Rabu, April 24, 2024

Efek Streisand, Repdem, dan Jenderal Gatot

Dandhy Dwi Laksono
Dandhy Dwi Laksono
Jurnalis, penulis, dan Pendiri Watchdoc, perusahaan film dokumenter. Pada 2015, selama 365 hari, bersama "Ucok" Suparta Arz, Dandhy bersepeda motor mengelilingi Indonesia di bawah bendera Ekspedisi Indonesia Biru.
Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo.

Tahun 2003, seorang fotografer (Kenneth Adelman) digugat oleh bintang Hollywood, Barbra Streisand (pemeran Bu Focker dalam film komedi Meet the Fockers). Nilai gugatannya mencapai 50 juta dollar atau setara 650 miliar rupiah!

Gara-garanya ia membuat foto udara pembangunan properti di sepanjang pantai Malibu (California) dan rumah Streisand tentu saja ikut terfoto. Foto-foto itu lalu diunggah ke situs Pictopia.com untuk memberi masukan kepada pemerintah terkait pembangunan tata ruang pesisir California menghadapi ancaman erosi.

Sang Artis yang rumahnya ikut terpotret, tak terima karena alasan mengganggu privasinya. Maka ia pun mengajukan gugatan dan ramailah pemberitaan.

Sebelum digugat, foto-foto yang berjudul “Image 3860” itu hanya diunduh sebanyak 6 kali. Dua di antaranya oleh pengacara Streisand sendiri!

Namun setelah gugatan itu ramai.. Abrakadabra!

Foto itu ditonton 420.000 pengunjung! Maka apa yang ditakutkan Streisand soal hak privasinya, justru mengundang hal sebaliknya.

Setelah artikel Suu Kyi dan Megawati yang dipolisikan Relawan Perjuangan Demokrasi/Repdem (organisasi sayap PDIP), sebuah situs akademik yang tersohor milik Australian National University, newmandala.org, justru ikut mempublikasikannya dalam bahasa Inggris dengan judul Daw Suu and Ibu Mega.

Selain itu, juga diterjemahkan dalam bahasa Jerman oleh kawan-kawan Watch Indonesia yang berbasis di Berlin (http://www.watchindonesia.org/19376/gesetz-elektronische-information-meinungsfreiheit?lang=de)

Ini pernah terjadi pada film Samin vs Semen. Ada sekelompok orang yang membuat film tandingannya. Tentu ini tindakan yang terhormat dan demokratis daripada main lapor atau membubarkan nobar-nobarnya seperti yang dilakukan Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Brawijaya pada Mei 2016.

Namun karena film tandingan itu sibuk membantah Samin vs Semen, (dan terus mengulang-ulang kata “Samin vs Semen” sepanjang adegan) maka orang yang tadinya belum menonton, justru mencarinya karena penasaran. Akibatnya, jumlah views Samin vs Semen di youtube yang tadinya di bawah 50.000 views dalam 3 bulan, setelahnya, langsung melonjak di atas 100.000 views hanya dalam beberapa hari saja.

FILM “G30S/PKI”

Karena itulah kita tak perlu risau jika TNI (Angkatan Darat) hendak memobilisasi orang untuk menonton kembali film Pengkhianatan Gerakan 30 September (judul aslinya bahkan tanpa “PKI”)

Kita bukanlah golongan reaksioner yang gemar melarang pemutaran film atau menyerbu tempat-tempat nobar. Yang terbiasa melakukan itulah yang barangkali merasa perlu melibatkan tentara agar tak ada yang berani membubarkan.

“Itu perintah saya. Mau apa?” tantang Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo soal mobilisasi nobar.

Pernyataan Jenderal Gatot ini biarlah jadi urusan Panglima Tertingginya atau koleganya sesama jenderal dari angkatan lain yang selama tiga dekade, sebagian dari mereka merasa film itu mendiskreditkan kesatuannya.

Kita sendiri akan melawan film dengan film, atau film dengan tulisan. Biarlah masyarakat menonton kembali film warisan Orde Baru itu. Bagi generasi milenial yang belum menonton, biarkan mereka menontonnya.

Di sinilah efek Streisand akan mulai bekerja. Pulang dari nobar, orang akan penasaran dan mencari tahu mengapa film ini diributkan. Saat itulah mereka akan berjumpa dengan informasi-informasi baru tentang bagaimana film itu dibuat secara tidak akurat, sarat propaganda, bahkan mengejutkan keluarga pahlawan revolusi sendiri. 

Para orangtua akan mulai memperbanyak bacaan sumber-sumber yang jelas untuk menghadapi pertanyaan anak-anaknya. Gara-gara seruan nobar TNI AD itu, pemerintah bahkan akan membuat film versi baru.

Saat itulah, kita bisa menyebutnya sebagai “Efek Repdem” atau “Efek Gatot”.

Kolom terkait:

Surat Buat Dandhy Dwi Laksono

Mengapa Saya Ikut Simposium Tragedi 1965

Ingatan Kolektif 1965

Menjadi Indonesia Pasca-1965

Dandhy Dwi Laksono
Dandhy Dwi Laksono
Jurnalis, penulis, dan Pendiri Watchdoc, perusahaan film dokumenter. Pada 2015, selama 365 hari, bersama "Ucok" Suparta Arz, Dandhy bersepeda motor mengelilingi Indonesia di bawah bendera Ekspedisi Indonesia Biru.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.