Mungkin Anda sudah mendengar nama Allan Nairn saat ini. Nairn, jurnalis investigatif veteran, sosok yang berkali-kali memeloroti skandal rezim dan para jenderal, tengah menyedot perhatian publik karena laporannya tentang keterlibatan “rekan-rekan Trump” di Indonesia dalam sebuah rencana makar.
Bila Anda percaya dengan penyelidikan Nairn, gerakan masif dan berlarut-larut menuntut diadilinya Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok tak lebih dari dalih untuk mengudeta pemerintahan Joko Widodo. Dipicu oleh simposium rekonsiliasi 1965 yang diadakan medio 2016, sejumlah petinggi militer merasa komunisme sudah di ambang kebangkitan. Mereka merasa harus segera mengambil alih kekuasaan. Mereka memperoleh momentum ketika Ahok menuai amarah kelompok Islam dengan ujarannya soal al-Maidah, dan beberapa konglomerat ikut urun mendukung niatan ini.
Apa yang terjadi selanjutnya, Anda sudah tahu. Unjuk rasa umat Islam dengan jumlah massa terbesar dalam sejarah republik ini bergulir.
Sejauh apakah kita bisa memastikan kebenaran investigasi Nairn ini? Pengamat yang menjauhi api akan menimpali laporan sang jurnalis dengan cepat: wallahu a’lam. Namun, ada satu hal yang bisa Anda pegang dengan pasti dari paparan Nairn. Geliat politik di Indonesia, percayalah, selalu digerakkan oleh hantu.
Kivlan Zein, dalam wawancara dengan Nairn, menegaskan bahwa dengan kian merajalelanya komunisme, militer dapat kembali bertindak dan mengulang kembali apa yang terjadi pada 1965.
Anda boleh menyangsikan Kivlan Zein pernah benar-benar menyatakan ini. Kendati demikian, Kivlan Zein tak hanya sekali-dua kali mendengungkan bahwa komunisme sedang bangkit kembali. Ia berkali-kali menegaskan bahwa komunisme sudah diam-diam menguasai semua lini kehidupan bangsa—menduduki parlemen, mempunyai partai yang lengkap dari cabang ke ranting, beranggotakan 15 juta anggota. Pada satu kesempatan, ia bahkan menyatakan pasukannya sudah siap berperang untuk menanggulangi kebangkitannya.
Apakah Kivlan Zein terdengar mengada-ngada? Bagi saya, ya. Tapi, di antara mereka yang meyakininya, sama sekali tidak. Periksa tautan-tautan pernyataan Kivlan Zein. Tautan-tautan ini tak hanya dibagikan tetapi juga memperoleh banyak anggukan persetujuan. Sorongkan perhatian kita ke berbagai tempat, kita akan segera mendapati bahwa orang-orang masih benar-benar ketakutan dengan bayangan anak-cucu PKI akan kembali untuk membalas dendam.
Idiom PKI masih diulang untuk merujuk ke watak-watak yang dikecam. Dan Anda tentu hapal apa yang dianggap para politisi serangan paling mengerikan ketika pemilihan umum berlangsung: tuduhan PKI.
Kini, mari kita periksa seperti apakah wujud konkret dari satu entitas PKI yang selalu menggentayangi kita ini. Pada tahun 1966-1969, PKI mengalami penghancuran dengan skala yang sukar terbandingkan dengan berbagai penghancuran lainnya di lintasan sejarah dunia. Dalam sebuah survei yang dilangsungkan oleh KOPKAMTIB pada tahun 1966 bersama 150 lulusan perguruan tinggi, satu juta jiwa didapati meninggal. Jutaan ditangkap tanpa melalui proses peradilan. Ekstremitas ini terjadi bahkan hingga ke pelosok yang tak pernah tersentuh negara pada hari-hari biasa.
Dan satu hal yang jangan dilupakan dalam prosesnya: pembunuhan dilakukan dengan sangat demonstratif. Orang-orang diboyong dengan truk di siang bolong dan truk kembali kosong melompong. Nama-nama tertentu dijemput dari desa dan tak pernah kembali lagi. Pesannya telanjang. Orang-orang harus menjauhi segala hal yang mungkin mengesankan kedekatannya dengan komunisme atau siap menanggung risikonya.
Orde Baru, sepanjang hayatnya, terus-menerus mewanti-wanti agar warganya mewaspadai komunisme. Ketika kita tak menemukan lagi komunisme secara kasat mata, rezim menegaskan, ia telah menjelma menjadi komunisme gaya baru. Akan tetapi, pada titik ini kita seharusnya sadar, komunisme bukan hanya tak mempunyai secuil pun legitimasi lagi untuk hadir di Indonesia. Tak ada orang waras yang akan mencoba-coba untuk mendompleng rezim berangkat dari satu gerakan yang sudah luluh lantak dengan cara yang sedemikian menggentarkan.
Maka, apa yang dimaksud dengan PKI ketika ia disebut-sebut hari ini? Yang paling mungkin, ia adalah hantu. Tak ada, namun ada. Tak hadir, namun dihadirkan. Ia terus-menerus dibawakan dalam ketiadaannya untuk melegitimasi ataupun mengambil kekuasaan. Komunisme ditunjuk mendalangi kekisruhan demi kekisruhan kendati, pada kenyataannya, kekisruhan bersangkutan tak lain dari buah operasi intelijen untuk memuluskan kemenangan pemilu Suharto. Pihak-pihak tertentu ditunjuk sebagai komunis agar elektabilitasnya hancur atau gerakannya dapat dibelejeti dengan cepat.
Tetapi, komunisme barulah satu hantu. Kita telah mengembangbiakkan dengan sangat giat beragam spesimen hantu dalam kehidupan politik kita. Sekali waktu 10-20 pekerja Tiongkok tanpa izin ditemukan—jumlah yang sangat wajar mengingat pekerja tanpa izin Indonesia bisa mencapai puluhan ribu di Asia Tenggara sendiri—kita sudah mengembangkan imajinasi-imajinasi liar bahwa kita tengah diserbu habis-habisan oleh buruh negeri bambu. Dan sekali waktu pengamat asing hadir memantau sebuah persidangan terbuka di DPR, orang-orang sudah berspekulasi hingga sejauh Yahudi tengah mengendalikan proses politik di negara ini.
Ada pemuda-pemudi yang preferensi seksualnya berbeda? Mereka, dalam sekejap, menjadi ancaman yang lebih berbahaya ketimbang perang nuklir sekalipun. Mereka adalah senjata bangsa-bangsa asing yang ingin berpesta menyantap kekayaan bangsa Indonesia.
Sayangnya, betapapun banalnya prasangka-prasangka ini, ketakutan adalah daya yang ampuh—kalau bukan paling ampuh—yang menggugah kita untuk bergerak. Dan apa yang terjadi dengan semua daya yang dapat menggerakkan, mengerahkan, memobilisasi umat manusia? Ia menjadi komoditas kekuasaan.
Buzzer menjadi komoditas kekuasaan cukup beberapa saat selepas mereka merangkak dari rahim teknologi baru media sosial. Petinggi agama, sejak awal sejarah, Anda tahu, tak pernah lepas dari politik. Fadli Zon sendiri, Wakil Ketua MPR kita, menegaskan ini: “pemisahan agama dan politik bisa menimbulkan masalah.”
Maka, demikian pula dengan hantu. Anda akan terus-menerus mendapatinya tersemat di jantung perpolitikan karena ialah yang memungkinkannya untuk berdetak. Ia adalah kepastian suara tanpa janji politik yang perlu ditunaikan. Ia adalah jaminan kesetiaan warga yang tak perlu dibeli dengan kebijakan-kebijakan realistis untuk menyejahterakan mereka.
Dan jangan luput dengan fakta ia memberikan kehidupan satu tujuan dan maksud yang jelas. Beberapa kali saya terlibat perbincangan dengan pemuda-pemuda yang yakin Tiongkok sedang melancarkan perang proksi ke Indonesia dengan menyelundupkan narkoba, saya bisa mengatakan, kehidupan mereka terasa sangat bermakna.
Mereka mempunyai sesuatu untuk diperjuangkan. Kendati apa yang diperjuangkan dapat diragukan kenyataannya. Mereka mempunyai sesuatu untuk dilawan. Kendati apa yang ujung-ujungnya mereka lakukan, bisa jadi, hanya bermain tinju-bayangan.
Pada akhirnya, mungkin, memahami dunia memang tidaklah sepenting itu. Yang penting adalah memperjuangkan dunia dari para hantu.
Baca juga: