Sabtu, April 20, 2024

Politik SARA dan Teror Tahun Politik

Zuly Qodir
Zuly Qodir
Sosiolog, Dosen Fisipol UMY, Peneliti Senior MAARIF Institute for Culture and Humanity dan Senior JIMM

Di negeri ini tiba-tiba orang gila bergentayangan ke masjid, vihara, dan gereja. Sejak kapan orang gila mengerti bahwa ini masjid, itu vihara, dan yang ini gereja. Ini orang gila beneran atau pura-pura gila! Dugaan saya, hanya pura-pura gila atau disebut gila karena perilakunya yang memang gila!

Perilakunya tidak menggunakan akal sehat. Tidak pakai nalar dan nurani. Inilah kegilaan yang sesungguhnya terjadi, bukan orang gila karena mengidap penyakit hilang ingatan alias kentir, sehingga tidak bisa dikenai hukum apa pun.

Tindakan kekerasan dengan senjata tajam terhadap KH Umar Basri (Jawa Barat), HR. Prawoto (Jawa Barat), Bikhu Mulyanto (Tangerang), dan Pastur Pier, SJ (Yogyakarta) tempo hari adalah kebiadaban tidak terhingga. Hanya orang yang tidak memiliki akal sehat dan nurani akan mengatakan bahwa perbuatan tersebut tidak sebanding dengan persoalan bangsa yang sedang terjadi. Bahkan semakin tidak waras jika ada yang mengatakan itu ulah umatnya karena stres dengan pimpinannya.

Bahkan jika dikatakan itu semua adalah tindakan pengalihan isu Pilkada 2018 oleh kelompok tertentu yang ingin memenangkan pertarungan. Sungguh kebiadaban mahadahsyat jika melihat kejadian-kejadian kekerasan atas mereka yang tidak bersalah, pemimpin agama, sekalipun berbeda paham dan agamanya dengan enteng mengatakan: koreksilah umatnya sendiri dan pimpinannya sehingga jamaahnya (umatnya) menjadi brutal! Ungkapan semacam ini sekarang mulai muncul ke publik.

Apa pun yang mereka lakukan terhadap para tokoh agama seperti terjadi belakangan ini, sepanjang Januari-Februari di beberapa tempat, bisa kita sebut sebuah teror kebiadaban menjelang Pilkada 2018 (tahun politik). Kebiadaban paling nyata sepanjang penyelenggaraan pilkada di Indonesia. Tindakan kekerasan terhadap para pemimpin umat dilakukan secara sistematis dan terecana, tapi “orang gila” menjadi tertuduh sebagai pelakunya!

Memperhatikan kecenderungan yang semakin massif, kita tidak dapat berdiam diri hanya mengumpat dan menyalahkan pihak lain. Apalagi menyebarkan berita bohong bahwa itu adalah perbuatan partai politik yang sedang memerintah untuk mengalihkan isu. Itu semua adalah buatan kekuatan pemerintah (Negara) untuk mengamankan kekuasaannya.

Tuduhan-tuduhan semacam inilah yang semakin memperkeruh kondisi di masyarakat. Ditambah lagi dengan menyebarkan berita-berita bohong tentang ungkapan para pimpinan partai yang tidak disukainya. Berita bohong yang disampaikan melalui media sosial dan disebarkan melalui telepon genggam adalah bentuk paling biadab dalam jagat politik kita.

Setiap hari saat ini kita disuguhi pelbagai berita bohong melalui ponsel. Berita bohong tetapi dipercaya oleh sebagian orang yang tidak memiliki paham yang sama dalam keagamaan dan politik. Berita bohong semacam itu jelas-jelas memberikan dampak negatif pada masyarakat luas.

Oleh sebab itu, perlu diperhatikan siapa penyebar dan pengkonsumsinya kemudian diberi ganjaran hukuman agar tidak serta merta memberitakan kebohongan-kebphongan pada publik.

Kembali pada teror yang kini diarahkan pada tokoh agama, kita semua harus punya perhatian yang sama bahwa ini merupakan tindakan biadab yang tidak pantas dilakukan oleh orang waras, yang memiliki akal sehat dan nurani. Bukan orang gila karena penyakit, tapi gila atau sinting karena bertindak melawan kemanusiaan.

Tahun politik tentu panas. Persaingan antarkandidat, partai pengusung, dan tim sukses memang terjadi. Semuanya wajar saja karena memang ini kompetisi. Namun, menjadi tidak wajar jika persaingan itu kemudian diberi warna yang sangat kental dengan isu keagamaan, suku, etnis, dan antargolongan (SARA) sebagai upaya pendongkrak perolehan suara dalam pilkada. Kita seharusnya ingat bahwa SARA adalah ibu kandung Indonesia yang tidak bisa ditolak keberadaannya.

Politik SARA bukanlah politik yang bermartabat. Politik SARA adalah politik pemecah belah bangsa. Politik SARA merupakan cara berpolitik murahan, hanya ingin menjual kebencian, kebengisan, serta kejahatan kemanusiaan lainnya.

Jika kita saksikan banyak politikus kita yang suka menggunakan sentimen SARA dalam berpolitik sebenarnya dapat kita katakan bahwa mereka memang bermental antikemanusiaan; bermental tidak beradab demi meraih kemenangan dalam pilkada.

Tidak ada yang salah dengan SARA, dalam arti “saya tak pernah tahu akan dilahirkan sebagai orang Betawi yang Islam; atau orang Muslim Jawa yang kejawen; atau orang Cina yang Kristen, atau orang Bali yang Hindu, dan sebagainya”. Tapi, sekarang sentimen SARA dikapitalisasi untuk kemenangan dalam pilkada ini sungguh biadab.

Karena itu, kita harus segera siuman untuk mencegahnya secara bersama-sama sebelum teror-teror terhadap para tokoh agama dan umat terus berlangsung.

Kita harus bersama-sama menjaga lingkungan kita. Kita saling menjaga hubungan sosial dengan baik. Kita harus berani melawan kekerasan teror dengan kemanusiaan dan menghentikan penyebaran berita bohong.

Kita juga harus bersedia saling mematuhi hukum, tidak asal bicara dan bertindak melawan hukum. Aparat keamanan, pemerintah, ormas keagamaan, ormas pemuda, semuanya harus bersama-sama mengamankan wilayahnya dari aksi-aksi teror di tahun politik ini.

Kolom terkait:

Dalih “Orang Gila”, Kekerasan, dan Politik Oligarki

“Orang Gila” dan Teror terhadap Tokoh Agama

Menjaga Kewarasan di Era Pasca Kebenaran

Benarkah Pelaku Kekerasan itu karena “Gangguan Jiwa”?

Hoaks Baik bagi Demokrasi? Tunggu Dulu!

Zuly Qodir
Zuly Qodir
Sosiolog, Dosen Fisipol UMY, Peneliti Senior MAARIF Institute for Culture and Humanity dan Senior JIMM
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.