“Tak penting jumlahnya, tak penting siapanya. Setiap orang wajib dilindungi. Kekerasan terjadi berulang-ulang. Lalu, berseliweran kata mayoritas-minoritas di mana-mana,” kata Anies Baswedan, kandidat Gubernur DKI Jakarta nomor urut 3.
Akhir-akhir ini Jakarta disibukkan dengan urusan mayoritas dan minoritas. Sebuah dikotomi warga negara yang sesungguhnya lebih banyak dilandasi kebencian, ketimbang akal pikiran. Situasi yang dulunya kerap disinggung Anies Baswedan sebagai potret berbangsa yang buruk kini menimpa kita. Pejihad utama yang menggaungkan hal ini adalah para takfiri.
Takfiri adalah golongan intoleran yang awalnya dimusuhi Anies Baswedan, sosok yang mencitrakan diri sebagai “Muslim Pluralis” yang cinta keberagaman. Sebagaimana nilai-nilai itu adalah fondasi utama Universitas Paramadina, salah satu anak tangga yang dipijak Anies untuk sampai pada posisi-posisi strategis.
Saya hendak menguji kembali gagasan serta integritas Anies melalui refleksi pengalaman pribadi, ketimbang berupaya memberi inspirasi-inspirasi pongah, layaknya Anies pada masa-masa yang lalu.
Tepat beberapa hari lalu, saya bersama kawan-kawan dalam Forum Masyarakat Peduli Pendidikan melakukan aksi damai di depan gedung Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Dengan jelas, aksi pada hari itu bukan aksi yang ilegal maupun vandal. Kami sudah memohon perizinan kepada Polda Metro Jaya serta pemberitahuan resmi kepada Kemendikbud. Tuntutan yang kami layangkan adalah penyelidikan terhadap dugaan praktik korupsi yang terjadi dalam Kemendikbud di bawah kepemimpinan Anies Baswedan.
Sebenarnya saya bukanlah orang yang membenci Anies, juga tidak pernah kagum sedikit pun pada dirinya. Ya, biasa-biasa saja. Sebiasa reaksi saya ketika tiba-tiba Anies Baswedan datang menyambangi aksi yang kami gelar pada Kamis, 23 Maret 2017, lalu.
Awalnya, selama kurang-lebih sepuluh menit saya berorasi. Tiba-tiba ada mobil Innova hitam dengan iringan mendekat kami. Kami mengabaikan saja, sampai mendapati sosok Anies menyembul turun dari dalam mobil. Tentu kehadirannya sebagai pihak yang tidak diundang membuat kami bertanya-tanya. Apa maksudnya?
Tetapi, kami tetap menyambut hangat kehadiran Anies di tengah-tengah massa aksi pada saat itu. Saya menyapa Anies dan menjelaskan bahwa maksud dan tujuan kami ke sana adalah menuntut penyelidikan yang serius terkait dugaan korupsi yang terjadi pada masa dirinya menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.
Namun, beberapa pertanyaan yang saya ajukan sama sekali tidak ditanggapi Anies. Lantas, saya mempertanyakan apa maksud dan tujuannya menghadiri aksi kami. Anies justru menerabas masuk ke dalam barisan massa dan mulai menimbulkan kerecokan. Kerecokan yang kurang lebih sama seperti yang ia lakukan di Paramadina, saat membajak posisi Rektor Paramadina, yang ketika itu secara demokratis Yayasan Paramadina memilih Yudi Latif, anak ideologis almarhum Nurcholish Madjid.
Anies sama sekali tidak menghiraukan imbauan saya untuk keluar dari barisan massa. Tentu sebagai orang yang bertanggung jawab pada aksi, saya harus melakukan tindakan persuasif. Dengan ramah saya merangkul Anies Baswedan, berupaya menggiringnya keluar dari barisan massa.
Saya ingin mengatakan, “Jika bapak ingin meyampaikan sesuatu, silakan bicara di hadapan kami.”
Belum saja kalimat itu selesai saya ucapkan, Anies secara kasar menolak dengan membentak, “Jangan pegang-pegang saya!” Dibarengi pelototan matanya yang mungkin terkandung unsur kebencian. Rasanya, saya tidak sedang berhadapan dengan sosok Anies yang beberapa tahun lalu berbicara penuh kesantunan serta tata-ucap keramahan.
Kehadiran Anies Baswedan dalam aksi kami beberapa waktu lalu masih menyisakan tanya. Sebagian orang berpendapat bahwa itu sebuah kebetulan. Tapi, saya pribadi berpendapat lain. Kehadirannya sudah direncanakan, dengan tujuan yang jelas; merecoki aksi protes kami.
Jika bertujuan untuk menjelaskan atau bahkan menyangkal apa yang menjadi dugaan kami, Anies tentu akan berbicara di hadapan kami, serta berargumen secara gamblang. Justru itu akan lebih mulia dan bermartabat. Bukan secara khusus mendatangi aksi, dengan tujuan merecoki.
Di titik ini, saya jadi meragukan integritas Anies dalam menjaga komitmennya untuk melawan korupsi, apalagi untuk menjaga keberagaman. Kemunculan nama adik Anies Baswedan dalam proyek VSAT (Very Small Aperture Terminal), yaitu proyek komunikasi jarak jauh berbasis satelit, menjadi salah satu titik cela yang menggoyangkan citra positif Anies sebagai pejabat antikorupsi.
Sementara soal perjuangannya menenun benang-benang perbedaan dalam harmoni Indonesia, saya melihat Anies sudah jauh dari sosok “Muslim Pluralis” yang menyebarkan kedamaian. Ketika pendukungnya di bawah terang benderang matahari membakar isu agama dengan semangat takfiri di masjid-masjid, di mana Anies? Antara pura-pura lugu atau berlagak gagu.
Dalam banyak kesempatan, Anies dengan tegas membedakan “warga negara” dari “penganut agama”. Warga negara, terlepas dari identitas agama, ras, dan sukunya, memiliki porsi dan posisi yang setara di hadapan negara. Itu berarti Anies secara sadar menegaskan bahwa dirinya yang kebetulan terlahir sebagai keturunan Arab tidak ada perbedaannya sama sekali di mata negara dan hak konstitusi dengan mereka yang keturunan Tionghoa.
Tapi sekarang, ia malah secara sadar membaurkan keduanya, sengaja menari dalam tabuhan genderang perang preman berjubah. Pertemuan Anies Baswedan dan Rizieq Shihab menjadi momen yang merangkum semuanya. Memang, tidak ada yang bisa melarang Anies bertemu siapa pun, dengan tujuan apa pun. Tetapi, kita tidak bisa mencerabut pertemuan itu dari konteks waktu dan peristiwa dalam realita.
Anies sedang khusyuk mencalonkan diri di Pilkada Jakarta. Rizieq sedang asyik memperjuangkan pemidanaan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, calon gubernur yang menjadi lawan Anies. Tidak ada yang terlalu bodoh untuk melihat betapa narasi yang diusung Rizieq cs jelas berseberangan dengan nilai-nilai persatuan dalam perbedaan yang dulu digembar-gemborkan Anies. Apa yang dipikirkan, diucapkan, dan diamalkan Anies dan Rizieq jelas bertolak satu dengan yang lain. Ternyata, alam berkehendak lain. Akhirnya, mereka bisa bersatu dalam birahi kekuasaan.
Saya mencatat ada kepongahan intelektual Anies terkait narasinya tentang Partai Arab Indonesia (PAI). Dalam satu pertemuan dengan Rizieq, Anies menyatakan bahwa PAI adalah satu-satunya partai yang mendeklarasikan nama Indonesia. Anies mengutarakan itu di hadapan peserta ceramah, yakni Rizieq Shihab Fans Club alias FPI dan kroni-kroninya.
Dalam penjelasannya, Anies dengan bangga menyampaikan sebuah keterangan sejarah palsu. “Pada tahun 1934, PAI adalah organisasi politik pertama yang mengikrarkan nama Indonesia,” katanya. Tentu saja uraian ini hanya bisa diucapkan oleh negarawan gadungan dan dipercaya oleh mereka yang buta sejarah. Jauh sebelum itu, tepatnya tahun 1928, ada peristiwa besar Sumpah Pemuda. Di situ nama Indonesia sudah diproklamirkan, sebagai sebuah bangsa yang patut diperjuangkan kemerdekaannya.
Di sini, tampak nyata bahwa Anies sudah betul-betul jauh dari sosok berintegritas. Tidak ada lagi yang bisa diselamatkan dari seorang Anies. Ia sudah tenggelam dalam nafsu berkuasa. Lihatlah Anies mengoyak sendiri tenunannya, menggadaikan ilmunya, menjual komitmennya melawan korupsi, menukar semuanya dengan amarah, kebencian, perpecahan, dan pembodohan dengan informasi palsu.
Pak Anies, semoga masih ada umur yang cukup untuk menebus kehancuran yang Anda timpakan pada rakyat demi kepentingan politik pribadi dan rekan sepersyahwatan Anda!
Baca juga: