Panggung politik kita saat ini dipenuhi dengan pertentangan yang tak kunjung berujung, antara yang mendukung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan yang berusaha menihilkannya; antara yang mendukung pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan yang menolaknya; dan antara yang mengapresiasi kinerja Densus 88 dan yang mengolok-oloknya.
Tiga kasus yang saya sebutkan ini sekadar contoh bahwa dalam banyak kasus, kita lebih banyak berbeda, dengan tolok ukur kacamata kuda.
Pertentangan cenderung ke arah yang tidak sehat karena masing-masing merasa paling benar dan berupaya menafikan yang lain. Belum tampak adanya sikap kearifan dalam menyikapi perbedaan pendapat, sebagaimana yang pernah disampaikan Imam Syafii.
“Pendapatku benar, tapi memiliki kemungkinan untuk salah. Sementara pendapat orang lain salah, tapi memiliki kemungkinan untuk benar,” demikian kata imam mazhab yang antara lain diikuti oleh mayoritas Muslim di Indonesia.
Yakin pada pendapat sendiri adalah satu hal, dan sama sekali tidak yakin dengan pendapat yang berbeda adalah hal yang lain. Perspektif yang berkembang di tengah-tengah masyarakat kita, keyakinan pada diri sendiri sama sekali tidak diikuti dengan keyakinan pada orang lain. Padahal, sebagaimana dikemukakan Imam Syafii, kebenaran itu mungkin juga ada di pihak yang menurut kita tidak benar.
Ini bukan berarti kebenaran yang kita yakini sepenuhnya relatif, tapi jika kita mau membuka diri dan bersikap inklusif, niscaya akan terlihat bahwa kebenaran itu ada di mana-mana. Jika sikap inklusif ini dimiliki oleh semua pemeluk agama, niscaya tidak akan mudah terlontar kata “kafir” untuk menista pemeluk agama yang berbeda.
Kebenaran itu seperti emas/permata, yang tetap disebut emas/permata walaupun ada di dasar kubangan lumpur yang kotor, atau bahkan saat berada di tengah genangan air najis.
Oleh karena itu, benar kata Ali bin Abi Thalib bahwa “lihatlah apa yang dikatakan, dan jangan melihat siapa yang mengatakan.” (baca: Jangan Lihat Siapa Gus Mus, tapi Apanya!) Kebencian kita pada seseorang tidak harus membuat kita sama sekali tidak percaya dengan kemungkinan kebenaran dari ucapan-ucapan dan tindakannya.
Islam mengajarkan, jangan pernah menista perempuan pezina, karena ia bisa masuk surga lantaran memberi minuman pada anjing yang kehausan. Sebaliknya, jangan lantas menyombongkan diri karena rajin beribadah, sebab yang rajin salat pun bisa masuk neraka hanya karena membiarkan/membelenggu seekor kucing hingga mati kelaparan.
Artinya, kesalehan bukan sikap yang statis, ia bisa melekat pada siapa pun, sebagaimana kekafiran/kekufuran yang juga bisa melekat pada siapa pun.
Maka, pada saat kita menuduh orang lain kafir, bukan tidak mungkin tuduhan itu ibarat bumerang yang akan berbalik arah pada diri kita. Sebagaimana kita menunjuk-nunjuk orang lain, tanpa kita sadari, pada saat yang sama (selain telunjuk), tiga jari yang lain mengarah pada diri kita. Hanya jempol saja, yang biasanya bersikap “netral”. Karena itulah, jari jempol menjadi perlambang pujian, karifan, dan kebaikan, asal tidak diacungkan secara terbalik.
Atas pertimbangan-pertimbangan di atas, saya ingin mengajak kita semua untuk berusaha mengembangkan kearifan dalam berpolitik. Kearifan politik (political wisdom) yang saya maksud bukan untuk membenarkan yang salah, tapi untuk mencoba melihat sisi kebenaran dari yang kita anggap salah.
Kita boleh saja berjalan di jalan masing-masing, tapi yang harus kita ingat bahwa jalan yang benar bukan hanya jalan milik kita. Mungkin hanya selera, minat, bakat, dan hobi, yang membuat jalan yang kita lalui terasa lebih baik dan lebih indah dari jalan orang lain.
Ada dua cara untuk menumbuhkan kearifan dalam berpolitik. Pertama, dengan banyak belajar dan banyak membaca, terutama teori-teori dan strategi politik baik yang diajarkan para filosof maupun yang pernah dipraktikkan tokoh-tokoh yang sukses dalam berpolitik.
Dengan banyak belajar dan membaca kita akan memiliki pengetahuan yang cukup mengenai kelebihan dan kekurangan setiap teori dan strategi politik. Dan yang lebih penting kita akan mengetahui bahwa setiap teori dan strategi itu tidak berada di ruang hampa yang statis. Artinya, akan meniscayakan perbedaan pada saat pelakunya berada pada saat dan situasi yang berbeda.
Kedua, dengan cara memperluas pergaulan, mengikis keengganan membuka hubungan persahabatan, bahkan dengan lawan politik sekalipun. Dengan cara inilah kita bisa lebih memahami mengapa ada atau mungkin banyak orang yang berbeda haluan politik dengan kita.
Dengan cara menjalin persahabatan, bukan tidak mungkin lawan politik pun akhirnya akan bergabung dan berada satu barisan dengan kita. Kata pemimpin Afrika Selatan Nelson Mandela, “If you want to make peace with your enemy, you have to work with your enemy. Then he becomes your partner”.
Kolom terkait:
Jangan-jangan Kita Sendiri yang Intoleran?
Merawat Kemajemukan, Menjaga NKRI
Kebhinekaan Itu Sunnatullah, Hentikan Politisasi Pluralisme!