Awalnya, banyak yang mengira, termasuk saya, Anies Baswedan akan memberikan pidato perdananya sebagai Gubernur DKI Jakarta dengan mengajak rekonsiliasi kepada masyarakat Jakarta dan sebagian besar juga masyarakat Indonesia. Upaya rekonsiliasi dengan kalimat-kalimat persuasif adalah jalan pembuka bahwa sudah saatnya warga Jakarta bersatu untuk membangun ibu kota ini mengejar ketertinggalan dari kota-kota besar di Asia Tenggara dan dunia internasional.
Namun, alih-alih melakukan hal tersebut, Anies juga menggunakan satu ungkapan yang justru kerap digunakan oleh kolonial Belanda untuk mengontrol dan juga rezim Orde Baru untuk melakukan stigma dan pengebirian, yaitu pribumi, “dulu kita semua pribumi ditindas dan dikalahkan. Kini telah merdeka, kini saatnya menjadi tuan rumah di negeri sendiri”.
Bahkan ia mengungkapkan, “kita yang bekerja keras untuk merebut kemerdekaan. Kita yang bekerja keras untuk mengusir kolonialisme. Kita semua harus merasakan manfaat kemerdekaan di ibu kota ini” (detik.com, 16 Oktober 2017).
Pertanyaannya, dengan konteks saat ini, merdeka dari siapa? Wajah kolonialisme apa sebenarnya yang dibicarakan? Jika menggunakan “pribumi” dengan konotasi sebagai warga Indonesia, kata tersebut sudah tak bisa digunakan lagi jika mengacu pada UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. Karena, setiap yang lahir dan memiliki KTP serta menjadi warga negara Indonesia (WNI) otomatis menjadi bagian dari bangsa Indonesia yang memilik hak dan kewajiban yang sama.
Mencermati pidato tersebut usai pelantikan, menggunakan kategori “pribumi” itu bukan ketidaksengajaan, melainkan bentuk kesadaran dan strategi untuk menguatkan sentimen fasisme agama dan rasisme etnik yang selalu dimainkan. Istilah pribumi yang selalu dihadapkan dengan kata nonpribumi sebagai lawan katanya selalu punya konotasi dengan Tionghoa . Tentu saja memainkan sentimen inilah yang memungkinkan bisa mendulang suara hingga 53%.
Memang, tindakan ini terlihat rasional dan pragmatis, meski tampak konyol di hadapan kelompok kelas menengah terdidik. Tetapi itu cara satu-satunya yang bisa dilakukan untuk membangun retorika yang merupakan bagian dari cara kerjanya memupuk konstituen. Dengan membangkitkan sentimen agama dan “bahayanya” kelompok yang tidak pribumi, secara tidak langsung, orang akan dihadapkan kepada ancaman.
Orang yang menggunakan retorik tersebut kemudian bisa menjadi juru selamat demi menyelamatkan di tengah kepungan bahaya tersebut. Pada level ini, alih-alih berupaya menyelesaikan janji-janji politiknya, publik kemudian akan disibukkan dengan ungkapan kontroversi yang dikeluarkan. Retorik semacam ini juga yang digunakan Donald Trump untuk mencapai posisi nomor satu di Amerika Serikat.
Di tengah rezim survei sebagai tolak ukur menghitung elektabilitas seseorang apakah layak atau tidak untuk maju dalam proses pilkada dan pilpres, orang yang membangun karir politiknya dengan retorika dan pesolek memahami dan mendengarkan secara baik tingkat elektabilitas melalui survei semacam ini. Cara meningkatkan elektabilitasnya sering bukan dengan kinerja melalui kerja-kerja yang dihasilkan, melainkan menciptakan semacam musuh bersama yang harus dihadapi.
Membangun musuh bersama terkesan ilusif, tetapi itu cukup ampuh di tengah rendahnya tingkat literasi di Indonesia dan kuatnya sentimen keagamaan. Karena itu, apa pun cara akan ditempuh agar mendapatkan elektabilitas suara, meski harus membalikkan identitas yang dibangun sebelumnya. Pola tingkah laku semacam ini akan terus menunggangi isu yang diinginkan oleh suara mayoritas dan menangkap kegelisahan serta ketakutan mereka sebagai dagangan politik yang bisa digaduhkan.
Sampai menjelang Pilpres 2019, saya sangat yakin isu begini yang akan terus dimainkan untuk menarik empati dan kemarahan mereka.
Mementingkan mendapatkan suara dengan cara ini merupakan tindakan berbahaya bagi kebaikan publik bersama. Bukan hanya menghancurkan bangunan solidaritas, tindakan semacam ini juga merusak bangunan keindonesiaan yang susah payah coba terus dipupuk di tengah transisi Indonesia yang sebelumnya dikhawatirkan akan menjadi negara gagal di tengah konflik etnik dan agama beberapa tahun sesudah reformasi berjalan.
Karena itu, penting untuk setiap politisi dan partai politik agar tidak menggunakan sentimen agama dan etnik yang menjurus kepada fasisme dan rasisme hanya untuk mendapatkan dukungan suara dan naiknya elektabilitas. Apalagi, dalam konteks kelompok Tionghoa, ingatan traumatis tragedi Mei 1998 dan pemerkosaan massal masih membekas hingga sekarang. Peristiwa tersebut yang membuat beberapa dari kelompok Tionghoa kemudian menjaga jarak, tidak hanya kepada dirinya melainkan kepada sejarah masa lalunya sehingga mereka terkesan eksklusif.
Sebagai Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan berkewajiban mengayomi semua warganya, tanpa melihat agama dan etniknya. Ini dilakukan untuk menatap masa depan Indonesia yang lebih baik dengan satu imajinasi bersama, bangsa Indonesia. Di sini, ia harus melepas sekat identitas dirinya dan melebur menjadi bagian dari pelayanan masyarakat untuk semua golongan, khususnya yang memiliki KTP Jakarta dengan kapasitas dirinya sebagai seorang gubernur.
Apalagi, sebelumnya, sesudah dinyatakan menang dalam hitung cepat Pilkada Jakarta 2017, ia berencana akan melakukan perdamaian dengan kelompok masyarakat yang berseberangan. Namun, alih-alih perdamaian, apalagi membuka jalan untuk rekonsiliasi, ungkapan pribumi–di mana orang memiliki asosiasi dengan padanan lawan katanya–telah menyulut provokasi dan membuka luka yang belum kering.
Ini karena orang yang dianggap nonpribumi dan dikafirkan tersebut sudah di penjara. Penjara selama dua tahun melalui tekanan massa dengan aksi berjilid-jilid ini tidak hanya menciptakan ketidakadilan, melainkan juga cara pandang bagaimana masyarakat kita memandang sesama anak bangsanya dengan cara yang berbeda: kerja keras karena Ahok dianggap berbeda menjadi tidak ada artinya, meski sehari-hari banyak dari kita merasakan dampak kemajuan Jakarta.
Karena itu, sebagai seorang pemimpin, Gubernur Anies berhentilah melakukan tindakan ataupun ucapan yang memungkinkan bisa menyulut provokasi. Jika ini terus dilakukan, itu sama saja memelihara dendam yang terus dipupuk. Padahal, orang yang dituduh dan menjadi target kemarahan sudah di penjara untuk waktu dua tahun ke depan, apakah ini kurang cukup?
Apakah Ahok, meminjam ungkapan Buya Syafi’I, perlu dihukum 400 tahun, agar mereka yang menuduhnya bisa terpuaskan tanpa batas?
Kolom terkait:
Harga Sebuah Integritas: Surat Terbuka untuk Anies Baswedan Ph.D
Surat Kedua untuk Anies Baswedan: Meniti Jejak Langkah Pendahulu Kita
Di Indonesia, Tak Ada yang Pribumi!