Wacana pribumi dan nonpribumi menguap kembali ke udara setelah pernyataan pidato perdana Anies Baswedan kemarin. Pernyataan bernada “rasis” itu disampaikan Anies setelah secara sah dilantik sebagai Gubernur DKI Jakarta. Anies menyampaikan orasi dan berbicara soal perjuangan pribumi melawan kolonialisme di masa sebelum kemerdekaan. Dia pun lantas berbicara mengenai bagaimana pribumi dulu ditindas oleh penjajah: “Kini saatnya pribumi jadi tuan rumah di negeri sendiri.”
Pertanyaannya, pribumi yang mana hendak dibicarakan Gubernur Anies? Apakah kaum pribumi yang warisan pada masa kolonial itu hanya berafiliasi kepada suku-suku asli Indonesia?
Istilah-istilah inlander dan pelabelan rasis itu masih saja dikemas dalam bahasa politik. Bukan Anies namanya, dengan gesture lembut nan ciamik, ia memainkan perannya sebagai pesilat lidah. Ia sangat berbakat memainkan perasaaan khalayak publik, terlebih ketika berbicara di atas panggung politik. Alhasil, dikotomi istilah pribumi dan nonpribumi menjadi ramai diperbincangkan sejagat media sosial. Ia pun dikritik habis-habisan perihal istilah warisan kolonial tersebut.
Anies mungkin lupa bahwa setelah berlakunya Undang-Undang 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, maka setiap manusia yang lahir di Indonesia dianggap sebagai warga negara Indonesia tanpa memandang latar belakang, ras, agama dan suku.
Sangat jelas tertuang dalam UU tersebut bahwa: “Seseorang yang lahir dari perkawinan yang sah dari ayah WNI dan ibu WNI, ayah WNI dan ibu WNA, atau ayah WNA dan ibu WNI, anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia yang pada waktu lahir tidak jelas status kewarganegaraan ayah dan ibunya, orang asing yang telah berjasa kepada negara Republik Indonesia atau dengan alasan kepentingan negara” (diberikan oleh Presiden dan pertimbangan DPR RI).
Sejurus dengan itu, dia mungkin lupa pula dengan Intruksi Presiden RI Nomor 26 Tahun 1998 tentang Menghentikan Penggunaan Istilah Pribumi dan Nonpribumi. Tertuang jelas pada butir pertama: “menghentikan penggunaan istilah pribumi dan nonpribumi dalam semua perumusan dan penyelenggaraan kebijakan, perencanaan program, ataupun pelaksanaan kegiatan penyelenggaraan pemerintah.”
Lantas, saya bertanya, apakah Anies tidak pernah membaca Intruksi Presiden tersebut? Anies harus sadar betul bahwa istilah pribumi dan nonpribumi telah lama dihapuskan secara konstitusi. Tak elok rasanya ia melayangkan kalimat yang menyinggung perasaan dan kemartabatan bangsa ini.
Pembagian strata sosial warisan kolonial itu tidak seharusnya disampaikan dalam panggung politik yang amat besar bernama Jakarta. Dalam pidato perdananya, Anies seharusnya lebih mengutamakan esensi dari jabatan yang dia pegang sekarang ini. Bagaimana cara merebut perhatian rakyat Jakarta setelah begitu lama menghabiskan energi, waktu, dan pikiran dalam pertarungan Pilkada Jakarta yang lalu.
Bagaimana memberikan pelayanan yang baik bagi rakyat Jakarta ke depan. Bagaimana memberikan rasa aman, sejuk, dan tentram agar rakyat Jakarta semakin yakin dengan tugas dan amanahnya selama bekerja untuk Jakarta.
Saya pikir itu hal-hal itu yang lebih diutamakan dan esensial!
Namun, jika Anies Baswedan masih ngotot-ngototan ihwal dikotomi pribumi dan nonpribumi warisan kolonial, apakah Anies tidak pernah bertanya pada diri sendiri: “Saya pribumi atau nonpribumi?” Saya rasa dia yang tahu itu. Akan tetapi sebuah kekeliruan yang amat berisiko sebagian dari kita menganggap dirinya sebagai pribumi dan menganggap yang lain sebagai nonpribumi.
Sebuah pertanyaan yang kerap menghinggapi benak saya: apakah kita pernah membayangkan dari mana kita berasal? Apakah gen kita murni dari satu tempat saja?
Barangkali, tidak seorang pun yang pernah membayangkan bahwa kita terbentuk dari tiga revolusi—fisika, kimia, biologi—yang melintasi peradaban ke peradaban baru. Perlintasan sejarah itu telah mempercepat penyebaran populasi manusia dari satu tempat ke tempat yang lain; bermigrasi dari satu tempat ke tempat yang paling jauh di belahan bumi ini.
Tiga revolusi inilah menurut Harari dalam bukunya, Sapiens, telah berpengaruh kepada keberlangsungan hidup manusia dan makhluk lain.
Rupa-rupanya, ketika kita menyebut diri sebagai pribumi, nyatanya kita tidak pernah memiliki gen murni. Seluruh manusia modern yang ada sekarang ini merupakan hasil migrasi generasi (manusia) awal. Harari menyebut bahwa manusia pertama kali berevolusi di Afrika Timur sekitar 2,5 juta tahun silam dari satu genus kera yang lebih tua, Australopithecus, yang berarti “kera selatan”.
Banyak orang yang salah kaprah mengira bahwa manusia tercipta, lahir dari satu keturunan yang liniear. Dengan ergaster menjadi erectus, erectus menjadi neandertal, dan neandertal berevolusi menjadi kita. Model linier ini memberikan kesan yang salah bahwa setiap saat hanya ada satu tipe manusia tertentu yang menghuni bumi, dan semua spesies terdahulu adalah model diri kita versi lama.
Harari berpendapat, populasi homo sapiens mulai berevolusi, mengembara melewati hutan bersalju, rimba sumuk, daratan dan lautan. Hasilnya adalah beberapa spesies berbeda, yang masing-masing diberi nama latin dan gaya oleh ilmuwan yang menemukannya. Dari penemuan manusia Eropa, Asia, Afrika hingga manusia Flores. Dari Homo neanderthalensis, homo erectus, homo soloensis, homo floresiensis, homo rudolfensis hingga homo ergaster. Begitu seterusnya hingga manusia berevolusi dari waktu ke waktu; dari zaman ke zaman.
Penelitian Bellwood (2005) bertajuk First Farmers: The Origins of Agricultural Societies juga menguatkan bahwa leluhur bangsa Indonesia dari spesies Homo Sapiens adalah warga Aborigin Taiwan yang bermigrasi ke selatan. Austronesia menyebar ke Nusantara dan kawasan lain. Teori migrasi yang diusung Bellwood meyebut bahwa dari Taiwan ke Luzon, Filipina; kemudian dari Borneo dan Sulawesi merentas Jawa, Sumatera, Malaysia dan Vietnam.
Selepas itu, ia dibawa dari Maluku ke Sunda Kecil, dan akhir sekali melalui Halmahera sebelum sampai ke rantau Oceania. Jadi, mengapa kita masih mempertanyakan asal-usul, suku, agama, dan ras? Jauh berjuta-juta tahun yang lalu kita masih dalam satu spesies bernama: Homo Sapiens! Tidak perlu kita membincangkan hal-hal yang tidak penting pada diskursus politik yang memakai atribut dan identitas.
Untuk Gubernur Baru Jakarta, saya tentu mengharapkan agar janji-janji kampanye yang telah digaungkan agar diimplementasikan secara menyeluruh dan menyentuh akar persoalan. Saya pikir hal-hal substansial seperti itu yang harus difokuskan, bukan malah membicarakan seputaran politik identitas yang itu-itu saja.
Sebagai seorang Gubernur sekaligus pemimpin Jakarta, Anies seharusnya mempunyai kemampuan untuk mempengaruhi individu dan sekelompok orang lain untuk bekerja sama mencapai tujuan yang telah ditentukan. Sebagai seorang pemimpin, Anies harus dapat menerima segala tantangan dan masukan yang datang dari berbagai arah.
Seorang pemimpin harus bisa menjalin kerjasama yang baik antara pemimpin dan pengikutnya. Seorang pemimpin yang menerima dan menerapkan faktor-faktor itu sebagai dasar kepemimpinannya, maka ia akan sadar bahwa ia berhadapan dengan banyak sekali kesempatan yang terbuka untuk bisa melaksanakan atau menjalankan kepemimpinannya itu di dalam perjalanan hidupnya.
Di samping itu, seorang pemimpin tidak pula membeda-bedakan latar belakang dari yang dipimpinnya. Ia harus berlaku adil bagi semua rakyat Jakarta. Pada akhirnya, tidak ada bangsa pribumi dan nonpribumi di bumi ini. Kita semua adalah keturunan pendatang di negeri ini.
Tak perlu lagi ada wacana usang mengenai pribumi dan nonpribumi, karena yang penting adalah apa yang bisa kita berikan untuk tanah air ini. Sebagaimana telah diputuskan oleh leluhur kita terdahulu, yang berdiam di Nusantara Indonesia untuk makan, minum, tidur, dan mencari kehidupan baru. Paling penting dari semuanya, bersatu dalam keberagaman, berbagi Indonesia sebagai rumah bersama.
Kolom terkait:
Berhentilah Menggunakan Kategori Pribumi!
Di Indonesia, Tak Ada yang Pribumi!
Dari “Jualan” Ayat, Mayat, hingga Pribumi