Pertengahan Februari ini akan menjadi awal dari hari-hari masa kampanye pasangan calon Pilkada Serentak 2018. Ingar bingar politik akan menyesaki ruang publik kita. Pasangan calon beserta perangkatnya sudah tentu siap mengadu strategi. Polesan terhadap pasangan calon segera dilaksanakan sebagai upaya mendulang empati dan suara masyarakat. Gagasan serta ketokohan pasangan calon akan dipermak sedemikian rupa melalui medium apa saja.
Yang menarik, dalam pilkada serentak ini kehadiran figur publik seperti artis turut serta menjadi bagian dari strategi kampanye pemenangan. Biasanya pasangan calon seringkali menggunakan tokoh-tokoh nasional yang sudah mapan dalam kontestasi politik. Ketua partai, para menteri, dan pejabat lainnya kerap tampil sebagai juru kampanye masing-masing pasangan calon. Atau biasanya mereka memajang foto pendiri partai atau tokoh yang mempunyai afiliasi ideologi dengan masing-masing partai.
Koran Sindo (1/2/2018) menampilkan wajah-wajah artis yang akan tampil menjadi bagian dari kampanye pasangan calon Pilkada 2018. Dalam Pemilihan Gubernur Jawa Timur, misalnya, hadir Anang Hermansyah mendampingi paslon Khofifah-Emil, sedangkan di pihak Gus Ipul ada Nella Kharisma dan Via Vallen. Sementara Dessy Ratnasari, Lucky Hakim, Eko Patrio, dan Primus Yustisio akan mendampingi pasangan calon Sudrajat-Syaikhu di Pemiihan Gubernur Jawa Barat.
Masih dalam Pilgub Jabar, pasangan calon Tubagus Hasanudin-Anton Charliyan akan didampingi Rieke Dyah Pitaloka, Niko Sabaan, Edo Kondolangit, dan Epi Kusnandar. Ikut mendampingi Deddy Mizwar-Dedi Mulyadi di antaranya adalah Charly, Nassar, dan Ohang. Dan terakhir, pasangan Ridwan Kamil-UU didampingi Rossa dan Cakra Khan.
Cepat Saji
Menarik empati publik untuk mendulang suara menjadi langkah realistis pasangan calon untuk memenangkan pertarungan. Salah satunya adalah dengan menyeret nama-nama artis sebagai bagian dari proses pemenangannya. Tentu pasangan calon memahami bahwa artis sangat populis di kalangan masyarakat ketimbang tokoh-tokoh partai atau pejabat yang mempunyai afiliasi ideologi politik dengan para pasangan calon.
Artis menjadi efisien karena pertimbangan populisme. Sementara, di satu sisi yang lain, dengan hadirnya artis akan mengurangi beban penambahan tim, kendati tidak sedikit materi yang harus dikeluarkan. Artis juga mempunyai hitung-hitungan kuantitas yang jelas, karena mereka mempunyai penggemar masing-masing. Kualitas kampanye tidak perlu diperhatikan terlalu mendalam, sebab dengan artis akan menambah puing suara yang menjanjikan.
Dengan kalkulabilitas itulah maka akan mudah untuk memprediksi. Prediktabilitas ini tentu jelas akan mempermudah capaian suara yang akan dicapai. Ini berbeda dengan penggunaan model kampanye yang kerap menggunakan tokoh-tokoh politik nasional. Artis lebih populis di kalangan masyarakat saat ini, apalagi masyarakat sudah tak bisa lagi dipisahkan dengan dunia infotaiment yang selalu tayang di televisi atau di media konvergensi.
Popularitas tinggi yang dimiliki artis menjadi pertimbangan pasangan calon menjadikannya sebagai tim kampanye pemenangan. Artis di sini tak ubahnya menjadi pengontrol diskursus atau bahkan emosi masyarakat. Artinya, artis akan mendorong secara linear diskursus dan emosi kepada pasangan calon tertentu yang didampinginya dalam pilkada serentak.
Model kampanye cepat saji di atas berpijak pada pendapat sosiolog George Ritzer dalam bukunya The McDonaldization of Society (2004). Mendulang suara dengan menggunakan cara serba instan menjadi fenomena yang tak terhindarkan dalam Pilkada 2018. Kendati ini bisa dikatakan sebagai cara paling jitu memperkenalkan hingga memenangkan pasangan calon dengan memasang artis, di saat yang bersamaan justru memperlihatkan politik jalan tol yang mengkhawatirkan.
Memanfaatkan popularitas artis karena kedekatannya dengan masyarakat memperlihatkan ketidakmampuan dan kurang percaya diri pasangan calon dengan kemampuan yang dimilikinya sendiri. Ini justru mencerminkan kekuatan partai politik sebagai mesin kaderisasi dan pemenangan kandidatnya tidak berfungsi sebagaimana mestinya.
Sikap Awas Televisi
Televisi dan artis ibarat dua sisi mata uang. Keduanya saling berkaitan satu sama yang lain. Artis kerap hadir dalam layar televisi baik sebagai host, narasumber, atau sebagai talen dalam konten siaran tertentu, termasuk juga artis-artis yang terlibat menjadi bagian tim kampanye pasangan calon dalam Pilkada 2018.
Demi menjaga independensi dan keberimbangan televisi, saat mengundang nama-nama artis yang terlibat dalam pilkada, sikap awas perlu dikedepankan. Dalam hal ini pewawancara perlu mengedepankan aspek peraturan yang tertuang dalam Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS).
Pewawancara sebagaimana tertuang dalam pasal 35 di antaranya harus bersikap netral dan tidak memihak, tidak menyudutkan narasumber, memberikan waktu kepada narasumber untukmenjawab dan menjelaskan, tidak memprovokasi narasumber dan yang paling penting adalah mengingatkan dan/atau menghentikan narasumber jika menyampaikan hal-hal yang tidak layak disiarkan kepada publik.
Dengan demikian, televisi sebagai salah satu instrumen lembaga penyiaran akan memberikan informasi yang tidak menggiring opini publik ke dalam kepentingan politik kelompok tertentu. Masyarakat pada akhirnya, selain menikmati tayangan informasi yang layak, juga akan lebih mempertimbangkan secara rasional pilihan politiknya dalam Pilkada 2018. Pendeknya, pilihan politiknya bukan karena si penonton penggemar salah satu artis yeng menjadi tim pemenangan, tetapi karena pertimbangan kritis dan rasional.
Kolom terkait:
Gus Ipul dan Politik Dangdut di Jawa Timur
Langkah Ciamik Gus Ipul Menggandeng Via Vallen-Nella Kharisma
Mitos Pemilih Rasional di Antara Ahokers, Agusers, dan Aniesers