Bakal calon gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi “digoreng” lagi. Kali ini bukan perihal Sunda Wiwitan, melainkan tentang pernyataannya yang menyarankan kepada bangsa Indonesia untuk berterima kasih atas penjajahan Belanda. Sebab, bukan hanya banyak peninggalannya yang berguna lantaran penjajahan Belanda, melainkan juga antara lain Indonesia bisa berdiri sebagai negara bangsa.
“Digoreng”, sebab menganggap Dedi Mulyadi menganut Sunda Wiwitan fitnah belaka. Ia memang menghargai Sunda Wiwitan dan menonjolkan budaya Sunda. Namun, ia bukan Sunda Wiwitan. Ia lahir dari keluarga Islam, menjalankan ajaran Islam, pernah menjadi Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Purwakarta dan kini menjadi Ketua Presidium Korps Alumni HMI (KAHMI) Jawa Barat, bahkan mengurus ormas Nahdlatul Ulama (NU) Purwakarta. Selain itu, ia juga fasih berbicara Nilai-nilai Dasar Perjuangan (NDP) HMI.
Dalam isu perlunya berterima kasih kepada penjajah Belanda, saya juga berani menyatakan bahwa opini Syahganda Nainggolan (SN) sebagaimana dimuat di www.republika.co.id adalah kesalahpahaman belaka, kalau tak boleh disebut sebagai “pemerkosaan atas pesan Dedi Mulyadi”.
Sebab, penafsiran SN sudah berada di luar konteks dan di luar maksud pesan Dedi Mulyadi. SN menilai pendapat dan saran dari Kang Dedi merupakan manifestasi dari politisi bermental inlander (terjajah). Kira-kira SN bergumam: Sudah tahu Indonesia pernah dijajah dan ditindas, ngapain bangsa Indonesia mesti berterima kasih kepada penjajah dan penindas!? Lagi pula, bukankah dalam Indonesia Menggugat Bung Karno menunjukkan bahwa pembangunan oleh penjajah Belanda hanya menguntungkan Belanda sekaligus merugikan bangsa Indonesia!?
Dalam konteks ini, SN kurang teliti dalam dua hal yang saling terkait berkelindan. Kesatu, perbedaan masa hidup Bung Karno dengan Dedi Mulyadi yang akhirnya membedakan konteks dan persepsi dua tokoh itu. Kedua, perbedaan kepentingan atau maksud gugatan dan cercaan Bung Karno saat menyatakan hal itu dengan kepentingan atau maksud pernyataan dan saran Kang Dedi.
Saya yakin, jika Kang Dedi hidup sezaman dengan Bung Karno, maka ia pun akan melontarkan gugatan serupa atau mengamini gugatan dari Bung Karno terhadap penjajah Belanda. Masalahnya, Kang Dedi hidup hari ini. Dan di samping sisi negatifnya, dia juga melihat dimensi positif pasca penjajahan Belanda. Dalam koridor filosofi sufistik, tampaknya Kang Dedi tengah menyuarakan perlunya mengambil hikmah (aspek positif) atas setiap kejadian di masa silam.
Untuk memperkuat penjelasan ini, saya pernah mendengarkan pidatonya secara langsung. Antara lain, kesatu, dia bercerita bahwa dahulu sebelum menikah, cintanya pernah ditolak seorang wanita. Saat itu, ia sedih. Namun, kini Kang Dedi berterima kasih atas peristiwa tersebut. Sebab, akhirnya dia menikah dengan istrinya yang sekarang, yakni seorang wanita yang lebih muda dan cantik bahkan tergolong elite.
Kedua, Kang Dedi mengulas sosok mantan calon wakil bupati Cianjur yang tidak terpilih dalam Pilkada, akan tetapi kini ia dikenal luas dan wara-wiri di persidangan dan televisi sebagai pengacara ternama.
Ketiga, Kang Dedi menyarankan kepada HMI untuk berterima kasih kepada Partai Komunis Indonesia (PKI). Sebab, antara lain berkat tuntutan masif PKI pada awal tahun 1960-an agar HMI dibubarkan, HMI justru lebih solid, meraih simpati, dan lebih kreatif dalam menggauli kekuasaan dan menyambung lidah rakyat.
Keempat, Kang Dedi juga menyarankan kepada HMI untuk berterima kasih kepada rezim Orde Baru. Sebab, antara lain berkat rezim otoriter itu, HMI bukan hanya lebih kreatif dalam mencari dana, melainkan juga lebih kreatif dalam berkegiatan dan berdemonstrasi, sehingga HMI tetap eksis dan kritisismenya relatif terjaga, meski pernah kucing-kucingan atau terlibat masalah dengan aparat.
Singkat kata dengan spektrum pemikiran tersebut, Kang Dedi meyakinkan dirinya dan mengajak kita untuk menerima kenyataan sekaligus memetik hikmah (manfaat) dan berterima kasih atas setiap kejadian, baik yang kita anggap buruk–apalagi yang kita anggap baik. Oleh karena itu, jika Kang Dedi membaca opini SN, tampaknya ia pun akan berterima kasih kepada SN. Sebab, berkat opini SN, Kang Dedi kian populer dan berposisi sebagai korban kesalahpahaman bahkan fitnah.
Dalam konteks Sunda Wiwitan, Kang Dedi justru menghargai keberadaan aliran kepercayaan kesundaan itu sebagai bagian dari khazanah keindonesiaan. Sesuai dengan konteks keturunan dan lingkungannya yang Sunda, Dedi Mulyadi memang memunculkan kembali idiom-idiom dan citra kesundaan. Namun, tidak serta merta ia adalah Sunda Wiwitan.
Terkait ucapan terima kasih kepada penjajah Belanda, dia tidak membenarkan penjajahan Belanda secara etik melainkan menggugatnya seraya berusaha mengambil hikmah (manfaat) atas peristiwa tersebut. Dalam konteks ini, jelas belaka bahwa menggugat dan mengambil hikmah adalah dua hal berbeda. Jika gugatan berarti penolakan sekaligus perlawanan, maka mengambil hikmah adalah kearifan atau sikap positif atas berbagai kejadian yang akan menambah energi bagi kita dalam merengkuh kebijaksanaan dan berkarya.