Minggu, Oktober 6, 2024

Politikus Bandit dan Transisi nan Tak Kunjung Usai

Mimpi Ujian

Zuly Qodir
Zuly Qodir
Sosiolog, Dosen Fisipol UMY, Peneliti Senior MAARIF Institute for Culture and Humanity dan Senior JIMM

Ada apa dengan demokrasi kita setelah 20 tahun lepas dari cengkeraman kaum otoriter di bawah Soeharto? Kini tiba-tiba para pengamat menyatakan Indonesia dalam genggaman politikus kaum penjahat. Sungguh sebuah kabar yang tidak mengenakkan. Tetapi jika memang demikian adanya, tidak ada kata lain kecuali kita sekarang berada dalam kesengsaraan demokrasi.

Vedi Hadiz (2009) pernah menyatakan bahwa Indonesia yang tengah mengalami transisi demokrasi akan mendapati beberapa fenomena aktual dan fenomenal dalam hal politik serta ekonomi, bahkan keagamaan. Oleh sebab itu, jika tidak dikawal dengan baik, transisi politik yang terjadi di Indonesia hanya akan membuahkan kebejatan-kebejatan politik, ekonomi, dan keagamaan. Kondisinya tidak akan lebih baik dari sebelumnya.

Beberapa fenomena aktual yang bakal terjadi adalah persoalan politik para bandit. Politikus perbanditan adalah politikus yang tidak mengenal persoalan etika dalam berpolitik. Berpolitik adalah bagaimana mendapatkan kekuasaan tanpa memperhatikan kebajikan politik. Etika politik dituduhkan hanya misi kaum humanis dan ahli etika ataupun para filosof. Sementara politikus adalah dunia yang lain sama sekali dengan para filosof, ahli etika maupun kaum humanis.

Politikus bandit adalah mereka yang menempuh segala cara demi mendapatkan kekuasaannya sekalipun harus menipu bahkan “membunuh rakyatnya” dengan pelbagai macam penipuan dan komodifikasi suku, agama, dan etnis. Kondisi semacam ini tengah terjadi di negeri kita yang sangat kita cintai bersama. Politisi yang tak mengenal dan mempraktikkan etika dalam politik akan menciptakan praktik politik despotic. Politik despotic merupakan praktik politik yang tanpa kemanusiaan karena penuh dengan kezaliman terhadap lawan-lawan politik.

Mereka adalah para politikus yang membunuh lawan politik dengan segala cara sekalipun harus memfitnah dengan pemberian informasi palsu (hoax) tetapi dibungkus dengan dalil-dalil yang seakan ilmiah bahkan merujuk dasar-dasar agama yang diyakini oleh sebagian umat di Indonesia. Politikus pendendam menjadi hal yang tidak terbantahkan di sebuah negeri yang politikusnya hanya ingin menguntungkan faksinya. Lawan politik adalah musuh abadi yang harus dimusnahkan dengan praktik-praktik perbanditan.

Selain itu, akan terjadi pula praktik ekonomi kolutif dan nepotisme. Praktik perekonomian Indonesia akan dilanjutkan oleh praktik-praktik perekonomian yang sifatnya kolutif dan nepotisme. Praktik perekonomian hanya menjadi wilayah mereka yang memiliki modal besar sehingga dapat “membeli apa saja dan kapan saja”.

Masyarakat dan rakyat kere tentu hanya akan menjadi penonton yang diperkosa secara ekonomi. Rakyat kere akan menjadi sapi perah karena modal tidak dimiliki sementara membutuhkan penghidupan untuk sekadar menyambung hidup yang lebih lama. Praktik perekonomian kita adalah praktik-praktik yang ditopang juga oleh para bandit politik sehingga mereka menjadi para makelar/broker politik di mana-mana.

Praktik makelar politik terjadi dalam pilkada dan pemilu legislatif. Kita bisa saksikan bagaimana para politisi yang hendak menjadi kepala daerah tidak segan-segan barter dengan pengusaha yang berani memberikan modal miliaran untuk maju menjadi kandidat kepala daerah (pilkada). Hal yang sama juga terjadi dalam pemilu legislatif.

Seolah seperti sudah dimaklumi dan dianggap wajar, seorang calon legislatif yang diberi modal oleh para pemodal besar untuk maju dalam pileg, maka jika nanti terpilih, dia berhutang budi pada si pemodal besar untuk mengembalikan pinjaman yang dilakukan. Korupsi menjadi salah satu jalan mengembalikan modal besar tersebut. Maka, tak heran, banyak politikus mendekam di penjara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Praktik perekonomian perbanditan antara para politikus dengan pelaku usaha yang demikian itu menumbuhkan praktik-praktik ekonomi kolutif dan nepotisme. Bukan hanya kolutif dengan keluarga dan sanak-sanak saudaranya yang telah lazim dalam pemilihan pimpinan partai politik, tetapi juga dalam praktik ekonomi transisi di Indonesia.

Kolaborasi politikus bandit dengan pengusaha hitam yang menjadi broker politik tidak akan pernah menciptakan perpolitikan yang beradab dan bermartabat. Bahkan yang akan terjadi adalah perpolitikan yang hanya menciptakan kesengsaraan berkepanjangan karena yang dinamakan kongkalikong adalah sesuatu yang sangat lazim.

Satu hal lagi yang paling berbahaya dalam perpolitikan Indonesia adalah terjadinya komodifikasi agama dalam ruang politik. Ketika agama telah “dikomodifikasikan”, secara tidak langsung agama itu tengah “disunat” oleh pemeluknya untuk kepentingan politik tertentu tetapi dengan mengajukan berbagai macam argumen dari teks-teks suci keagamaan. Para pimpinan agama, tokoh agama, pimpinan lembaga agama, serta para “pemilik jamaah” dimobilisasi untuk kepentingan politiknya.

Bahkan yang lebih memprihatinkan adalah rakyat tidak diberi pemahaman tentang beragama dan berpolitik yang santun, tetapi justru “dihipnotis” tanpa adanya dialog kritis dan reflektif. Sebab, jika dialog kritis ini dilakukan, para politikus akan kehilangan jamaah.

Hal yang dilakukan adalah indoktrinasi bahwa kita sedang dibuat sengsara oleh rezim berkuasa. Kita sedang dikebiri oleh rezim berkuasa. Kita sedang dikeroyok oleh rezim anti jamaah dan seterusnya. Tetapi tidak akan pernah ada dialog kritis karena memang itu bertujuan membuat manipulasi atas realitas yang sebenarnya terjadi.

Inilah politikus yang mengawinkan tiga hal sekaligus: perilaku bandit, broker serta komersialisasi agama. Tidak aneh jika kita tiap hari disuguhi informasi yang provokatif, sinisme, kebencian serta negatif atas lawan politik.

Beginilah kondisi transisi politik kita yang tengah berjalan 20 tahun sejak 1997. Kini perpolitikan kita semakin uncivilized-un democracy. Sangat berbahaya untuk kemajuan sebuah bangsa yang jumlah pendudukanya cukup besar dan tradisi beragamanya sangat kuat.

Akankah praktik-praktik politik bromocorah, perpolitikan para bandit, makelar, dan komersilis atas agama terus berlangsung? Tentu kita berharap ini tidak berkepanjangan.

Kolom terkait:

Politik Jalan Kebajikan

Perilaku Korupsi dan Politik Kebajikan

Risalah Politik untuk Kebajikan 

Politisasi Agama, Politik Murah Meriah

Bukan Fundamentalisme yang Menguat

Zuly Qodir
Zuly Qodir
Sosiolog, Dosen Fisipol UMY, Peneliti Senior MAARIF Institute for Culture and Humanity dan Senior JIMM
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.