Jika Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) melembagakan ide khilafahnya dengan membentuk organisasi massa, maka jelas khilafah merupakan sebuah produk politik. Sebuah produk politik tentu harus senantiasa diperkenalkan kepada publik melalui serangkaian upaya marketing, baik itu penyusunan produk politik, distribusi produk politik kepada publik dan meyakinkan bahwa produk politiknya lebih unggul dibandingkan dengan pesaing.
Institusi politik, seperti partai politik, juga kurang lebih sama: membawa dan memperkenalkan produk politiknya kepada publik menyasar segmentasi masyarakat yang berbeda-beda. Masing-masing produk politik yang diperkenalkan, saya kira, akan menjadi hak konsumen politik untuk menilai, sesuaikah produk politik yang ditawarkan dengan nilai-nilai atau ideologi yang dianut masyarakat.
Tak ubahnya seperti produk retail yang ada dalam mekanisme pasar, ia bisa diterima atau ditolak, yang pada akhirnya produk yang baiklah yang tetap bertahan.
Tidak tepat jika keberadaan sebuah produk politik malah diberangus, terlebih dianggap sebagai produk politik berbahaya. Sebab, sebuah produk politik adalah hasil dari persemaian melalui nilai-nilai atau ideologi yang dianut dan diyakini oleh masyarakat. Namun, yang pasti, sebuah produk politik yang beredar di masyarakat tentu tak bisa lepas dari gangguan-gangguan para pesaing yang merasa produk politiknya selalu kalah saing di pasaran.
Padahal, menurut hukum mekanisme pasar, semakin banyak produk, semakin masyarakat mempunyai banyak pilihan dan tentu akan tetap memilih produk yang terbaik sesuai dengan harapan mereka. Khilafah sebagai produk politik tentu dipilih oleh konsumen politik sebagai pilihan terbaik mereka, tak berbeda dengan orang lain yang memilih Partai A atau Partai B sebagai produk politik pilihan mereka.
Sejauh ini ide khilafah sepertinya sesuatu yang menakutkan, berbahaya, teror, radikal sehingga mendengarnya saja kita seperti hendak berperang. Padahal, “khilafah” merujuk pada makna aslinya dalam bahasa Arab, “khalafa”, bermakna “pergantian” atau “rotasi” yang ketika dihubungkan dengan konteks politik, “khilafah” memiliki konotasi “proses pergantian kepemimpinan secara politik”.
Sepanjang yang saya ketahui, dalam sejarah Islam, prinsip-prinsip pergantian atau rotasi kepemimpinan politik memang dihubungkan dalam konteks kekhilafahan, sehingga para pemimpin negara Muslim dalam sejarah dikenal dengan sebutan para khalifah. Jika demikian, sebenarnya apa yang ditakutkan dari sebuah konsep atau ide kekhalifahan?
Baca juga: Khilafah adalah Sebuah Kekhilafan
Khilafah, dengan demikian, lekat dengan segala proses pergantian kepemimpinan secara politik dan bisa diyakini oleh siapa saja. Istilah “khilafah” yang menggunakan bahasa Arab nampaknya kemudian menjadi persoalan, tidak hanya di Indonesia, bahkan di negara-negara Arab sekalipun yang menganggap terlampau tendensius terhadap istilah kekhilafahan.
Di Indonesia sendiri, istilah “khilafah” dengan berbagai macam perangkatnya menjadi pembicaraan yang cukup ramai, baik yang pro maupun kontra, sampai pada akhirnya, muncul Perppu Nomor 2 Tahun 2017 yang secara meyakinkan membubarkan HTI sebagai organisasi pengusung ide kekhalifahan.
Memang, banyak negara yang telah lebih dulu membubarkan Hizbut Tahrir, namun alasan pembubaran cukup kuat, karena ideologi yang ditawarkan kelompok ini dijadikan “alat politik” untuk melawan dan menggulingkan kekuasaan yang sah.
Bagi saya, terlalu berlebihan jika ide khilafah itu distigmatisasi “menakutkan” atau “membahayakan”, apalagi disebut “mengancam” negara. Dalam sebuah sistem yang demokratis, memberikan ruang kebebasan kepada publik untuk mengekspresikan gagasan-gagasannya, baik melalui jalur kelembagaan seperti organisasi atau pendapat yang bersifat individu, adalah hal yang wajar dan dilindungi undang-undang.
Bahkan dalam bahasa yang tampak ekstrem, Emha Ainun Najib alias Cak Nun menyebut “Khilafah NKRI” dengan kalimat yang agak filosofis memandang bahwa keberadaan NKRI adalah perwujudan dari eksistensi setiap manusia yang menjadi “khalifah” di muka bumi. Ada atau tidaknya Hizbut Tahrir, Hizbul Wathan, atau Hizb Nashr—yang terakhir ini dikenal sebagai amalan dzikir, bukan organisasi—manusia di muka bumi ini adalah “khalifah” dan digantikan oleh generasi-generasi berikutnya atau “khilafah”.
Baca juga: HTI, Yahudi Madinah, dan Perongrong Negara Kesepakatan
Jika alasan utama pemerintah membubarkan HTI atas dasar ide kekhalifahan yang dipromosikannya, saya kira ini sangat bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi, terutama soal kebebasan berpendapat, berkumpul dan berorganisasi. Lagi pula, HTI menganggap ide kekhalifahan sebagai “nilai politik” yang sesuai dengan keyakinan mereka dan melakukan promosi politik kepada segmen masyarakat tertentu yang juga mempunyai kesamaan nilai dan ideologi politik.
Sejauh ini, tidak pernah ada paksaan kepada orang lain agar mengikuti keyakinan khilafah sebagai satu-satunya nilai kepolitikan yang harus dianut.
Saya beranggapan, khilafah merupakan tawaran dari sebuah “produk politik”. Sama halnya dengan institusi politik lain yang juga menawarkan produk politiknya kepada publik, dengan asumsi yang kurang lebih sama: menyuarakan perlunya rotasi kepemimpinan dalam ranah kekuasaan politik. Politik sendiri tentu akan terkait erat dengan pernyataan sebuah nilai (value). Jadi, isu politik tidak saja sebatas hal yang diperdagangkan, tetapi menyangkut keterikatan simbol dan nilai yang menghubungkan individu-individu.
Sebuah produk politik yang ditawarkan kepada publik tentu tak mungkin lepas dari “nilai” dan “simbol” sebagai aktivitas sosial yang akan menegaskan identitas bagi masyarakat. Khilafah, dengan demikian, sarat dengan “nilai” dan “simbol” yang mewujud dalam sebuah aktivitas sosial sekaligus penegas bagi identitas mereka.
Tidak ada yang salah dalam sebuah produk politik, selama tidak dipergunakan untuk melawan keberadaan eksistensi negara. Menganggap khilafah sebagai bentuk teror yang menakutkan atau mengancam adalah cara yang sengaja dibuat oleh tiran-tiran kontemporer yang takut hidup di alam demokrasi.
Kolom Terkait:
Pro-Kontra Perppu Pembubaran Ormas (HTI)
Pemisahan Khilafah dan Otoritas Agama