Entah kita harus tertawa terbahak-bahak atau menangis tersedu-sedu menyaksikan sajian episode melodramatik yang tak menarik di atas panggung politik negeri ini yang bernama DPR. Sang mantan ketua yang telah lama “hilang” kini muncul dan merebut kembali tahta yang dulu didekapnya erat-erat dari genggaman “perebut” yang sebenarnya berasal dari lingkungannya sendiri.
Mungkin ada sekian banyak orang yang menggeleng-gelengkan kepala atas peristiwa politik yang “ajib” tersebut. Bisa saja kemudian orang beranggapan bahwa rumah tempat orang-orang yang terhormat tersebut tak ubahnya seperti tempat permainan kanak-kanak yang dengan mudahnya digonta-ganti pemimpinnya.
Ketika seorang anak yang ditunjuk menjadi ketua permainan itu mengundurkan diri karena akan menghadapi hukuman dari ibunya akibat kenakalannya, ia digantikan oleh temannya. Tetapi ketika si anak nakal itu kembali ke permainan, mungkin karena sudah selesai melaksanakan hukuman atau bisa jadi karena melarikan diri, ia mengambil alih lagi posisi ketua permainan itu.
Itulah sepenggal kisah dari pergantian (kembali) ketua lembaga wakil rakyat pada rapat paripurna DPR RI Rabu sore lalu. Ketua DPR yang digantikan, Ade Komarudin, sebelumnya adalah yang menggantikan orang yang kini menggantikannya lagi, Setya Novanto. Dengan demikian, jabatan ketua DPR, dalam pandangan publik kini, ibarat bola yang bisa dilempar orang ke sana kemari sesuka hatinya.
Ketergangguan Etik
Secara aturan memang tidak ada sesuatu yang salah dengan penggantian kembali posisi ketua DPR dari Ade Komarudin ke Setya Novanto. Keputusan itu merupakan hak prerogratif partai bersangkutan, dalam hal ini Golkar, karena kedua-duanya berasal dari partai yang sama. Keputusan penggantian itu diambil melalui rapat pleno yang memiliki kedudukan yang kuat, hanya kalah oleh kongres dan munas, tetapi lebih kuat dari rapat harian. Karena itu, semua kader partai harus mematuhinya, tanpa terkecuali.
Pada sisi lain, masalah-masalah yang membelit Setya, termasuk yang populer dengan sebutan “Papa Minta Saham” semasa ia menjadi ketua DPR sebelum diganti Ade, bisa dilaluinya dengan selamat. Dengan kata lain, keterlibatan Setya dalam kasus tersebut dianggap tidak terbukti seperti yang dinyatakan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) dan kemudian diperkuat oleh Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD).
Bagi para loyalis Setya, kembalinya sang nakhoda baru Golkar pada posisi ketua DPR justru bisa menjadi cara yang efektif untuk memulihkan kembali nama baik Setya akibat kasus papa minta saham tersebut. Selama ini Setya dianggap menyandang beban ke sana kemari, karenanya hanya bisa dipulihkan dengan kembali memimpin DPR.
Namun masalahnya tidak berhenti pada level hukum atau aturan. Ada dimensi lain yang cukup terganggu dengan kembalinya Setya sebagai ketua DPR, yakni dimensi etik. Sekalipun telah dinyatakan bebas secara hukum, agaknya publik sulit mempercayainya begitu saja, apalagi proses-proses hukum di negeri ini kerapkali menyajikan episode-episode dramatik yang jauh dari rasa keadilan.
Sangat mungkin publik sudah telanjur menganggap Setya sebagai orang yang bermasalah. Seringnya ia berurusan dengan masalah hukum, sekalipun selalu selamat, tidak bisa secara serta merta menghapuskan anggapan tersebut. Dengan kata lain, citra Setya di mata publik tetap buruk sehingga sulit untuk dikerek kembali.
Ambiguitas Pemerintah
Bagaimana posisi pemerintahan Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla (JK) terhadap penggantian Ade Komarudin oleh Setya Novanto?
Tampaknya ada skenario politik yang tengah dimainkan Setya. Hal ini tentu ada kaitannya dengan kepentingan politik pemerintahan Jokowi-JK. Pertemuan Setya dengan Jokowi beberapa waktu lalu sebelum wacan penggantian mengemuka agaknya tidak terlepas dari skenario tersebut. Jokowi sudah yakin betul dengan Golkar yang sudah menyatakan diri siap mengamankan semua kebijakan pemerintah.
Dalam hal ini, setidaknya ada dua hal yang dapat dimanfaatkan pemerintah dari Setya dengan kembali menjadi ketua DPR. Pertama, DPR akan lebih tegas dalam menghadapi kelompok-kelompok masyarakat yang ditengarai akan melakukan makar terhadap pemerintahan Jokowi dengan menunggangi aksi massa.
Ade Komarudin dianggap terlalu lemah, sehingga hampir saja Fahri Hamzah dan Fadli Zon membiarkan para demonstran menduduki DPR pada saat demo bela Islam jilid pertama beberapa waktu lalu. Jika Setya sudah pada posisi Ade, hal itu tidak akan terjadi.
Seperti diketahui, belakangan ini Jokowi banyak direpotkan oleh aksi-aksi bela Islam terkait dengan kasus dugaan penistaan agama yang dilakukan calon gubernur Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Malah ada indikasi aksi-aksi tersebut diseret-seret “para penunggang demo” untuk diarahkan pada Jokowi. Jokowi dianggap sebagai pelindung Ahok, meskipun berulang kali menyatakan tidak akan melindunginya. Itulah kenapa Jokowi perlu mendapatkan dukungan sebanyak mungkin pihak, termasuk DPR.
Kedua, tidak ada kaitannya secara langsung dengan aksi demo, tetapi berhubungan dengan masa depan hubungan pemerintah dengan Amerika Serikat. Seperti diketahui Setya juga memiliki kedekatan khusus dengan presiden AS terpilih Donald Trump. Kemungkinan besar kedekatan tersebut dapat dimanfaatkan pemerintah dalam berhubungan dengan rezim Trump nanti.
Trump yang oleh banyak kalangan dianggap sosok kontroversial dengan kerap menyebarkan ujaran kebencian pada saat kampanye akan mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah. Dalam situasi ini, peran Setya jelas bakal cukup menonjol.
Dengan kenyataan seperti dijelaskan di atas, pemerintah jelas sangat berkepentingan dengan keberadan Setya sebagai ketua DPR. Meskipun mengetahui bagaimana citra politik Setya di mata publik, pemerintahan Jokowi agaknya lebih memilih mengabaikannya karena didorong oleh kepentingan pragmatisnya tersebut.
Memang pemerintah tidak secara terang-terangan mendukung Setya. Jokowi sendiri menyatakan bahwa langkah tersebut merupakan keputusan internal Golkar yang harus dihormati. Tetapi diam-diam, agaknya, Jokowi juga sangat senang Setya Novanto menjadi ketua DPR. Di sinilah letaknya ambiguitas pemerintahan (Jokowi).
Dengan catatan di atas makin genaplah lelucon politik di negeri ini. Seseorang yang cukup bermasalah dari sisi citra dibiarkan menjadi ketua lembaga yang berisi kumpulan orang-orang terhormat. Sementara presiden yang sebaliknya memiliki citra yang sangat baik membiarkan hal itu terjadi. Benar-benar ajib negeri ini.