Kamis, April 25, 2024

Ketika Jokowi Belah Bambu GNPF-MUI

Budi Setiawan
Budi Setiawan
Pengamat Sosial dan Hubungan Internasional, tinggal di Jakarta
Presiden Joko Widodo saat menerima pimpinan Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF-MUI) di Istana Merdeka, Jakarta, Minggu (25/6/2017). (Fabian Januarius Kuwado)

Pertemuan Presiden Jokowi dengan Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF-MUI) dapat diartikan sebagai tahap akhir pemerintah melumpuhkan gerakan itu. Pastinya, pertemuan itu dilakukan dengan kalkulasi pemerintahlah yang menang. Bukan GNPF. Apalagi diperoleh kabar, Bahtiar Nasir berkali-kali kasak kusuk supaya bisa bertemu Presiden, meski belakangan GNPF menolak dikatakan pihaknya yang meminta, melainkan ”menggagas”.

Permainan simantik ini adalah upaya menyelamatkan muka GNPF. Baik di kalangan internal gerakan itu yang tidak suka dengan pertemuan dengan Jokowi dan juga citranya di masyarakat.

Keinginan bertemu GNPF sebagai gerakan informal bisa dipandang sebagai sinyalemen bahwa gerakan ini mengalami kemunduran. Dan ini ditangkap dengan baik pihak Istana. Seperti tahapan gerakan sosial yang dikatakan Herbert Blummer, GNPF sudah melewati tahapan proses gerakan sosial, yakni kemunculan (emerge), bergabung (coalescene).

Tapi GNPF buntu di tahap formalisasi (bureaucratization) yang mengarah pada tahap penurunan (decline). Tentang anatomi GNPF, silakan baca Larangan Aksi 112 dan Politik Belah Bambu

Benalu Fundamentalis

Lunglainya GNPF disebabkan karena Front Pembela Islam (FPI) sebagai elemen pendukung utamanya absen dari gelanggang. FPI main terpuruk setelah Rizieq Shihab melarikan diri keluar negeri. Tanpa FPI, GNPF tidak ada artinya apa-apa . Akhirnya, GNPF gagal menyebarkan teknik-teknik kemenangan di Jakarta ke daerah lain. FPI dan figur yang dianggap menyebarkan kebencian ditolak di mana-mana.

Terpuruknya GNPF juga disebabkan karena gelombang solidaritas kelompok silent majority pasca kekalahan Ahok di seluruh Indonesia yang juga menyuarakan penolakan paham-paham intoleransi. Aksi 1.000 lilin untuk Ahok berlangsung selama dua minggu di sedikitnya 115 daerah di Indonesia dan 69 kota di 25 negara.

Dampak aksi ini ternyata sangat luas dalam menangkal paham intoleransi dan memicu aksi serupa seperti Saya Pancasila, Aksi Bhinneka Tunggal Ika, dan gerakan cinta tanah air lainnya.

Reaksi spontan terhadap aneka tindakan yang dianggap intoleran juga muncul. Contohnya, kasus salat Idul Fitri di Wonosari, Yogyakarta, yang 10 hingga 20 persen jemaahnya serentak meninggalkan lapangan karena sang khotib menyampaikan khutbah bernadakan kebencian. Sekali lagi ini bukti nyata betapa penolakan paham intoleran sudah ada di alam bawah sadar di kalangan masyarakat.

Akibatnya, GNPF dan juga FPI dianggap masyarakat sebagai benalu dalam demokrasi, bahkan dalam beragama Islam di Indonesia yang harus diberantas bersama.

Dibuat Sengsara

Di saat penolakan paham intoleran yang berlangsung masif, pemerintah berhasil memisahkan kelompok moderat dan loyalitas ideologis yang “mau diajak bicara“ dengan kelompok yang dianggap radikal dalam hal ini GNPF.

Banyak dari mereka terjerat urusan hukum, baik tersangka, saksi atau ditangkap. Bahkan Bahtiar Nasir sendiri tersangkut kasus pencucian uang dan donasi ke Suriah. Tinggal tunggu momentnya saja, Bahtiar Nasir bisa bernasib sama dengan Buni Yani yang hampir semua sumber kehidupannya disekat hanya dari sebutan tersangka. Sudah jatuh miskin, Buni Yani makin sengsara karena dipaksa menempuh perjalanan jauh dari Depok ke Bandung untuk menghadiri sidangnya.

Kenyataan inilah yang mungkin membuat gentar GNPF, khususnya Bahtiar Nasir yang menjadi “otak” seluruh gerakan Aksi Bela Islam berikut turunannya. Dia mungkin merasa sebentar lagi jadi sasaran tembak atau makin dipandang tidak relevan. Berbagai cara dilakukannya untuk membuat GNPF tetap disegani, meski tanpa FPI.

Dia menggalang massa beberapa hari menjelang vonis Ahok. Namun jumlah massanya jauh lebih kecil dari yang diharapkan. Bahtiar Nasir kemudian sangat kecewa dengan kepemimpinan Ansufri Idrus Sambo, yang disebut-sebut guru ngaji Prabowo Subianto yang gagal menggalang dukungan Front Umat Islam (FUI) dalam aksi 313 karena hanya diikuti kurang dari 100 orang.

Menghadapi berbagai sekatan tadi, satu-satunya perlawanan adalah menebarkan isu kriminalisasi ulama. Namun, lagi-lagi, isu itu gagal menggerakkan para alumni 411, 212, 112, 313, dan seterusnya untuk berada di satu barisan. Malah sejumlah simpatisan mereka, yang berusaha muncul, ditangkap karena melanggar UU ITE. Ini menimbulkan ketakutan di kalangan pendukung GNPF untuk berani muncul, baik di media sosial atau di aksi jalanan. Sementara kelompok anti-GNPF dan sejenisnya terus menyuarakan penentangannya, terutama di media sosial.

Bendera Putih

Menyadari nasib genting GNPF, Bahtiar Nasir meningkatkan “nilai jual” gerakannya itu dengan bertemu dengan Presiden. Harap diingat, Bahtiar Nasir itu politisi yang pernah mencoba membentuk koalisi partai Islam di Pemilu 2014 tapi gagal. Lewat berbagai jalur dia mengutarakan keinginannya bertemu Presiden. Akhirnya Istana menerima GNPF hanya 20 menit yang dapat dianggap sebagai pengakuan kekalahan GNPF menghadapi kerasnya tembok perlawanan pemerintah.

Gerakan ini dipaksa berkompromi dan menyampaikan hasil-hasil pertemuan yang mungkin dengan berat hati. Misalnya saja, GNPF memuji Presiden Jokowi sebagai presiden pro-rakyat padahal kemarin pentolannya bilang Jokowi kafir. Bahtiar Nasir juga harus mengatakan pendirian pemerintah bahwa tidak ada kriminalisasi ulama. Padahal GNPF yang paling gencar menyebarkan tuduhan itu. Jadi, upaya meningkatkan nilai jual juga gagal total.

Agaknya GNPF ke depan justru akan menghadapi pertikaian internal. Banyak yang tidak senang dengan pertemuan itu karena merasa tidak diajak berunding. Sinyal ini setidaknya terlihat reaksi hambar dari hasil pertemuan sejumlah tokoh GNPF dengan Amien Rais di Yogyakarta. Bahkan mereka membuat deklarasi yang jauh dari gagasan Bahtiar Nasir. Jadi, di hari-hari ke depan, kita mungkin akan menyaksikan perpecahan di GNPF yang bisa berlangsung cepat atau bertahap.

Sementara, bagi Jokowi, pertemuan dengan GNPF memberi keyakinan pemerintahannya bisa mengendalikan gerakan ini. Caranya seperti belah bambu. Satu diangkat karena sudah jinak, tapi satunya diinjak.

Dan publik tentu paham siapa yang diinjak itu.

Baca juga:

Ada Apa antara Istana dan GNPF MUI?

Budi Setiawan
Budi Setiawan
Pengamat Sosial dan Hubungan Internasional, tinggal di Jakarta
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.