Konteks Hadits Pertama
Setelah mengurai kedua hadits di atas dari sisi sanad, kita akan telusuri keduanya dari sudut matan dengan melihat kajian sejarah dan siyasah. Kenapa kajian teks hadits harus kita legkapi dengan kajian lintas disiplin? Kajian sanad semata membicarakan kualitas perawi dan ketersambungan di antara mereka, namun tidak mempersoalkan konteks sejarah politik Islam di mana riwayat-riwayat itu beredar.
Saya beberapa kali singgung dalam tulisan-tulisan sebelumnya, bagaimana terjadi politisasi ayat dan hadits dalam sejarah Islam. Termasuk ke dalamnya muncul riwayat-riwayat palsu yang mendukung para pihak yang bertikai di masa lalu. Kajian sanad yang kita lengkapi dengan memahami konteks matan hadits dengan bantuan ilmu sejarah dan fiqh siyasah akan semakin membuat kita terang benderang memahami riwayat-riwayat seputar politik.
Asumsi yang kita gunakan: semakin detail dan rinci riwayat yang bicara prediksi politik, semakin kita harus kritis bahwa riwayat tersebut diriwayatkan secara post-factum—untuk tidak mengatakan semua riwayat tersebut palsu.
Hadits pertama yang sanadnya sudah saya tunjukkan bermasalah itu bercerita mengenai konflik tiga orang putra khalifah. Siapakah mereka? Saya menggunakan asumsi bahwa riwayat ini sebenarnya bukan berkenaan dengan akhir zaman menjelang kiamat tapi sebenarnya muncul saat masa transisi Dinasti Umayyah yang mengalami konflik internal dan munculnya kekuatan baru dari luar, yaitu Dinasti Abbasiyah. Mari kita uji.
Kita akan temui fakta menarik di bawah ini jikalau hadits pertama di atas kita bedah dengan asumsi ini. Ketiga putra khalifah yang saling perang itu adalah para khalifah terakhir dari Dinasti Umayyah, yaitu Khalifah al-Walid II dibunuh oleh Khalifah Yazid III. Dan Khalifah Marwan II membalas dendam atas kematian Khalifah al-Walid II. Khalifah Marwan II ini merupakan khalifah terakhir dari Umayyah. Inilah fakta sejarah pertarungan ketiga putra khalifah.
Hadits pertama kemudian menyebut akan muncul pasukan dengan membawa bendera hitam dari Timur. Fakta sejarah mengatakan Jenderal Abu Muslim membawa bendera hitam memberontak dari wilayah Khurasan kepada Dinasti Umayyah. Lanjutan teks hadits pertama mengatakan “lalu mereka akan memerangi kalian dengan peperangan yang tidak pernah dilakukan oleh satu kaum pun”. Ini merujuk kepada khalifah pertama Abbasiyah yang bernama Abul Abbas dan digelari as-Saffah, sang penumpah darah. Sejarah mencatat kekejamannya tidak terkira (Baca di sini: As-Saffah (Sang Penumpah Darah): Khalifah Pertama Abbasiyah)
Lantas Tsauban, sahabat Nabi yang meriwayatkan hadits ini, mengatakan dia tidak hafal ucapan Nabi berikutnya. Saya menduga bahwa yang dia tidak sampaikan adalah periode Khalifah Abbasiyah kedua, yaitu Abu Ja’far al-Mansur. Justru nama Mansur ini masuk dalam riwayat lain tentang Imam Mahdi di bawah ini:
Harun berkata, “Telah menceritakan kepada kami Amru bin Abu Qais dari Mutharrif bin Tharif dari Abu Al Hasan dari Hilal bin Amru dia berkata; Aku mendengar Ali RA berkata, “Nabi SAW bersabda: “Akan keluar seorang laki-laki dari seberang sungai (seperti Bukhara dan Samarqan), dia bernama Al-Harits bin Harrats, lalu setelahnya akan keluar seorang laki-laki bernama Mansur. Dia memperkokoh keluarga Muhammad sebagaimana bangsa Quraisy memperkokoh Rasulullah. Maka wajib atas setiap mukmin menolongnya, atau beliau mengatakan: “memenuhi seruannya.”
Hadits Sunan Abi Dawud (3739) ini penggalan hadits panjang mengenai Imam Mahdi yang berasal dari keturunan Sayyidina Hasan.
Nah, nama Mansur di atas apakah maksudnya nama Khalifah Mansur? Lalu siapakah al-Harits dalam riwayat ini, apakah maksudnya al-Harits bin Surayj, seorang tokoh yang juga terlibat dalam pemberontakan terhadap Dinasti Umayyah? Wa Allahu A’lam. Yang menarik, para pendukung Osama bin Laden mengklaim bahwa al-Harits ini maksudnya adalah Osama dan Mansur itu Zawahiri. Akhirnya, siapa pun bisa mengklaim sebagai para pembantu Imam Mahdi.
Kembali ke hadits pertama. Tsauban RA kemudian meriwayatkan, “Jika kalian melihatnya, maka bai’atlah dia! Walaupun dengan merangkak di atas salju, karena sesungguhnya ia adalah khalifatullah al-Mahdi.”
Mekkah dan Madinah jarang sekali turun salju (untuk tidak mengatakan mustahil), sedangkan wilayah Khurasan, Suriah, dan, Baghdad–tempat lokasi perebutan kekuasaan Umayyah dan Abbasiyah) sering terkena turunnya salju saat musim dingin. Jadi, jelas lokasi yang sedang dibicarakan dalam hadits pertama ini di luar Mekkah dan Madinah—ini berbeda dengan hadits kedua di mana lokasi Imam Mahdi di kedua kota suci ini.
Lantas disebut dalam hadits pertama mengenai Khalifatullah Mahdi. Khalifah ketiga Abbasiyah “kebetulan” bergelar al-Mahdi. Pernah saya bahas di sini kisahnya bagaimana keuntungan politik yang diraih Abbasiyah dengan menggunakan titel al-Mahdi saat berhadapan dengan kelompok Syiah (Baca di sini: Khalifah Ketiga Abbasiyah: Klaim sebagai Mahdi)
Istilah khalifatullah ini dipersoalkan oleh Syekh al-Albani. Sebagai seorang Wahabi tulen, beliau keberatan seolah Allah membutuhkan “pengganti”. Istilah khalifatullah itu merusak akidah, kata beliau. Bukan pada tempatnya di sini saya membahas pernyataan al-Albani ini secara teologis.
Kita fokus pada isu utama. Memang, sejarah istilah khalifah menarik kita telusuri. Singkatnya begini, istilah khalifah di awal penggunaannya itu adalah Khalifatur Rasul (pengganti Rasul). Ini ditujukan untuk Sayyidina Abu Bakar. Kemudian pas beliau wafat, istilahnya menjadi Khalifah Khalifatir Rasul, merujuk kepada Umar. Karena ribet memanggilnya, maka cukuplah tetap menjadi Khalifah saja. Umar sendiri juga sering dipanggil Amirul Mu’minin.
Istilah Khalifatur Rasul ini dipertahankan di masa Umayyah, tapi di masa Al-Mahdi ini perlahan titel khalifah bergeser, dari semula sebagai khalifah penerus Rasul, kini menjadi Khalifatullah fil Ardh (Khalifah Allah di muka bumi). Ini seolah menjadi bayang-bayang kekuasaan Allah di bumi. Maka, perlahan Khalifah Al-Mahdi duduk di balik tirai dan sejumlah urusan penting diserahkan kepada wazirnya. Posisi khalifah menjadi agung dan berjarak dengan rakyat serta kukuh secara spiritual. Posisi wazir menjadi sangat menguat.
Syekh al-Albani boleh saja keberatan dengan istilah itu. Tapi fakta bahwa istilah itu yang dipakai dalam hadits pertama semakin menunjukkan bahwa asumsi kita di atas benar, bahwa riwayat ini bukan mengenai Imam Mahdi di akhir zaman kelak, tapi berkenaan dengan kondisi politik transisi kekuasaan dari Umayyah menuju Abbasiyah. Itulah sebabnya digunakan istilah Khalifatullah al-Mahdi.
Kelihatannya Ibn Katsir paham bahwa ada indikasi riwayat ini berbau politik dan sudah terjadi di masa transisi di atas. Itu sebabnya Ibn Katsir mencoba menghidupkan kembali riwayat hadits pertama ini untuk konteks menjelang hari kiamat. Ibn Katsir mengatakan:
“Bendera hitam yang di bawa pasukan ini bukan milik Abu Muslim Khurasan yang menggulingkan Dinasti Umayyah, tapi ini bendera hitam yang akan mendampingi al-Mahdi menjelang hari kiamat kelak.” (an-Nihayah 1/29)
Bantahan Ibn Katsir ini menarik karena beliau kukuh berpegang pada teks hadits dan menutup mata terhadap fakta sejarah. Saya ulangi status sanad hadits ini menurut Ibn Katsir marfu’ dalam al-Bidayah, tapi dalam kitabnya yang lain, an-Nihayah, dikatakan mauquf. Ini saja menunjukkan betapa problematisnya hadits ini.
Akibat pembelaan Ibn Katsir di atas, maka hadits yang sebenarnya sudah terjadi pada masa lampau itu menjadi rebutan berbagai kelompok. Taliban, Al-Qaeda, ISIS sampai Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) berebut soal bendera hitam yang disebut dalam hadits pertama ini. Kalau asumsi kita di atas yang lebih bisa diterima, maka masalah bendera dan masalah khalifah sebelum munculnya Khalifatullah Mahdi sudah selesai. Wa Allahu a’lam.
Konteks Hadits Kedua
Sekarang kita bahas hadits berikutnya. Asumsi yang saya ambil adalah riwayat ini juga sudah terjadi di masa lampau, dan tidak berkenaan dengan kemunculan Imam Mahdi menjelang kiamat nanti. Lafaz dalam hadits kedua menggunakan kata rajul (seorang lelaki), bukan Mahdi.
Hadits kedua yang sudah saya sebutkan di atas bicara soal wafatnya seorang khalifah, dan kemudian diba’iatnya seorang lelaki yang pergi dari Madinah menuju Mekkah. Semula menolak, namun kemudian dia menerima bai’at. Ini semua sesuai fakta sejarah berkenaan dengan Abdullah bin Zubair RA yang melakukan pemberontakan dan mengklaim sebagai Khalifah di Mekkah. Semula beliau tinggal di Madinah, namun kemudian diam-diam pergi ke Mekkah menghindari desakan Gubernur Madinah al-Walid yang memaksanya berbai’at kepada khalifah kedua Umayyah, yaitu Yazid bin Mu’awiyah.
Khalifah yang diindikasikan wafat dalam hadits kedua juga kuat merujuk kepada Yazid, di mana Yazid wafat saat pasukannya di bawah pimpinan Muslim bin Uqbah menggempur Abdullah bin Zubair di Mekkah. Lantas Khalifah Marwan mengirim pasukan dari Syam (lagi-lagi fakta pasukan Syam ini sesuai dengan teks hadits kedua). Banyak penduduk Syam yang berbai’at kepada Abdullah bin Zubair, sepeninggal Marwan (sekali lagi fakta ini juga cocok dengan Hadits kedua). Kemudian Khalifah Abdul Malik bin Marwan mengirim Jenderal al-Hajjaj bin Yusuf memerangi Abdullah bin Zubair. Inilah yang dimaksud peperangan dengan suku Kalb.
Abdullah bin Zubair berkuasa selama 9 tahun. Ini juga cocok dengan teks hadits kedua yang mayoritas rawinya menyebutkan 9 tahun kekuasaan ‘lelaki’ itu. Jadi, khalifah yang dimaksud dalam hadits ini adalah Yazid bin Mu’awiyah bukan Khilafah ‘ala minhajin nubuwwah. Imam Mahdi yang dimaksud di sini bukan Imam Mahdi menjelang hari kiamat tetapi Abdullah bin Zubair.
Fakta sejarah dan suasana perselisihan politik pada masa Abdullah bin Zubair ini memang menimbulkan persoalan serius. Saya pernah jelaskan di sini: Tragedi Abdullah bin Zubair dalam Perebutan Khalifah.
Seperti saya jelaskan juga dalam Perseteruan Khalifah: Abdullah bin Zubair Versus Muawiyah II, wafatnya Yazid membuat Abdullah bin Zubair di Mekkah menerima bai’at dari penduduk Hijaz (Mekkah dan Madinah). Maka, sejarah Islam mencatat ada dua khalifah saat itu. Penduduk Damaskus dan Mesir membai’at Muawiyah II, sedangkan penduduk Hijaz, Yaman, Irak, dan Khurasan membai’at Abdullah bin Zubair. Bagaimana menyelesaikannya?
Beredarlah kemudian riwayat Hadits: “Apabila dua orang khalifah dibai’at, maka bunuhlah yang paling terakhir dibai’at di antara keduanya.” Meski riwayat ini terdapat dalam kitab Shahih Muslim, sanadnya menurut sebagian ulama bermasalah. Dua rawinya, Jurairy dan Khalid, mendapat sorotan para ahli hadits.
Nama pertama disebut mengalami ikhtilat (kerancuan) dalam periode akhir hidupnya. Nama yang kedua diragukan apakah dia mendengar hadits ini pada kondisi Jurairy itu tsiqah atau ikhtilat.
Ini saja satu contoh bagaimana persoalan politik dicoba diselesaikan lewat beredarnya riwayat yang berbau politis ini. Contoh lain adalah bagaimana beredarnya riwayat hadits dari Abdullah bin Zubair sendiri tentang lawan politiknya, yaitu keluarga Marwan bin Hakam. Saya tidak bermaksud mengatakan bahwa para perawi di atas telah berbohong, namun jelas memahami hadits yang bersinggungan dengan peristiwa politik kita harus berhati-hati menelaahnya dan tidak terburu-buru mengambil kesimpulan.
Saya baru membahas dua hadits tentang keberadaan khilafah sebelum munculnya Imam Mahdi. Tujuan saya bukan untuk menafikan sosok Imam Mahdi, tetapi hendak menunjukkan logika yang dibangun oleh pendukung khilafah modern itu cukup lemah karena bersandar pada teks hadits yang secara sanad bermasalah, dan secara matan juga dapat dipertanyakan.
Hadits yang berkenaan dengan prediksi pertarungan politik pasca wafatnya Nabi Muhammad memang harus kita kaji terus menerus agar kita mendapat gambaran yang lebih komprehensif lewat kajian lintas disiplin, yaitu ilmu hadits, tarikh, dan fiqh siyasah.
Lagipula, perdebatan mengenai Imam Mahdi ini sudah terjadi sejak periode awal sejarah Islam, dan betapa banyak orang yang mengaku-ngaku sebagai Imam Mahdi sampai saat ini. Sulit kemudian mau berdiskusi membangun argumen dan logika tentang khilafah dalam konteks kemunculan Imam Mahdi yang problematis ini–seperti yang belakangan ini getol dimainkan oleh kelompok almarhum Hizbut Tahrir Insonesia (HTI). Absurd!
Wa Allahu a’lam bish-shawab
Kolom terkait:
Memahami Hadits Khilafah dan Imam Mahdi dalam Perspektif Lintas Disiplin (I)
Proyek Gagal Khilafah dan Tumbangnya Moral Islam
Khilafah: Tujuan atau Sarana? [Bagian I]
Khilafah dan Realisme Fikih Siyasah (Bagian 2 dari 4 Tulisan)