Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Perppu Ormas) telah disahkan dalam rapat paripurna DPR, Selasa (24/10/17). Terlepas dari prosesnya yang kurang mulus, karena tidak diputuskan dengan suara bulat, perppu tersebut telah resmi menjadi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan.
Sejak awal peluncurannya, perppu ini memicu kontroversi di tengah masyarakat. Ada pro dan kontra yang tak terhindarkan. Sebagian kelompok mendukung sepenuhnya perpu tersebut, tetapi sebagian kelompok lain menolaknya dengan keras.
Kalangan yang mendukung setuju dengan argumentasi pemerintah dalam mengeluarkan perppu. Maraknya aksi radikalisme dan ekstremisme di Indonesia yang tidak jarang berbentuk kekerasan fisik merupakan salah satu alasannya. Banyak penelitian yang dilakukan sejumlah lembaga mengungkapkan tingginya angka radikalisme dan ekstremisme di negeri ini.
Selain itu, ada argumen lain pemerintah yang lebih tegas, yakni muncul dan berkembangnya kelompok yang bahkan secara terang-terangan menentang Pancasila. Lebih dari itu, kelompok tersebut hendak menggantikannya dengan ideologi lain sebagai dasar negara.
Dua argumentasi di atas dapat dipahami oleh para pendukung perppu. Pemerintah dalam hal ini dipandang tengah berupaya membendung negara dari infiltrasi radikalisme dan terorisme. Tujuannya tentu untuk kepentingan bangsa itu sendiri, yakni keamanan dan kenyamanan warganya.
Sementara itu, kelompok yang menentang perppu beranggapan bahwa pemerintah telah melakukan pelanggaran terhadap demokrasi. Pembubaran sebuah ormas tidak dapat dilakukan secara semena-mena, melainkan harus melalui proses pengadilan. Pasal inilah justru yang dihilangkan dalam perppu tersebut.
Lebih jauh, kontroversi tentang Perppu Ormas menjadikan kedua kelompok yang bertikai tersebut terjebak pada ekstremitas. Pihak pendukung menuduh kelompok yang menentang perppu sebagai anti-Pancasila. Sementara pihak penentang menuduh kelompok pendukung perppu sebagai anti-Islam.
Kedua sikap tersebut jelas memperlihatkan ekstremitas yang membahayakan. Islam dan Pancasila seolah-olah bertentangan. Bahkan lebih parah, keduanya seperti sedang dibenturkan satu sama lain. Tentu hal ini bisa mengancam keutuhan bangsa Indonesia.
Oleh karena itu, perlu ada kearifan dari kedua belah pihak untuk mencermati perppu ini. Dukungan atau penentangan terhadap perppu semestinya difokuskan pada hal-hal yang subtantif dari perppu itu sendiri. Mengaitkan dengan sikap anti-Islam atau Pancasila jelas bukan masalah substansi.
Para pendukung perppu, misalnya, sebaiknya menjelaskan secara lebih komprehensif tentang isi atau cakupan dari perppu sehingga tidak terkesan tengah membidik kelompok tertentu saja. Katakanlah bahwa yang disasar perppu itu juga adalah aksi separatisme yang mengancam NKRI. Targetnya jelas, yakni ormas seperti OPM dan RMS.
Selama ini banyak kalangan menganggap bahwa Perppu Ormas hanya menargetkan pembubaran ormas Islam (baca: HTI) yang disebut-sebut menentang Pancasila sebagai dasar negara. Ini terjadi, antara lain, karena kurang komprehensifnya penjelasan tentang perppu oleh pihak pemerintah.
Sosialisasi yang dilakukan pemerintah, dalam hal ini Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo), meski sudah berjalan, masih kurang maksimal. Tidak heran kalau kekurangpahaman publik terhadap perppu kerap terjadi.
Pada sisi lain, para penentang perppu juga seyogianya tidak selalu menghubungkan pemerintah dengan sikap anti-Islam dalam melayangkan kritiknya. Kritikan ini jelas tidak mengena pada substansi perppu itu sendiri. Selain itu, tuduhan tersebut juga mudah dipatahkan sehingga tidak membawa hasil apa pun.
Situasi ini, jika terus dibiarkan, tentu tidak menguntungkan bagi bangsa Indonesia. Sikap ekstremitas yang jelas berlebih-lebihan tersebut akan semakin mempolarisasi masyarakat. Celakanya lagi, polarisasi itu terkait dengan Islam dan Pancasila yang sebenarnya tidak bertentangan sama sekali. Karenanya, hal ini harus segera dihentikan.
Kini lembaga parlemen telah mengesahkan perppu menjadi undang-undang. Para wakil rakyat, kecuali tiga fraksi yang menentang, yakni Gerindra, PKS, dan PAN, telah memutuskan untuk menyetujuinya. Suka atau tidak, kenyataan tersebut telah terjadi.
Tetapi sebenarnya hal ini tidak berarti publik, terutama yang tidak mendukung, sudah kehilangan peluang untuk menolak perppu atau setidaknya tetap mengkritisinya. Dalam konteks ini, ada dua hal yang mungkin bisa dilakukan.
Pertama, melalui jalur pengadilan, dalam hal ini pengajuan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK). UU Nomor 2 Tahun 2017 tentang Ormas yang baru saja disahkan itu bisa jadi akan dibatalkan MK kalau memang argumentasi yang diajukannya mampu meyakinkan MK. Langkah sejumlah kelompok tertentu yang akan mengajukan judicial review perlu diapresiasi.
Kedua, mengawal pelaksanaan UU tersebut. Kewenangan pemerintah untuk membubarkan ormas tanpa melalui pengadilan jelas perlu dikawal bersama oleh publik. Jangan sampai UU ini dijadikan “alat penggebuk” oleh pemerintah terhadap siapa pun yang menentangnya.
Di masa lalu negeri ini pernah memiliki periode kelam ketika sejumlah UU atau peraturan direkayasa pemerintah untuk membungkam suara-suara rakyat. Sebut saja contoh yang paling gamblang adalah UU Subversif. Dengan UU ini, pemerintah leluasa menangkap orang atau membubarkan ormas yang tidak disukainya.
Jelas kita tidak ingin UU Nomor 2 Tahun 2017 tentang Ormas di perjalanannya nanti berubah menjadi alat kekuasaan pemerintah semata. Dengan kata lain, hanya dijadikan alat untuk melanggengkan kekuasaannya. Oleh karena itu, pengawalan publik mesti terus menerus dilakukan.
Kolom terkait:
Saya Islam, Saya Indonesia, Saya Pancasila!
Islam, Pancasila, dan Fitrah Keindonesiaan Kita
Pembubaran HTI Yes, Otoritarianisme No!