengan kontroversi mereka masing-masing.

Ketajaman intuitif yang dimiliki oleh Fahri Hamzah boleh jadi dianggap berlebihan. Dari berbagai komentar di media massa dan media sosial didapati betapa Fahri dianggap sebagai bumerang dan kelemahan terbesar PKS seiring dengan letupan-letupan ide yang dia cuatkan. Hanya saja perlu dipahami bahwa gaya berpikir Fahri ini sesungguhnya terbuhul erat dengan pengalamannya sebagai seorang aktivis.

Sewaktu menjabat sebagai pendiri dan Presiden Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) yang pertama pada awal reformasi, Fahri tampil sebagai salah satu tokoh kunci mahasiswa yang mengantarkan transformasi kepemimpinan nasional dengan basis mahasiswa terbesar di kala itu.

Jiwa aktivis yang memang sudah berurat berakar dalam diri Fahri ini menyumbang terhadap pembentukan karakternya yang kokoh dan orisinil. Ia bukanlah tipe politisi yang gampang memuji tapi cenderung memberikan catatan, meski berdampak tidak populer. Ia menyukai kritik karena tidak menyukai basa-basi yang baginya bukanlah penopang peradaban yang kokoh.

Sebagai kader partai yang terbentuk dari kematangan berorganisasi, Fahri akhirnya menjadi sedikit dari sekian politisi yang terbiasa menelan pil pahit dan mahir menjawab semua pertanyaan sulit, walau pada saat yang sama ia juga menyimpan semua rasa sakit. Keberaniannya berdebat dengan banyak pihak dalam kasus Luthfi Hasan Ishaaq menyiratkan bagaimana personalitas Fahri bukanlah “barang KW”

Banyak yang mensinyalir bahwa tersingkirnya Fahri Hamzah dalam segenap struktur di tubuh PKS menandakan terdepaknya fraksi kesejahteraan yang dinakhodai oleh duet Anis Matta dan Fahri Hamzah. Saat ini adalah era kebangkitan fraksi keadilan yang dikemudikan oleh Mohamad Sohibul Iman.

Asumsi ini sah-sah saja dengan logikanya masing-masing. Mundurnya tokoh-tokoh sepuh dan deklarator Partai Keadilan dari PKS, semisal Daud Rasyid, menunjukkan bahwa kontestasi antara fraksi kesejahteraan dan fraksi keadilan tidaklah mengada-ada.

Namun, perlu diingat bahwa kontestasi pemikiran dan sumber daya antara dua kubu ini, terutama pada kepemimpinan Anis Matta, tidak berujung dengan aksi pemecatan terhadap orang-orang yang berlaku kritis kepada Anis Matta sendiri sebagai ketua partai.

Presiden PKS sekarang, Mohamad Sohibul Iman, dikenal kerap berseberangan dengan Anis Matta di kala itu. Pemecatan terhadap Fahri Hamzah hanya akan memberikan preseden yang kontraproduktif bahwa PKS tidak siap merespons perubahan dengan cara-cara yang ampuh. Sebab, kontestasi terhadap ide-ide yang dianggap nyeleneh tidak ditopang oleh keterbukaan, namun bermuara pada pemecatan.

Baca juga:

Tragedi Politik Fahri Hamzah

Fahri Hamzah dan Rontoknya Narasi Besar Status Quo Politik

Donny Syofyan
Donny Syofyan
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.