Sekarang ini lagi musim klaim. Ada dua di antaranya yang menarik dan kontroversial, pertama klaim “saya Islam”, dan kedua klaim “saya Pancasila”. Dalam tulisan ini saya akan bahas yang kedua. (Untuk yang pertama mudah-mudahan bisa dibahas kemudian).
Banyak ktitik–bahkan kecaman–terhadap klaim “saya Pancasila!”. Kritik paling tajam, misalnya, dilontarkan Emha Ainun Nadjib, budayawan dan kolumnis yang khas: sinikal dan nylekit dalam merespons setiap persoalan yang tak disetujuinya.
Dalam situs www.caknun.com, Emha menulis:
Kalau saya nyatakan “Saya Emha, Saya manusia”, orang akan malah kehilangan kepercayaannya kepada keEmhaan dan kemanusiaan saya. Maka saya juga tidak berani ikut teriak “Saya Indonesia, Saya Pancasila”. Gadis yang “kemayu” adalah yang tak percaya diri pada keayuannya, dan gara-gara ia “kemayu”: sirna ayunya.
Siapa tokoh utama yang dikritik Emha, kita semua sudah paham. Tapi, mengapa ada klaim “saya Pancasila!”? Emha–juga kritikus yang lain–tampak meluputkannya.
Kalau kita rajin melacak dunia maya, terutama Facebook, Twitter, dan kawan-kawannya, banyak kita temukan tuduhan, baik tersamar atau terang-terangan, bahwa Presiden Joko Widodo (Jokowi) turunan komunis.
Di dunia nyata, ada buku yang secara khusus ditulis untuk menguatkan tuduhan bahwa Jokowi komunis. Judulnya mirip dengan buku Moammar Emka, Jakarta Undercover.
Baru-baru ini, ada sekelompok orang yang menggeruduk Komisi Nasional Hak-hak Asasi Manusia (Komnas HAM), agar membentuk tim pencari fakta dan mendesak dilakukan tes DNA terhadap Jokowi. Apalagi tujuannya kalau bukan untuk membuktikan bahwa presiden kita ini keturunan komunis.
Karena anggota Komnas HAM yang mendukung cuma Natalius Pigai dan tidak mendapat respons positif dari anggota yang lain, maka mereka mulai menempuh jalan lain, misalnya dengan memviralkan “gerakan 7 juta status mendukung Jokowi tes DNA”.
Dengan mencermati fakta-fakta ini, sangat bisa dipahami mengapa muncul klaim, “Saya Pancasila!”, karena adanya tuduhan yang bertubi-tubi bahwa Jokowi adalah komunis. Ingat kata Adolf Hitler, “Make the lie big, make it simple, keep saying it, and eventually they will believe it.”
“Saya Pancasila!” sebagai bentuk perlawanan terhadap propaganda Jokowi komunis. Dan, ideologi yang dianggap paling absah menjadi lawan komunis di Indonesia adalah Pancasila. Masih ingat kan, munculnya “Hari Kesaktian Pancasila” yang dulu selalu diperingati Orde Baru pada setiap 1 Oktober? Untuk menanamkan propaganda keberhasilan Orde Baru menumpas “G 30 S/PKI”.
Ada tiga kategori para pengklaim “Saya Pancasila!” Pertama, orang-orang yang dituduh komunis dengan tujuan utama untuk menampik tuduhan. Kedua, para pendukung Presiden Jokowi sebagai perwujudan rasa simpati sekaligus penguatan landasan ideologi politik. Ketiga, (tidak menutup kemungkinan) mereka yang belum siap menerima keberagaman sebagai alat justifikasi.
Yang masuk kategori terakhir adalah para pendukung Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang memang ingin menjadikannya sebagai simbol perlawanan terhadap kekuatan Islam.
Selain muncul sebagai jawaban atas tuduhan komunis terhadap Jokowi, munculnya jargon “Saya Pancasila!” juga sangat erat kaitannya dengan konteks politik kekinian yang menampilkan gejala penguatan polarisasi ideologi, antara agamis (Islamis) dan nasionalis. Kekalahan Ahok-Djarot dalam Pilkada DKI Jakarta dianggap sebagai indikator kekalahan kelompok nasionalis.
Untuk menafikan anggapan ini, ungkapan “Saya Islam, Saya Pancasila” dimunculkan disertai upaya pengarusutamaan sejarah tokoh-tokoh Islam dalam perjuangan pergerakan dan kemerdekaan Indonesia.
Di sisi lain, narasi Pancasila yang tidak bertentangan dengan Islam ditampilkan dengan cara menyandingkan masing-masing sila dengan ayat-ayat al-Qur’an. Upaya ini memiliki tujuan ganda, penegasan bahwa nasionalisme tidak bertentangan dengan Islam, dan ormas yang menolak Pancasila sama artinya dengan menolak Islam.
Sebenarnya, jangankan ungkapan yang lahir dari manusia yang disebut “mahal al-khata’ wa nisyan” (tempat salah dan lupa), bahkan firman Allah SWT dalam al-Qur’an, dan sabda Nabi Muhammad SAW, jika dipahami di luar konteksnya bisa menimbulkan kesalahpahaman. Ayat-ayat al-Qur’an atau Hadits Nabi yang seharusnya konstruktif, bisa menjadi destruktif jika dipahami di luar konteksnya.
Jadi, wajar belaka jika banyak juga kalangan yang “gagal paham” dalam menyikapi klaim “Saya Pancasila” yang biasanya didahului dengan “Saya Indonesia”
Dalam suasana hiruk pikuk pra dan pasca Pilkada DKI Jakarta, dan pemanasan politik menjelang 2019, yang diwarnai dengan kecenderungan menguatnya polarisasi dukungan politik, banyak ungkapan dari al-Qur’an, Hadits, dan ucapan orang-orang besar yang diinterpretasikan untuk kepentingan politik subjektif.
Dalam membaca dan menanggapinya, kecermatan dan kearifan amat dibutuhkan. Kesalahan kita membaca konteks dari setiap ungkapan akan berdampak fatal. Karena kesalahpahaman, selain bentuk dari pembelokan makna (misinterpretasi) juga bisa memicu konflik antar sesama anak bangsa, dan bisa mengadu domba sesama pemeluk agama.