Penistaan agama yang diduga dilakukan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok di tengah kontestasi Pilkada Jakarta telah menyedot energi publik yang luar biasa. Tidak hanya masyarakat Jakarta yang ikut hanyut dalam perdebatan kasus dugaan penistaan agama, bahkan masyarakat di luar Jakarta dan di luar Indonesia tidak melepaskan perhatiannya dari isu ini. Tampaknya skala atensi dan polemik yang menyertai kasus ini tidak kalah besarnya dengan Pemilihan Presiden 2014 lalu.
Sudah banyak analis yang menuliskan apakah kasus Ahok pantas disebut penistaan agama atau tidak. Sudah banyak juga yang menulis bahwa Ahok telah dijatuhkan legitimasinya lewat momentum penistaan agama. Namun, ada satu persoalan yang, bagi saya, belum banyak dianalisis setelah hiruk pikuk kasus dugaan penistaan agama ini. Yaitu, bagaimana kasus ini mengubah dengan cepat dan dalam lanskap kehidupan sosial-politik kebangsaan kita hari ini.
Sebelum kasus dugaan penistaan agama muncul, kehidupan beragama dan berbangsa kita memang tidak seratus persen baik-baik saja. Toleransi beragama masih sering dilanggar oleh beberapa kelompok Islamis konservatif. Kekerasan terhadap minoritas beragama masih berulangkali terjadi. Sudah ada pula kelompok Islam yang menyerukan pergantian Pancasila sebagai ideologi negara dengan sistem yang mendukung berjalannya negara Islam.
Sebelumnya minoritas Tionghoa masih menjadi sasaran kebencian yang diskriminatif. Etnis Tionghoa, apalagi yang berbeda agama, juga masih sulit diberikan keleluasaan untuk berkiprah di bidang politik dan pemerintahan secara adil. Masih ada ketakutan dari sebagian orang (yang tidak tercerahkan) bahwa etnis Tionghoa akan menjajah tanah air Indonesia yang dimiliki oleh pribumi.
Namun, kasus Ahok, yang sebenarnya tidak terlalu perlu disikapi secara provokatif, telah menimbulkan perubahan yang luas dalam kehidupan beragama dan berbangsa kita. Politisasi kasus Ahok telah merusak secara cepat tenun kebangsaan yang ada di tengah masyarakat kita. Dan mungkin kasus ini akan mengubah wajah keislaman dan kebangsaan kita di masa depan.
Beberapa bulan belakangan ini kita telah mendengar berbagai berita yang mencoreng nalar kebangsaan kita. Usai menunaikan salat Jum’at di sebuah masjid di Tebet pada pekan lalu, misalnya, calon Wakil Gubernur Jakarta Djarot Saiful Hidayat diusir warga karena perbedaan pandangan politik.
Sebelumnya, yang pernah menjadi viral di media adalah munculnya spanduk pelarangan untuk menyalatkan pendukung penista agama di beberapa lokasi di Jakarta. Apakah perbedaan pandangan politik sampai sedemikian kejinya merusak kehidupan keber-agama-an dan keberagaman kita?
Kasus dugaan penistaan agama oleh Ahok dengan cepat menimbulkan kontroversi. Penyebabnya adalah, di samping berbarengan dengan momentum Pilkada Jakarta, perkembangan pesat teknologi digital telah mendorong secara signifikan meluasnya polemik ini di tengah masyarakat. Berkat kemudahan akses teknologi saat ini, penyebaran pesan kebencian dan rasis bahkan telah masuk dalam percakapan digital antar-keluarga dan kerabat dekat, yang biasanya diisi dengan obrolan menyangkut keluarga dan non-politis.
Namun, mencuatnya kasus Ahok telah membuat media komunikasi maya, seperti Whatsapp, menjadi ajang penyebaran teologi kebencian yang paling massif. Pesan-pesan yang tersebar secara digital ini mengakibatkan hubungan antar-kerabat retak karena perbedaan pandangan keagamaan atau politik.
Selain itu, yang tidak kalah mengkhawatirkannya adalah merebaknya penyebaran teologi kebencian di mimbar-mimbar masjid. Semenjak kasus Ahok mencuat, saya semakin sering mendengar khutbah Jum’at menjadi ajang penyebar pesan untuk tidak memilih pemimpin non-Muslim. Tidak jarang pengkafiran pun muncul menyerang salah satu agama tertentu. Apakah ini wajah Islam Indonesia yang selama ini dikenal ramah dan moderat?
Satu hal yang pasti, dampak dari kasus dugaan penistaan agama adalah munculnya momentum bagi kelompok Islam konservatif untuk naik panggung. Mereka mendapatkan waktu yang pas untuk tampil meraih simpati umat Islam yang sedang bingung dan marah terkait kasus ini. Dan mereka tidak menyia-nyiakan kesempatan ini untuk memanfaatkan psikologi umat Islam yang sedang terombang-ambing.
Psikologi umat islam yang sedang terombang-ambing ini juga dimanfaatkan oleh calon pemimpin dan kelompok politik tertentu untuk mendulang suara dalam Pilkada Jakarta. Masuknya politik pilkada dalam kasus dugaan pencemaran agama inilah yang makin merunyamkan suasana sehingga memunculkan dampak yang dalam dan luas kepada publik.
Kita tidak pernah tahu apakah berakhirnya Pilkada Jakarta akan mengembalikan lanskap kehidupan kebangsaan kita yang lebih toleran seperti sebelumnya? Baik kemenangan Ahok ataupun Anies tampaknya tidak akan menurunkan tensi ketegangan yang disebabkan oleh politisasi kasus penistaan agama.
Bila Ahok menang, serangan terhadapnya dikhawatirkan akan terus terjadi dan mungkin gelombang protes akan semakin besar. Tapi kemenangan Anies pun tidak akan mengubah banyak hal. Kelompok Islam konservatif akan mendapatkan kesempatan untuk menggulirkan agenda-agenda politiknya ke masyarakat luas. Jadi, hasil Pilkada Jakarta tidak akan mengembalikan tenun kebangsaan yang telah koyak dan robek. Apalagi bila inisiatif-inisiatif untuk merawat kemajemukan kalah oleh agenda merusak kebhinnekaan.
Saya menduga politik sentimen Islam akan tetap kuat menuju Pemilihan Presiden 2019. Apalagi sudah kita ketahui bahwa politisasi Islam sedemikian efektif untuk memobilisasi massa dalam Pilpres 2014 lalu dan terutama Pilkada Jakarta 2017. Kita harus siap dengan kemungkinan terburuk dan di tahun 2019 politisasi terhadap Islam mungkin tidak kalah kuatnya dengan yang terjadi di sekitar Pilkada Jakarta 2017.