Jumat, April 19, 2024

Hitler, Emosi Massa, dan Metamorfosa Propaganda

Roy Martin Simamora
Roy Martin Simamora
Peminat gender studies. Alumnus Hua-Shih College of Education, National Dong Hwa University, Taiwan.

Dalam buku Mein Kampf karya Adolf Hitler—pada salah satu babnya bertajuk “Propaganda Perang”—dia berkata: Apakah propaganda itu sebuah cara atau tujuan? Hitler menyambung: propaganda adalah cara dan oleh karena itu harus dinilai berdasarkan tujuannya. Sebagai akibatnya, ia harus mengambil bentuk yang dikalkulasikan agar bisa mendukung tujuan yang akan dicapai.

Sangat jelas bahwa tujuannya dapat memiliki beragam kepentingan. Bagi Hitler, untuk mencapai kebebasan dan kemerdekaan mesti dilakukan dengan propaganda untuk mengamankan kehormatan bangsanya, Jerman pada masa itu. Hitler meyakini bahwa propaganda dalam perang adalah sebuah alat yang paling baik untuk mencapai tujuan perjuangan eksistensi rakyat Jerman.

Lalu, bagi pemahaman Hitler sendiri kepada siapa propaganda itu hendak ditujukan? Ada dua persoalan yang sangat menentukan kepada siapa propaganda dialamatkan: pada inteligensia yang terlatih secara ilmiah (kaum intelektual) atau kepada massa yang kurang terdidik? Tetapi Hitler menginginkan agar propaganda harus dialamatkan selalu dan khusus kepada massa.

Sayangnya, inteligensia tidak membutuhkan propaganda melainkan intruksi ilmiah. Tidak akan berhasil jika propaganda disampaikan kepada kaum inteligensia yang terdidik sebab mereka berpikiran ilmiah dan teruji.

Lalu, bagaimana cara menyampaikan propaganda? Hitler percaya, isi propaganda tidak lagi membutuhkan kata ilmiah, maka penyelesaiannya adalah dengan objek yang diwakili dalam sebuah poster (seni). Seni poster yang dapat menarik perhatian orang banyak dengan bentuk dan warna. Poster hendaknya memberi gagasan tentang nilai penting pameran kepada massa.

Tentu saja pemikiran Hitler pada saat sekarang ini benar adanya. Peristiwa serupa juga muncul ditengah-tengah masyarakat: propaganda dalam bungkus lain. Meskipun awalnya Hitler menginginkan fungsi propaganda sebagai alat untuk mencapai dan mempertahankan kebebasan bangsa dari bangsa lain, sekarang ini propaganda dipakai menjadi alat pemecah keutuhan bangsa.

Jika dibaca lebih teliti, dalam buku itu, betapa mengerikannya seni propaganda itu sendiri sebagai alat mempengaruhi perhatian massa. Ia mempengaruhi massa dari kaum inteligensia kakap hingga kaum tidak terdidik. Propaganda pun harus disampaikan secara kerakyatan dan menyentuh kepada masyarakat. Semakin besar massa yang ingin dirangkul semakin rendah tingkat intelektual murninya.

Pendeknya, untuk melancarkan peperangan, tujuan propaganda adalah mempengaruhi seluruh rakyat. Makin sederhana intelektualnya menolak, makin eksklusif ia mempertimbangkan emosi massa, makin efektif jadinya. Sangat jelas Hitler mampu mempermainkan emosi massa agar terpengaruh dengan idenya.

Sebagaimana Hilter, ide tentang propaganda yang ia gaungkan telah berhasil membawa perubahan besar kepada bangsanya, Jerman, meski dibayar dengan pertumpahan darah, pembantaian, dan pemusnahan massal. Tetapi, Hitler berhasil menarik simpati rakyat Jerman dengan bermodalkan propaganda, walau awalnya ia menemui banyak kesulitan ketika menebarkan pemikirannya.

Sebagai contoh: propaganda perang Inggris dan Amerika pada masa itu mengalami gejolak psikologis yang amat kuat. Hitler membuat propaganda dengan menyebarkan kabar bohong bahwa sekutu menyebut bangsa Jerman adalah bangsa yang barbarian dan Huns. Ini menguatkan keyakinan, kebencian, dan kemarahan rakyat Jerman untuk melawan mereka (baca: Sekutu). Meski penyebutan nama barbarian dan “hunnish” tidak pernah terlintas dalam benak mereka, pada akhirnya telah berdampak buruk pula pada psikologis bangsa Jerman.

Jadi, jelas bahwa propaganda perang Jerman telah berhasil dan menawarkan sebuah contoh tak pararel tentang fungsi “pencerahan” yang bekerja secara terbalik.

Sebuah contoh kasus paling nyata sebagai akibat kurangnya pemahaman publik tentang sebuah isu yang berkembang: menyebarnya foto-foto palsu tentang kekerasan terhadap warga etnis Rohingya di Myanmar. Penyebaran foto-foto palsu ini memperparah ketegangan di masyarakat, terlebih lagi di mata masyarakat internasional.

Jika ditelusuri, tidak semua foto yang diposting dan dibagikan bisa dipastikan kebenarannya. Maka, yang terjadi adalah penghakiman secara besar-besaran kepada pemerintah Myanmar semakin menjadi-jadi. Fenomena yang paling tampak jika berselancar di media sosial adalah: perang argumen tentang warga etnis Rohingya, karena kisah dari masing-masing pihak bersaing untuk saling mengalahkan dan menyalahkan.

Parahnya lagi, disinformasi di media sosial semakin menyulitkan sikap kedua belah pihak, dan malah bisa memperparah konflik, baik di dalam maupun di luar negeri. Awalnya, tujuannya untuk menarik simpati dari para masyarakat tetapi malah menjadi blunder yang secara otomatis menjadi sarana propaganda. Propaganda lantas mematikan akal sehat dan rasionalitas publik karena telah dijejali kabar-kabar yang tidak bisa dipastikan kevalidannya.

Lebih dari itu, pengguna sosial ikut-ikutan terjerembab dalam lautan emosi. Namun, yang paling membuat saya heran dan lagi-lagi tidak bisa dihindari adalah para pengguna saling mencemooh, menghina, dan mencaci pada sebuah postingan foto yang belum diketahui asal-usulnya. Terbukti, seorang mantan menteri memposting sebuah foto di twitter miliknya dan menjadi bahan perbincangan netizen hangat di media sosial.

Foto itu jelas-jelas foto pembantaian warga Thailand 2004 silam, bukan warga etnis Rohingya. Sang Menteri tidak lebih dulu memastikan atau me-recheck kebenaran dari foto tersebut. Kasus ini kemudian semakin digoreng, dibawa ke permukaan dan dimanfaatkan untuk memprovokasi bangsa sendiri.

Kasarnya, si penyebar foto lebih kejam daripada Junta militer Myanmar karena telah menyebarkan hoaks, kabar bohong, dan propaganda.

Dan akhir pekan lalu terjadi kasus penyerangan terhadap YLBHI di Jakarta. Bermula dari YLBHI menggelar acara bertajuk “Asik Asik Aksi” dalam rangka keprihatinan atas pembubaran acara seminar sejarah 1965. Acara yang diisi dengan rangkaian pagelaran seni dan budaya. Tetapi malang, acara itu ternodai oleh sekelompok massa yang menyerbu karena mendapat kabar bahwa acara itu diinisiasi oleh simpatisan PKI.

Kabar propaganda itu kemudian diviralkan sejumlah orang lewat media sosial untuk memprovokasi para pengunjuk rasa dan akhirnya massa bertambah banyak. Alhasil, YLBHI dituduh sebagai simpatisan PKI dan ingin menghidupkan kembali ideologi komunis di Indonesia.

Padahal, pihak YLBHI sendiri mengatakan tidak ada kegiatan berbau kebangkitan komunis di acara tersebut. Betapa mengerikannya kabar propaganda yang disebar oleh sekelompok orang. Kabar propaganda yang lantas ditunggangi oleh kepentingan sekelompok untuk menggerakkan massa dan menyebabkan chaos.

Jika menilik pemikiran Hitler, propaganda yang diusung olehnya telah sedikit mengalami metamorfosa. Propaganda tidak lagi dilancarkan dalam bentuk seni poster semata lalu ditempel didinding rumah warga atau ditembok-tembok kota. Jika dulu poster dicetak sedemikian rupa agar menarik simpati atau perhatian massa, kini propaganda bisa dilancarkan melalui banyak cara. Salah satu cara yang paling ampuh menebar propaganda adalah melalui media yang dapat diakses oleh setiap orang. Seperti yang telah dilakukan oleh para pengguna media sosial.

Sangat jelas bahwa propaganda lewat media sosial tidak mengenal batas ruang, waktu dan negara. Propaganda telah menyasar kaum-kaum terdidik maupun kaum tidak terdidik, yang mengesampingkan kesahihan fakta dan data yang telah diterima dengan mentah-mentah.

Mulanya, informasi didapat dari satu orang kemudian menyebar begitu cepat seperti asap api yang membubung tinggi. Lalu dengan bodohnya—tanpa menyaring terlebih dahulu—para pengguna dengan antusiasnya membagi konten tak jelas rimbanya dan memprovokasi pengguna lain. Begitu seterusnya sampai berakhir entah di mana.

Bagi Hitler, awalnya, klaim propaganda sangat kasar sehingga rakyat menganggap ide ini gila, kemudian lambat laun ide propaganda menusuk syaraf rakyat dan akhirnya dipercaya. Terbukti, Hitler berhasil menngaplikasikan pemikirannya setelah empat setengah tahun, sebuah revolusi pecah di Jerman; dan slogan-slogannya dihasilkan dalam propaganda perang terhadap musuh. Propaganda dianggap sebagai senjata yang ampuh untuk mencakup massa melancarkan perang.

Tentu kita masih ingat, jauh sebelum Indonesia merdeka, bagaimana Belanda telah berhasil memainkan perannya dan memprovokasi sesama rakyat Indonesia dengan politik pecah belahnya (devide et impera). Politik pecah belah itu sejatinya adalah produk dari propaganda itu sendiri yang telah bergeser. Propaganda tidak lagi dilakukan oleh bangsa asing kepada rakyat Indonesia tetapi telah berganti menjadi propaganda terhadap sesama bangsa sendiri.

Kita tentu tidak mau peristiwa yang sama terulang kembali atau tidak mau propaganda sejenis memecah persatuan dan kesatuan bangsa. Sungguh, masa lalu telah menjadi saksi bisu bahwa sudah tidak dibutuhkan lagi sebuah senjata nuklir untuk merebut dan menghancurkan sebuah bangsa.

Cukup dengan membenamkan propaganda ke otak anak bangsa lewat mulut ke mulut, lewat media massa dan lewat media sosial, maka perpecahan menyeruak dan hancurnya tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Lantas, apakah kita ingin itu terjadi?

Kolom terkait:

Vox Hoax Vox Dei

Malam yang Panjang di LBH dan Dendam Imajiner yang Lebih Panjang

Ingatan Kolektif 1965

Menjadi Indonesia Pasca-1965

1965 dan Demokrasi Kita

Roy Martin Simamora
Roy Martin Simamora
Peminat gender studies. Alumnus Hua-Shih College of Education, National Dong Hwa University, Taiwan.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.