Aksi 212 Yang Akan Dikenang Sejarah
Banyak orang, termasuk saya, kecele dengan gerakan Presiden Republik Indonesia Joko Widodo dalam Aksi Bela Islam III atau dikenal juga dengan istilah Aksi 212. Kita saja kecele, bagaimana perasaan “Sang Penunggang Kuda” yang sudah menunggu detik-detik Jokowi masuk perangkap?
Karenanya, sangat heran jika beredar tulisan singkat di jejaring media sosial dan pesan pribadi yang menyebut bahwa Aksi 212 membuat malu banyak orang. Kecele iya, tapi malu saya rasa tidak.
Tapi kenapa mesti malu? Saya bersorak karena sedang menyaksikan bagaimana sebuah pidato singkat mampu menggulung sebuah niat tidak baik kepada umat Islam dan juga kepada pemerintahan yang sah. Ibarat pertarungan silat, serangan bagai badai, di mana semua mata sedang menunggu sesuatu yang buruk akan segera terjadi jika Jokowi tidak mengerahkan kekuatan, yang paling tidak sebanding dengan serangan yang datang.
Semua orang kecele. Tingkat silat Jokowi jauh lebih tinggi. Dengan kuda-kuda yang kuat dan tidak menolak serangan yang datang, Jokowi justru menjelma menjadi turbin yang kemudian mengubah tenaga yang datang menjadi sebuah kekuatan baru yang lebih bermanfaat bagi Indonesia.
Peristiwa itu pantas untuk dikenang sekaligus dirayakan. Selayaknya film yang bagus, akan diperbincangkan banyak orang setelahnya, bahkan kadang oleh orang yang tidak menonton langsung sekalipun, seperti tulisan ini.
Maka bisa dipahami, sudah menjadi hal lumrah komentator jauh lebih paham dari Sang Sutradara. Ketika tayangan selesai, setiap orang merasa punya hak untuk menafsirkan makna dan kritik terhadap setiap adegan dalam film.
Kunci keberhasilan Aksi 212 adalah; pertama, kemampuan Jokowi dan orang terdekatnya untuk menjaga tingkat kerahasiaan dari strategi hari H. Ini menyebabkan efek surprise yang gemilang.
Kedua, kemampuan Jokowi dan tim melakukan apa yang dalam istilah militer disebut sebagai deception atau pengaburan informasi. Ketiga, disiplin pengerahan massa yang luar biasa dari umat Islam yang membanjiri Jakarta pada 2 Desember 2016.
Saya yakin tidak semua orang yang berjalan mengiringi Jokowi keluar dari Istana Merdeka berjalan kaki menuju Monas tahu apa yang sesungguhnya sedang terjadi. Yang saya bisa pastikan hanya Jenderal Tito Karnavian, Wiranto, dan terakhir Luhut B. Panjaitan, serta mungkin beberapa tokoh di Kantor Staf Kepresidenan yang tahu benar detail jurus Jokowi dalam Aksi 212.
Isu Makar dan Perangkap untuk Jokowi
Pesan kuat dikirimkan Susilo Bambang Yudhoyono melalui konferensi pers tanggal 2 November 2016. Kata kuncinya “Jokowi harus menemui umat Islam”. Jokowi harus tunduk pada tekanan massa untuk memenjarakan Ahok. Namun Sang Presiden tidak bisa digertak, Jokowi tidak menemui peserta aksi 411. Karena sekali dirinya menunjukkan kesan “mudah ditekan”, maka pintu jebakan lain akan segera terbuka.
Di sekitar Jokowi ada Tito Karnavian, seorang Kapolri yang meniti karir dari Detasemen Anti Teror. Tito terlibat langsung menggulung jaringan pelaku teror Bom Bali dan Bursa efek Jakarta. Juga tidak ketinggalan Luhut Panjaitan yang juga sangat menguasai peta kekuatan politik dan peta kekuatan militer, namanya memang tidak pernah muncul setelah digantikan oleh Wiranto sebagai Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan HAM.
Menempatkan Wiranto sebagai Menkopolhukam akan lebih menguntungkan dalam situasi nasional untuk menghadapi kekuatan Islam yang ditunggangi. Ketidakmunculan Luhut sendiri adalah bagian dari strategi Jokowi mengecoh Sang Joki.
Gertakan Balik Jokowi
Jokowi mengancam akan melaporkan kasus Proyek 34 Pembangkit Listrik yang mangkrak di era SBY, pada saat yang sama hilangnya dokumen kasus pembunuhan aktivis HAM Munir, dan pembebasan Antasari Azhar membuat SBY bagai cacing kepanasan.
Setelah menemui Wiranto, malam di hari yang sama SBY bertamu ke rumah Jusuf Kalla. Ada dugaan SBY tidak datang untuk berdiskusi mengenai situasi nasional terkini. SBY lebih tepat mengingatkan Wiranto dan JK bahwa gertakan Jokowi juga bisa berimplikasi pada mereka berdua.
Di sisi lain, Prabowo sudah teruji sebagai seorang nasionalis sejati. Meski mengizinkan massanya bergabung dalam aksi 411, Prabowo tidak mengizinkan atribut partainya digunakan, hal yang sama dimintanya langsung ketika bertandang ke kantor DPP PKS. Langkah ini membuat Fadli Zon dan Fahri Hamzah tidak punya ruang gerak untuk melakukan manuver seperti yang sering mereka lakukan selama ini.
Bagi Prabowo, kepentingan nasional masih jauh lebih penting ketimbang rivalitas dengan Jokowi. Apalagi Jokowi telah menemuinya langsung di Hambalang. Kuda putih yang ditunggangi Jokowi adalah simbol restu Prabowo kepada Presiden untuk mengambil langkah yang dianggap perlu dan memastikan tidak ada yang perlu dikhawatirkan dari pihaknya.
Pasca Aksi 411, Tito Karnavian bertindak cepat. Jaringan ISIS yang dipimpin oleh Saulihu alias Abu Uwais ditangkap di beberapa tempat berbeda. Pengendalian keamanan di Ibukota Jakarta dinaikkan menjadi Siaga I. Dengan mempersilakan umat Islam menyampaikan tuntutan kepada Presiden, Tito sekaligus mengambil alih kendali jalannya aksi.
Panggung utama dipindahkan ke Monas, tidak lagi di depan Istana Merdeka sebagaimana pada Aksi 411. Panggung utama disediakan, berikut pengeras suara langsung di bawah kontrol Kapolri. Gambar dirinya bersama Panglima TNI mengenakan ikat kepala merah putih adalah pesan kuat, jangan coba ingkar dari komitmen NKRI. Pesan bahwa Polri dan TNI siap menghadapi kondisi terburuk sekalipun jika ada yang coba melakukan provokasi.
Di pihak peserta aksi, pesan dari Kapolri tersebut bukan main-main, niat mereka memasuki Jakarta jelas untuk meminta Presiden bersikap terhadap kasus penistaan agama yang dituduhkan kepada Ahok. Polisi sudah disebar di pintu masuk Jakarta, memastikan peserta datang tidak dengan senjata dan bahan peledak. Tito paham betul, satu ledakan bisa membahayakan seluruh bangsa Indonesia.
Ketika hari Aksi 212 tiba, Tito sendiri yang mengawasi panggung utama. Rizieq Sihab tidak lepas dari pengawasannya. Rizieq harus berhitung banyak untuk mengeluarkan hasutan makar, orang yang berada di panggung utama bukanlah orang sembarangan. Selain jabatannya sebagai Kapolri, Tito adalah komandan yang menggulung kelompok Imam Samudera dalam kasus Bom Bali dan juga jaringan Bom BEJ. Rizieq benar-benar menjadi MC yang baik hari itu.
Jokowi di Tengah Takbir Umat Islam
Dalam perhitungan “Sang Penunggang Kuda”, Jokowi tentu sedang berada dalam dilema besar. Menemui umat Islam berarti harus menyerah pada tekanan massa dan itu akan menjatuhkan kredibilitas Jokowi di mata pendukungnya. Jika Jokowi tidak hadir, dirinya akan dianggap musuh umat Islam dan lebih memilih Ahok ketimbang umat Islam.
Berita beberapa hari menjelang Aksi 212 menunjukkan ada perbedaan pendapat antara Polri dan TNI. Bahkan sehari menjelang aksi, Panglima TNI dikabarkan tidak akan hadir di Monas. Tanda-tanda ketidakhadiran Jokowi semakin kuat ketika pada hari H tenda VVIP sudah terisi penuh oleh peserta aksi.
Kekuatan Jokowi justru terletak pada pandangan lawan yang meremehkannya. Jokowi memang lebih pantas disebut seniman politik ketimbang panglima tempur. Tokoh militer sekelas Hitler boleh bersorak memenangkan banyak pertempuran. Namun dibutuhkan seorang Churchill meracik satu detail dengan detail yang lain menjadi sebuah strategi yang bernilai tinggi dan membuat kemenangan menjadi lebih indah.
Keadaan berbalik ketika Jokowi beserta rombongan melangkah keluar istana. Wajahnya sangat santai. Lebih mengejutkan lagi ketika di sampingnya berjalan Panglima TNI yang sebelumnya dikabarkan tidak akan hadir. Wiranto tidak pernah lepas berada di samping Jokowi.
Cuplikan peristiwa Paspamres yang tidak berhasil mengusir sekelompok orang dari dalam tenda VVIP menunjukkan tingkat kerahasiaan dari rencana Jokowi. Hanya “satu kode” dan itu harus dari Wiranto, yang bisa menggeser Panglima Laskar Mujahiddin itu untuk memberikan shaf depan kepada Jokowi dan rombongan.
Sampailah saat yang ditunggu-tunggu. Jokowi akan menyampaikan pidato di hadapan umat Islam. Isi pidatonya singkat, padat, apresiatif, dan tegas. Tidak terbersit sedikit pun getaran takut dalam suara Jokowi.
Deception atau pengaburan informasi adalah teknik yang sangat menentukan hasil akhir sebuah perang. Tidak hanya itu, deception adalah penentu indah tidaknya sebuah kemenangan. Tito dan Gatot sudah sejak awal menyiapkan panggung, persiapan teknis 212 diambil alih.
Jokowi tidak bisa didikte! Perintah terakhir yang diberikannya jelas: pulang dengan tertib. Aksi 212 sudah selesai. Tampak barisan depan ribut dalam kebingungan, mereka terkejut dan terperangah, namun terlambat, gema takbir dan kenangan manis umat Islam yang salat Jumat berjamaah di Monas berhasil menenggelamkan suara marah, bingung, dan kecele.
Tidak ada lagi orasi pasca pidato Presiden. Polisi mengarahkan umat Islam untuk kembali ke tempat asal masing-masing, bus disiapkan. Mayoritas umat Islam yang hadir adalah mereka warga negara yang taat hukum. Jokowi telah menemui mereka, sebagaimana yang diminta oleh SBY.
Aksi Bela Islam III terselamatkan dari upaya penunggangan dari pihak-pihak tertentu. Itulah pembelaan Jokowi terhadap Islam yang sebenarnya. Umat Islam Indonesia itu damai jika tidak dihasut-hasut, jika tidak dipanas-panasi, jika tidak ditunggangi.
Monas kembali kosong dalam waktu singkat, umat Islam pulang dengan tertib, hashtag #SuperDamai212 viral di media sosial. Saking tertib dan disiplinnya aksi umat Islam tersebut, Kapolri Tito Karnavian menggambarkannya dengan kalimat, “Dalam aksi Bela Islam III, tidak satu pun ranting patah di Jakarta.”
Baca