Jumat, April 26, 2024

Memperebutkan Pemilih Agus-Sylvi

Andi Anggana
Andi Anggana
Direktur Eksekutif Lima Communication Strategy and Political Marketing. Alumnus Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Relawan Agus-Sylvi mendeklarasikan dukungannya ke pasangan Ahok-Djarot [Sumber: tribunnews.com]

Usai meraih hasil jeblok dalam gelaran Pilkada Jakarta 2017, suara pasangan Agus-Sylvi diperebutkan dua kandidat kuat lainnya, yakni pasangan Basuki-Djarot dan Anies-Sandi. Meski hanya mengantongi perolehan 17,28% (versi quick count lembaga survei Indikator Politik Indonesia) dari total 7.218.279 surat suara, raihan suara putra sulung Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) itu patut diperhitungkan. Dalam matematika politik, siapa yang mendapat limpahan suara itu, bisa jadi pemenang gelaran Pilkada Jakarta putaran kedua di 19 April nanti.

Hanya saja, politik tidak semata perhitungan di atas kertas. Partai pendukung Agus-Sylvi yang beranggotakan mantan rekan Demokrat di Kabinet Indonesia Bersatu, seperti PAN, PKB, dan PPP, bisa menentukan arah suara. Tak hanya itu, para relawan yang kadung sudah membumi bersama label dan brand Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) bisa juga jadi penentu. Apalagi, juru gedor utama Agus-Sylvi, “Pepo”, panggilan kesayangan Susilo Bambang Yudhoyono, tidak bisa dianggap sebelah mata. Ketiganya harus dirangkul oleh dua kandidat yang lolos bila ingin menang, jangan dipukul.

Agus-Silvy, khususnya brand AHY, sudah telanjur menjadi sejarah dari Pilkada Jakarta. Sempat nangkring di posisi teratas dengan raihan 30,4% dalam rilis Indikator Politik Indonesia di medio November lalu, pada Desember-Februari, posisi Agus-Sylvi melemah. Faktor yang krusial mengurangi suara mereka adalah programnya yang beririsan dengan Anies-Sandi.

Kurang cakapnya Agus-Sylvi saat presentasi program dan jarang tampil di debat swasta memiliki andil suara pasangan nomor urut satu itu anjlok. Ditambah faktor nonteknis, terlalu ikut campurnya SBY dalam politik praktis sang anak yang dilihat sebagai blunder politik.

Berdasarkan platform kepartaian, kedekatan partai pengusung Basuki-Djarot memang sejalur dengan tiga partai pendukung Agus-Sylvi, minus Demokrat. PAN, PKB, dan PPP masuk dalam lingkaran Istana bersama PDI Perjuangan, Nasdem, Golkar dan Hanura. Jika Presiden Jokowi berkenan dan sedikit memerintahkan, mungkin saja, ketiga partai itu mendukung Basuki-Djarot. Hanya saja, sebagai presiden, Jokowi dituntut netral. Jokowi juga bukan faktor penentu dalam pilkada ini, melainkan Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri.

Rasanya, butuh kerja keras ekstra jika Basuki-Djarot ingin meminang suara AHY. Ini bukan soal partai pengusung. Berita ketidakharmonisan Megawati dan SBY membuat banyak batu sandungan. Terlebih, SBY sudah siap “perang politik” saat dirinya merasa terancam dan terusik lantaran ada beberapa pihak yang menggerogoti kebijakannya ketika menjadi Presiden ke-6. SBY menyentil Istana dan partai pendukung utama Presiden Jokowi yang berada di belakangnya. Otomatis, PAN, PKB, PPP, bisa saja bergabung, tapi sekali lagi, kemungkinan tanpa diikuti basis AHY.

Basis AHY sendiri jauh dari pemilih Basuki-Djarot. Sasaran AHY adalah masyarakat menengah ke bawah. Sementara pasangan calon nomor urut dua itu targetnya kelas menengah atas. Target pemilih AHY hampir sama dengan Anies-Sandi, hanya saja pasangan yang didukung Gerindra dan PKS ini lebih luas cakupannya. Karena itu, saat pemilih AHY tidak mendapat tempat di putaran kedua, besar kemungkinan Anies-Sandi menangguk untung. Ini yang terjadi dalam putaran pertama, Anies-Sandi jadi pilihan alternatif dari kurang matangnya visi misi dan presentasi Agus-Sylvi.

Meski AHY seakan jual mahal karena belum menentukan ke mana berlabuhnya suara pendukungnya, arah dukungannya sedikit bisa ditebak. Salah satunya dari basis relawan pendukung AHY. Mulai dari Komite Umum Nasional Masyarakat Indonesia, Agus Fans Club Jakarta Selatan, Pengurus Anak Cabang Pesanggrahan, dan Forum Tokoh Agama Masyarakat Jakarta Selatan yang sudah berani memproklamirkan diri mendukung Anies-Sandi sehari setelah pencoblosan. Meski ada juga pendukung AHY yang kemudian berlabuh ke Ahok-Djarot.

Sebagian Relawan Agus-Sylvi mendeklarasikan dukungannya ke pasangan Anies-Sandi [Sumber: okezone.com]

Komunikasi politik Anies-Sandi yang terbuka juga membantu mensinergikan terjalinnya penyatuan dukungan dengan kelompok pendukung AHY. Terlebih, hampir tidak ada serangan mematikan yang dilontarkan Agus-Sylvi ke Anies-Sandi dan sebaliknya, dalam putaran pertama. Keduanya menjadikan Basuki-Djarot common enemy. Persamaan strategi ini yang menyebabkan keduanya bisa berangkulan di putaran kedua. Apalagi keduanya mempunyai basis Muslim yang beririsan.

Momentum politik berada di pasangan nomor urut tiga. Anies-Sandi harus bisa memanfaatkan berbagai kesamaan dari Agus-Sylvi. Agus-Sylvi seakan menunggu rayuan maut Anies-Sandi. Tinggal bagaimana keduanya melakukan penjajakan. Sowan politik Gerindra dan PKS seharusnya dirutinkan ke partai berlambang mercy itu. Komunikasi yang intens juga harus diterapkan. Dalam tahap ini, Anies-Sandi harus sedikit menengadahkan tangannya.

Lalu, siapa penentu peralih suara AHY? Melihat kecenderungan terpilihnya Agus Harimurti Yudhoyono dan Sylviana Murni menjadi kandidat calon gubernur Jakarta yang diproklamirkan dini hari di Cikeas, tokoh yang berperan penting atas terjadinya duet itu adalah SBY. Sekali lagi, SBY yang memiliki potensi besar, ke mana suara AHY digulirkan. Atau, seperti yang sudah terjadi pada Demokrat, SBY memainkan politik ganda. Tidak memilih keduanya, tapi memilih berada di tengah, meski samar-samar merujuk salah satu calon.

Strategi tidak memilih di antara dua pilihan atau yang dikenal dengan frasa penyeimbang pernah dilakukan Demokrat saat penentuan UU Pilkada. Saat itu, Demokrat seakan menjadi penentu dari dua kelompok besar yang berbeda pendapat di DPR. Kali ini, dalam situasi berbeda, SBY dapat memainkan pola yang sama, menjadi penentu dari Pilkada Jakarta. Jarang SBY memilih dari dua blok besar, apalagi memilih calon di mana anaknya dikalahkan secara telak. SBY seakan nyaman menjadi berbeda di antara dua gerbong: koalisi atau oposisi.

Strategi gerbong AHY sepertinya mengulur waktu dengan menimbang mana yang paling menguntungkan. Penyebabnya jelas, bargaining position politik AHY besar. Butuh tawaran kerjasama yang menguntungkan AHY, minimal meningkatkan citra Agus sebagai ksatria dan mengamankan posisi Sylvi di Pemerintah Provinsi Jakarta. Di sini, Anies-Sandi harus pintar mensinergikan programnya, setidaknya memasukkan program Agus-Sylvi yang cemerlang di dalam program Anies-Sandi. Elaborasi program itu bisa saja menarik minat barisan AHY ke Anies-Sandi.

Meski begitu, politik tidak statis. Dinamika yang luwes kadang terjadi dalam sistem politik yang tertutup. Tapi memilih Basuki-Djarot tentu menjadi pertaruhan besar bagi AHY yang dikenal paling bertentangan dengan sang petahana. Sekarang pilihannya tinggal dua. Memilih Anies-Sandi dengan konsekuensi manis mendapatkan bargaining position atau bermain aman berdasarkan langgam Demokrat dengan tidak memilih keduanya, meski diam-diam mendukung salah satunya. Kita tunggu “Pepo” bekerja.

Andi Anggana
Andi Anggana
Direktur Eksekutif Lima Communication Strategy and Political Marketing. Alumnus Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.