Debat Cagub-Cawagub DKI Jakarta putaran terakhir pada Jumat lalu (10/2) menjadi suguhan penutup yang sudah sepantasnya memantapkan hati para pemilih untuk memilih salah satu pasangan calon di bilik suara pada Rabu ini. Namun demikian, karena banyaknya isu yang dibahas di ketiga putaran debat, ditambah berbagai macam distraksi yang menyeruak di media sosial, mungkin ada sebagian hal penting yang kemudian menjadi luput dari perhatian Anda sebagai pemilih.
Pada kesempatan ini, saya hendak mengangkat dua masalah penting dari paslon nomor urut 3 Anies Baswedan dan Sandiaga Uno, yang tidak boleh luput dari pertimbangan Anda sebagai pemilih. Secara garis besar, kedua masalah tersebut adalah (1) Overrating kemiskinan dan (2) Keterbukaan yang tidak terarah.
Semua Salah Kemiskinan
Isu yang dikupas dalam debat putaran terakhir adalah menyoal peningkatan kualitas hidup masyarakat Jakarta, terutama terkait perempuan, anak, dan mereka yang memiliki difabilitas. Di segmen pertama, dengan membawa data prevalensi pengguna narkoba di Jakarta sebagai yang tertinggi di Indonesia, moderator mengajukan pertanyaan tentang bagaimana strategi paslon untuk menghambat pertumbuhan jaringan peredaran narkoba.
Kemudian, perdebatan berlangsung. Paslon menjawab pertanyaan dan saling menanggapi. Ketika tiba giliran Sandiaga Uno menyampaikan pendapat, ia mulai dengan kalimat, “salah satu permasalahan narkoba, akar permasalahannya itu adalah kemiskinan dan kebodohan.” Karena masalahnya kemiskinan, maka solusinya adalah micro finance, berupa kredit untuk perempuan. Bahwa “kewirausahaan sosial dapat menyelesaikan berbagai permasalahan, termasuk narkoba, dan yang terkait dengan kemiskinan dan kebodohan,” sambung Sandi.
Menjelang akhir debat, Sandi kembali membawa kredit perempuan tersebut sebagai sokoguru pemberdayaan perempuan. Ia ingin mendukung perempuan seperti Bu Cecep, pemilik toko bangunan, dengan program One Kecamatan One Centre of Entrepreneurship (OK OCE). Ketika kemiskinan dan kesulitan ekonomi adalah akar segala masalah, maka kewirausahaan adalah solusi yang hakiki.
If all you have is a hammer, everything looks like a nail.
Paradigma ini rasanya tidak bijak untuk dipakai dalam mendekati permasalahan dalam berbagai aspek kehidupan yang ada di Jakarta. Persoalan narkoba, misalnya, tidak dapat secara sewenang-wenang kita tarik garis kausal langsung dari kemiskinan; yakni bahwa kemiskinan meningkatkan peredaran narkoba. Terlebih apabila kita berkaca pada data prevalensi narkoba Jakarta yang berada pada posisi tertinggi di Indonesia, padahal perekonomiannya bukan yang terburuk.
Sebagaimana dikatakan oleh mantan Kepala BNN Benny Pattiasina, “fenomena dalam kasus peredaran dan penyalahgunaan narkoba yang dapat menyebabkan kerugian sosial dan ekonomi bisa saja terjadi di berbagai lapisan masyarakat tanpa membedakan strata sosial, ekonomi, usia, maupun tingkat pendidikan.”
Menempatkan kemiskinan sebagai faktor penting yang berkontribusi pada permasalahan sosial dan ekonomi warga Jakarta tentu tidak sepenuhnya salah. Namun, menempatkannya sebagai sumber atau akar dari segala masalah dari mulai peredaran narkoba, pelecehan seksual, hingga kesemrawutan pedagang kaki lima (PKL) dalam menggunakan fasilitas umum seperti trotoar dan badan jalan, rasanya amat kurang bijaksana dan perlu dipertimbangkan ulang.
Sekarang Zamannya Open Government
Sementara Sandi berkutat dengan kewirausahaan sebagai solusi untuk semua masalah, Anies berkutat dengan hal lain; yakni keterbukaan dan pelibatan masyarakat yang lebih luas. Dalam debat terakhir, Anies berkali-kali menyebutkan bahwa “pemerintah tidak boleh ‘sok tahu’ segalanya” dan “harus lebih banyak bertanya, melibatkan seluruh elemen masyarakat“.
Di dalam sistem demokrasi, pelibatan seluruh elemen masyarakat adalah sebuah konsep pertama dan utama yang sampai hari ini terus diperdebatkan model implementasi idealnya. Jadi, sangatlah tidak salah bahwa negara perlu membuka diri terhadap keterlibatan masyarakat dan harus lebih banyak bertanya pada masyarakat, bukan berjalan semaunya sendiri.
Sejak debat pertama, Anies beberapa kali mengatakan, “sekarang sudah tidak zamannya good government, ini eranya open government.” Namun hingga debat terakhir, saya masih belum mendapat penjelasan konkret, open government yang dicita-citakan Anies itu seperti apa. Apakah setiap hendak membuat putusan politik, sekecil apa pun, ia akan mengundang seluruh warga Jakarta? Seperti demokrasi ala Athena?
Keterbukaan yang tidak terarah semacam ini sebetulnya juga menjadi lubang yang memerangkap paslon nomor 1, Agus Yudhoyono dan Sylviana Murni. Mereka juga berkali-kali mengatakan bahwa memerintah di Jakarta itu perlu melibatkan seluruh masyarakat, menggerakkan organisasi masyarakat sipil, termasuk PKK, dan seterusnya.
Tetapi, keduanya sama-sama tidak menjelaskan, model partisipasi seperti apa yang ingin mereka bangun dan keterbukaan yang sampai sejauh mana yang hendak mereka ciptakan. Sementara paslon nomor 3 tidak juga menjelaskan keterbukaan yang mereka visikan, cagub dari paslon nomor 2 hanya dapat menjawab, “orang selalu keliru, mengira Ahok itu one man show. Padahal mana bisa seorang Ahok mengurusi seluruh Jakarta?”
Sebetulnya, bukan hal yang mustahil bagi paslon untuk menjelaskan keterbukaan yang dimaksud. Anies-Sandi bisa saja mengambil contoh model di negara lain, antara lain participatory budgeting ala Porto Alegre (Brasil) atau gram sabha ala Kerala (India).
Gram Sabha adalah bagian dari sebuah instalasi desentralisasi di India yang dikenal dengan nama Panchayati Raj Institution (PRI). Devolusi kekuasaan di dalam sistem PRI sampai pada tingkat Panchayat (desa atau kelurahan). Seluruh warga negara yang sudah tergolong usia pemilih termasuk dalam anggota Panchayat yang berhak hadir dan menyampaikan pendapat dalam Gram Sabha–sebuah pertemuan rutin berbentuk musyawarah untuk pengambilan keputusan, termasuk pengawasan dan evaluasi (Sunny, 2014:46).
Keterbukaan dalam PRI terutama menyoal alokasi atau pemanfaatan dan pengelolaan anggaran daerah. Prinsipnya, warga masyarakat menentukan bersama anggaran itu akan dipakai untuk apa. Salah satu dampak positif dari praktik ini adalah meningkatnya pembangunan infrastruktur primer, seperti sumber air, sanitasi memadai, sekolah, dan layanan kesehatan (Gibson, 2012:417).
Model keterbukaan pengelolaan anggaran ini juga diadopsi di Brasil berupa participatory budgeting (PB) yang dinilai banyak pihak telah dijalankan dengan sangat baik oleh masyarakat kota Porto Alegre (Wood & Murray, 2007:22; Sintomer et al, 2012:4). Sistem PB ini dibawa oleh Partai Buruh Brasil dan diberlakukan melalui sebuah UU, sehingga menjadi mandatory untuk seluruh Pemerintah Kota di Brasil.
Sistem ini, selain meningkatkan keterbukaan dan partisipasi, juga menekan korupsi wakil rakyat dengan cara membenturkannya langsung dengan konstituen. Warga di tingkat RT (neighborhoods) akan mengadakan pertemuan berkala untuk berembuk menyusun proposal penggunaan anggaran yang hendak diajukan ke lembaga distrik (terdiri atas wakil rakyat yang dipilih melalui pemilu), baru kemudian dari distrik diajukan ke pemkot.
Pembangunan sistem terbuka seperti di India dan Brasil tersebut membutuhkan detail operasional yang jelas, terutama menimbang adanya keharusan untuk sebuah putusan itu tercapai. Pembuat sistem harus merancang betul bagaimana putusan dapat tercapai dalam sistem yang lebih terbuka, bagaimana alur dan mekanismenya, sejauh mana pusat akan intervensi, dalam kondisi apa pusat lepas tangan sama sekali, bagaimana mekanisme pengawasan dan evaluasinya, dan seterusnya.
Sementara Anies-Sandi hanya dapat mengatakan, “kami akan melibatkan seluruh masyarakat.” Jika sebelumnya Agus tidak mengerti apa yang dia omongkan, maka Anies tidak mau pemilih mengerti apa yang dia rencanakan.
Sebelum mencoblos pecinya Anies atau Sandi, saya sarankan Anda pertimbangkan baik-baik, apakah mereka sudah rampung dengan jalur operasionalisasi dan implementasi ide-idenya? Atau hanya sebatas imajinasi? Saya rasa, rakyat tidak membutuhkan imajinasi, berbeda dengan cagub DKI nomor urut 1 yang menjunjung tinggi imajinasi.
Sebelumnya saya sudah mengkritik Agus dan Ahok, bahkan Ahokers. Maka dari itu, sebagai penutup di penghujung pertempuran Pilkada DKI ini, saya menulis dengan semangat berlaku adil pada Anies dan Sandi. Semoga deretan kritik dari saya dapat turut berkontribusi mewujudkan Pilkada Jakarta yang asyik dan inspiratif.
Akhir kata, jangan tanya saya pilih siapa. KTP saya Depok, PKS jaya selalu. Syukron, akhi!