Kamis, April 25, 2024

Menilik Eksperimen Politik Partai Solidaritas Indonesia

Moh. Abdul Hakim
Moh. Abdul Hakim
Kandidat Doktor Psikologi Politik, Massey University, New Zealand Dosen Psikologi Sosial & Politik, Universitas Sebelas Maret, Surakarta.

Partai Solidaritas Indonesia (PSI) mencoba melakukan berbagai eksperimen politik di tengah buruknya kepercayaan masyarakat terhadap partai politik. Salah satunya melalui rekrutmen calon anggota legislatif (caleg) secara profesional dan terbuka. Akankah ikhtiar itu membawa imbalan elektoral yang setimpal?

Sebagai salah satu dari partai baru yang telah dinyatakan lolos verifikasi oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), PSI merupakan satu-satunya yang paling serius menbawa angin perubahan dalam praktik berpolitik di tanah air. Proses rekrutmen caleg pun coba mereka lakukan secara profesional dengan melibatkan tim ahli yang independen.

Lihat saja deretan nama-nama yang menjadi anggota dewan juri. Mereka terdiri dari para tokoh yang punya keahlian mumpuni di bidangnya masing-masing, dan memiliki reputasi yang positif di mata publik. Beberapa di antaranya seperti Prof. Dr. Mahfud MD,  Dr. Bibit Samad Rianto (mantan ketua KPK), Zainal Arifin Mochtar (aktivis dan akademisi antikorupsi/PUKAT UGM), dan psikolog politik UI Prof. Dr. Hamdi Muluk. Kapasitas para tokoh ini benar-benar mencerminkan keseriusan PSI untuk mendapatkan caleg-caleg yang berkualitas.

Eksperimen politik yang dilakukan PSI ini sejalan dengan gagasan profesionalisasi politik yang pernah dilontarkan oleh Gordon S. Black pada tahun 1970 di dalam tulisannya yang terbit di American Political Science Review.

Di tengah atmosfer politik Amerika yang sangat partisan pada saat itu, Black melihat bahwa perang ideologi seringkali hanya mengaburkan tujuan utama dari proses-proses politik, yaitu untuk menghasilkan kebijakan publik yang berkualitas. Sentimen-sentimen ideologis seringkali dimobilisasi sedemikian rupa oleh para politisi demi menutupi kinerja politik mereka yang kedodoran.

“Politisi seharusnya memiliki seperangkat nilai-nilai profesional yang terukur dan dapat dievaluasi secara obyektif, sebagaimana profesi dokter dan pengacara”, ujar Black.

Yang menarik, Bibit Samad Riyanto, salah seorang anggota juri caleg PSI, sepertinya mengamini gagasan Black tersebut. “Yang jelas, untuk menjadi seorang pejabat, pemimpin, manajer, perlu tiga hal. Kompetensi di bidangnya, punya integritas, dan konsisten. Untuk yang mau daftar tolong kuasai tiga  hal itu,” kata mantan komisioner KPK itu (www.psi.id).

Adanya seperangkat kriteria profesional bagi para politisi akan memudahkan partai politik dan pemilih dalam menentukan mana kandidat terbaik untuk bekerja sebagai wakil rakyat.

Dalam hal ini, proses rekrutmen caleg secara profesional dapat dipadankan dengan mekanisme rekrutmen sumber daya manusia (SDM) di sebuah perusahaan atau pemberian lisensi praktik untuk para profesional. Hanya saja, dalam politik elektoral, rakyatlah yang memiliki otoritas tertinggi untuk menentukan apakah seseorang layak bekerja di DPR atau tidak.

Profesionalisasi politik seperti yang digambarkan di atas pun setarikan nafas dengan logika kerja demokrasi elektoral itu sendiri.

Pemilihan umum yang diselenggarakan secara reguler dalam rentang waktu tertentu (di Indonesia 5 tahun sekali) memiliki peran penting sebagai titik di mana pemilih berkesempatan untuk mengevaluasi kinerja wakil-wakilnya di DPR.

Bila seorang politisi memiliki kinerja baik, maka ia akan dipilih kembali. Dan sebaliknya, bila kinerjanya buruk maka ia harus diganti. Sesederhana itu. Mirip seperti evaluasi kinerja pada profesi-profesi lainnya.

Dampak Elektoral

Namun ikhtiar serius PSI untuk melakukan profesionalisasi dalam proses rekrutmen para calegnya belum tentu menghasilkan dampak elektoral yang setimpal. Terlepas dari banyaknya tanggapan positif dari kalangan akademisi dan pemerhati politik, saya melihat ada dua hal yang mengindikasikan bahwa para pemilih sebenarnya belum begitu tertarik dengan upaya ini.

Pertama, menelusuri tayangan langsung dan video-video proses seleksi caleg yang dibagikan oleh PSI melalui berbagai kanal media sosialnya, tercatat tak banyak warganet yang tertarik menonton. Video tes wawancara seorang kader sepenting Isyana Bagoes Oka (Ketua DPP) pun, misalnya, hanya berhasil menarik pemirsa sebanyak 168 orang di Youtube (per tanggal 22 November 2017 pukul 14:00 WIB) atau sekitar 0.3% dari seluruh total subscribers di kanal PSI.

Kedua, meskipun sudah didengungkan sejak pertengahan September lalu, gagasan tentang rekrutmen caleg terbuka PSI sepertinya belum mampu mengerek elektabilitas dan popularitas PSI secara signifikan. Survei Center for Strategic and International Studies (CSIS) yang dirilis awal November menunjukkan tingkat elektabilitas PSI di kalangan milenial, sasaran utama pemilihnya, justru berada pada posisi buncit (11.5%), kalah populer dibandingkan Perindo sebagai sesama partai baru.

Politik Periferal

Profesionalisasi politik yang coba dilakukan oleh PSI nampaknya masih membentur paradoks klasik di dalam politik elektoral; sebagian besar pemilih tak terlalu tertarik dengan politik substantif, yang sebenarnya justru paling berpengaruh terhadap kehidupan mereka sebagai warga negara.

Bagi para pemilih awam, politik hanyalah urusan sampingan yang mereka ikuti sekilas di sela-sela sarapan pagi atau obrolan santai dengan teman.

Bagaimanapun, kapasitas kognitif setiap orang setiap sangat terbatas. Alih-alih mengikuti proses-proses politik substantif yang seringkali terasa njlimet, sebagian besar orang memilih menggunakan kapasitas kognitifnya untuk memikirkan urusan hidup sehari-hari.

Bagi pemilih awam, politik hanya akan menarik bila mampu menggugah secara emosional.

Kecenderungan pemilih seperti inilah yang menjelaskan mengapa figur-figur politisi baru dengan pendekatan unik seperti Donald Trump (USA), Rodrigo Duterte (Filipina), Jacinda Ardern (Selandia Baru), dan Joko Widodo mampu membangkitkan minat para pemilih yang awalnya tidak peduli dengan urusan politik.

Secara normatif politik periferal yang mengedepankan sentimen-sentimen emosional tentu tak ideal, namun setiap partai baru seperti PSI mau tak mau harus tanggap dengan kecenderungan pemilih semacam itu. “Hal ini terdengar muram, tapi itulah realitas demokrasi”, ujar Christopher H. Achen dan Larry M. Bartels (2016) di dalam buku terbaru mereka, Democracy for Realists.

Tentu saja saya tidak sedang menyarankan PSI untuk menghentikan eksperimen-eksperimen politik substansialnya seperti rekrutmen caleg secara profesional itu. Eksperimen politik semacam itu jelas penting demi kematangan demokrasi di Indonesia.

Tantangannya tinggal bagaimana PSI dapat mengemas eksperimen politik itu menjadi sebuah peristiwa politik yang mampu membangkitkan daya tarik emosional bagi para pemilihnya.

Kolom terkait:

Grace dan Eksperimen Politik PSI

PSI dan Ilusi Popularitas Dunia Maya

Risalah Politik untuk Kebajikan 

Muhammadiyah di Antara PAN, Perindo, dan PSI

Grace Natalie dan Jawaban Politik Generasi “Y”

Tantangan Berat Grace Natalie

PSI Itu Baru, Muda, dan Kita

Moh. Abdul Hakim
Moh. Abdul Hakim
Kandidat Doktor Psikologi Politik, Massey University, New Zealand Dosen Psikologi Sosial & Politik, Universitas Sebelas Maret, Surakarta.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.