Jumat, April 26, 2024

Dedi Mulyadi di Tengah Isu SARA

Farid Farhan
Farid Farhan
Pegiat Pesantren dan Majelis Taklim
Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi bersama Kiai Ma’ruf Amin saat mengajar di SMPN 1 Purwakarta [Foto: Istimewa]

Isu Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan (SARA) merupakan salah dari banyak varian isu yang ngeri-ngeri sedap. Sebab, ini jelas berkaitan langsung dengan identitas fitrah manusia yang negara pun tidak bisa menggugatnya. Ia hasil dari produk penciptaan Tuhan. Lahir dari suku apa, beragama apa, ras apa, dan golongan apa.

Sekali saja isu ini dipakai oleh segelintir orang yang otak dan pemikirannya sudah rusak, maka dapat dibayangkan tingkat kerusakan sosial dan tatanan kebangsaan yang dihasilkan. Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Jakarta 2017 awal tahun ini dapat menjadi cermin betapa kebinekaan yang telah lama terbina, seketika luluh lantak karena isu maknyus ini.

Ini karena fitrah kebangsaan kita yang majemuk dipaksa untuk digeser menuju proses suksesi kepemimpinan yang sebenarnya sektoral. Kepemimpinan politik hanya satu di antara banyak variabel yang mampu menjadikan bangsa ini bertahan sejak merdeka pada 17 Agustus 1945 silam.

Bumbu primordialisme agama memang dipandang sebagai langkah politik yang bersifat purba. Sementara hari ini kita dituntut untuk bersikap rasional dalam menentukan berbagai pilihan politik. Hal ini berlaku untuk seluruh stakeholders politik bangsa ini, baik kandidat, partai politik, konstituen, pers, dan yang lain.

Saya sama sekali tidak menyematkan predikat keliru kepada mereka yang menentukan pilihan politik atas dasar SARA, karena itu bagian dari hak politik mereka yang dijamin oleh konstitusi.

Pun bagi mereka yang menentukan pilihan politik dengan rasional atau pragmatis sekalipun. Secara konstitusi itu tidak dilarang, meski secara etika ada banyak analisa pro dan kontra terhadap fenomena-fenomena tersebut.

Keberhasilan racikan bumbu SARA pada Pilkada DKI Jakarta 2017 tempo hari rupanya akan terulang pada Pilkada Jawa Barat 2018 tahun depan. Hal ini dibuktikan dengan munculnya kembali berita lama yang memojokan salah satu calon kandidat kuat pengganti Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan, yaitu Dedi Mulyadi.

Video pelaporan dirinya kepada Polda Jawa Barat kembali disebarkan pada 20 Juli 2017 lalu oleh salah satu akun fanpage Facebook yang mengklaim dirinya sebagai lembaga dakwah. Setiap hari sedikitnya terdapat 5 akun twitter yang men-tweet ulang berita dirinya dari portal berita anti-arus utama yang menuduh Pengurus Cabang Nahdhatul Ulama Purwakarta itu sebagai penista agama dan jauh dari ulama.

Padahal, kasus dugaan penistaan agama oleh Dedi Mulyadi sudah dihentikan Polda Jawa Barat dengan surat nomor B/278/IV/2016/Ditreskrimum karena dinyatakan tidak memenuhi unsur dan tidak cukup bukti.

Makin tinggi pohon, memang selalu makin kencang hembusan angin yang menerpa. Makin tinggi nilai elektabilitas yag diperoleh oleh Bupati Purwakarta dua periode tersebut dan makin banyak partai besar yang telah menyatakan dukungan, makin banyak pula serangan-serangan yang datang. Saya kira, ini menjadi bagian tak terpisahkan dari konsekuensi politik yang harus ia jalani.
Dedi Mulyadi Seorang NU Tulen

Sudah tentu anggapan bahwa Dedi Mulyadi merupakan sosok yang jauh dari ulama itu terbantahkan. Ia dikenal dekat dengan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kiai Ma’ruf Amin. Keturunan ke-14 dari Syaikh Nawawi al-Bantani ini datang secara khusus untuk meresmikan Program Pendalaman Kitab Kuning bagi pelajar di Purwakarta.

Bersama Dedi, Rais ‘Aam Pengurus Besar Nahdhatul Ulama (PBNU) itu bahkan sempat mengajar Kitab Safinatun Najaah karya Datuknya, Syaikh Nawawi al-Bantani, di SMPN 1 Purwakarta.

Saya kira, dibandingkan dengan pola kegiatan keislaman yang seremonial—meskipun soal nilai keislaman sama sekali tidak bisa kita nilai sebagai manusia—seperti kampanye Shalat Shubuh berjamaah, Program Pendalaman Kitab Kuning lebih holistik dan lebih berperan sentral dalam rangka transformasi khazanah pemikiran Islam.

Basis tradisi yang menjadi pijakan Dedi Mulyadi selama ini pun sebenarnya dihiasi dengan nilai-nilai keislaman, jika kita mau sedikit saja berpikir tanpa tendensi kebencian dan semangat untuk menebar caci maki atas ketidaksukaan.

Izinkan saya sedikit membahas penggalan syair yang ia ciptakan dalam lagu berjudul “Dangding”

Dangding, tujuh lapis langit
Mawa seah cai hikmah
Dianteur simpe na peuting
Waruga mapay cahaya
Saamparan bumi nyaksi
Sumujud tumut ka Gusti

Kalau saya terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, kurang lebih maknanya seperti ini

Syair tujuh lapis langit
Membawa deburan air hikmah
Diantar sepinya malam
Raga menggapai cahaya
Hamparan bumi menjadi saksi
Sujud taat kepada Tuhan

Penggalan syair ini dalam kapasitas subjektif yang saya miliki sebenarnya menceritakan tentang perjalanan Isra Mi’raj Rasulullah Muhammad SAW. Keheranan ini pun terus menjadi-jadi, orang model begini masih disebut penista agama dan jauh dari ulama?

Baca juga:

Utak Atik Gatuk Pilgub Jabar

Ridwan Kamil, Si Cantik Gedebong Pisang…

PDI-P Kantongi Nama Calon Pendamping Dedi Mulyadi dalam Pilgub Jabar

Farid Farhan
Farid Farhan
Pegiat Pesantren dan Majelis Taklim
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.