Judul ini menyontek tulisan legenda Soewardi Soerjaningrat yang kelak menukar namanya menjadi KH Dewantara: “Andai Aku Seorang Belanda”. Judul aslinya adalah “Als Ik een Neederlander was“. Tulisan ini terbit di surat kabar De Express edisi 13 Juli 1913. Tulisan ini sangat satiris. Bagaimana mungkin orang Belanda merayakan kemerdekaannya pada posisi di saat bersamaan, mereka malah menjajah, bahkan menjarah sebuah bangsa?
“…, Saya tak mau kalau bumiputra negeri ini ikut serta merayakan. Saya akan melarang mereka ikut riang merayakannya,…” demikian salah satu petikan tulisan itu.
Mengapa saya menuliskan ini? Saya terkejut melihat naskah pidato pelantikan Anies Baswedan sebagai Gubernur DKI Jakarta yang bersebaran di media. Memang, secara keseluruhan, saya sangat bangga karena isi pidato itu terasa orisinal (Indonesia banget kata generasi milenial) lantaran mengutip banyak pepatah dari Nusantara: dari Batak, Madura, Minahasa, hingga Betawi.
Namun, ada sesuatu hal yang menyesak di dada saya. Itu ketika pada paragraf ke-15, Anies berkata, “Dulu, kita semua pribumi ditindas dan dikalahkan. Kini telah merdeka, kini saatnya menjadi tuan rumah di negeri sendiri.”
Menyesak karena sebenarnya apa itu pribumi? Ya, secara makna, pribumi adalah penduduk setempat. Pribumi adalah bumiputra. Pribumi adalah inlander. Jika mengutip Ajip Rosidi, pribumi bisa saja berasal dari bahasa Jawa yang artinya wong asal ing tanah kono. Bisa juga dari bahasa Sunda, yaitu nu boga imah, nu boga daerah at (yang empunya rumah, yang empunya daerah atau negara; tuan rumah.)
Dari semua itu sudah jelas bahwa pribumi itu mengarah pada sebuah keaslian, penduduk asli (asal) dan bukan pendatang. Pertanyaannya lagi-lagi adalah, apa itu asli dan apa itu pribumi?
Supaya batasan lebih sempit, untuk konteks Indonesia, siapa sebenarnya pribumi dan siapa yang benar-benar asli? Pertanyaan ini sangat sukar dijawab. Pertama, apakah ada yang benar-benar asli di dunia ini? Tidak ada. Sederhana saja membuktikan ini. Begini, hanya karena saya orang Batak, bukan berarti dengan itu maka saya benar-benar asli orang Batak, bukan? Sebab, siapa bisa menduga bahwa jauh di hulu peradaban sana, ada nenek moyang dari keluarga saya yang ternyata sudah menikah dengan orang yang bukan berasal dari Batak? Sukar, bukan?
Ya, mencari keaslian itu sama sukarnya dengan mencari pribumi di negara ini. Siapa pun tahu bahwa tak akan ada orang yang bisa mengklaim dirinya sebagai pribumi di negeri ini secara akurat. Saya sendiri ragu dan tak percaya diri kalau mengklaim diri sebagai pribumi (meski setelah saya jajaki, saya bukan keturunan Arab dan Tionghoa, misalnya).
Jauh di hulu peradaban negeri ini, sekitar 50.000 tahun yang silam, ternyata sudah ada Homo Erectus. Merekalah penduduk awal di negeri ini. Namun, apakah mereka, Homo Erectus itu, dapat dikatakan benar-benar pribumi negeri ini?
Saya masih tetap ragu, bahkan sangat ragu. Bukankah jika kita lacak jauh ke hulu lagi, maka akan kita temukan ras “manusia” lain? Saya jadi teringat pada kisah budayawan Radhar Panca Dahana ketika dia belajar di salah satu negara Eropa. Pada pembelajaran itu, orang Indonesia (maksudnya pribumi?) yang dulu berambut tebal, kulit gelap, pendek disebut-sebut sebagai “orangutan”. Saya tak mau mengatakan “orangutan” adalah pribumi, meski juga saya tak berhak menolaknya jangan-jangan mereka juga pribumi, bukan?
Entah karena apa tiba-tiba di poin ini saya malah teringat pada sosok kerdil bertubuh pendek dan telanjang dada yang bertebaran di dunia maya kita beberapa waktu lalu. Tokoh manusia bertubuh pendek dan telanjang itu, konon, adalah suku Mante. Konon, suku Mante merupakan sosok pribumi. Benarkah demikian? Maaf, saya masih tetap ragu.
Memang, jika dilihat dari ukuran kadar kelamaan waktu, tentu suku Mante jauh lebih pribumi daripada saya (konon lagi, dari Anies!). Siapa Anies dibandingkan saya, apalagi suku Mante? Ya, benar bahwa Anies sudah lebih lama tinggal di negara ini dibandingkan saya karena dia sudah berumur lebih tua dari saya. Namun, bukan berarti karena Anies sudah lebih lama hidup, otomatis kadar kepribumiannya lebih tinggi daripada saya.
Begini, jika kita mengekor etnis, karena kebetulan Anies keturunan Arab, sudah pasti saya tentu lebih pribumi daripada Anies, bukan? Saya keturunan orang Batak (meski kemungkinan jauh di hulu sana, nenek moyang saya menikah dengan bukan orang Batak).
Baiklah, tujuan saya sebenarnya menuliskan contoh ini bukan mau pamer betapa kadar kepribumian saya jauh lebih tinggi daripada Anies. Saya hanya mau mengatakan, pribumi itu relatif, Saudara. Pribumi bahkan akan semakin relatif jika itu diartikan dari sosok keaslian.
Karena itu, sudah tak saatnya lagi membincangkan gue pribumi dan lu nonpribumi (lalu orang milenial berkata, emang gue pikirin elu mau apa). Dikotomi itu sudah usang, Saudaraku. Dan Anda harus tahu bahwa pribumi itu adalah salah satu trik politik devide et impera bangsa kolonial untuk memecah belah.
Saya Bukan Anies
Jadi, wajar ketika kemudian diksi ini diharamkan melalui UU Nomor 12 Tahun 2006. Negara sadar bahwa kita tak perlu mencari-cari, apalagi mengklaim, bahwa kita paling pribumi, bahkan paling Indonesia. Sebab, siapa Indonesia? Indonesia adalah setiap orang yang lahir dan memiliki KTP serta menjadi WNI. Itu dari tataran normatif. Apakah itu sudah cukup? Tidak! Menurut Soewardi Soerjaningrat, seorang Indonesia adalah siapa saja yang menganggap Indonesia tanah airnya, tak peduli apakah ia Indonesia murni ataukah ia punya darah.
Senapas dengan itu, A.R. Baswedan, kakek Anies Baswedan, yang bersahabat erat dengan Liem Koen Hian bahkan dengan tegas berkata, “Lupakan itu daratan China, lupakan itu Handramaut. Tanah airmu bukan di sana, tetapi di sini, di Indonesia.” Siapa itu A.R. Baswedan? Tak perlu saya jawab di sini. Anies Baswedan lebih tahu tentang keluarganya, tentu saja. Saya hanya mau mengatakan, terlalu bodoh kalau pada masa ini kita masih mau mengungkit dikotomi pribumi dan nonpribumi, apalagi dikotomi ini merupakan alat politik pecah belah.
Bahkan, konon, diksi pribumi ini malah bahasa ledekan, hinaan, dan cacian. Ingatlah pada sebuah slogan masa kolonialisme: inlander (pribumi) dan anjing dilarang masuk. Kejam, bukan? Ini belum selesai. Seorang psikiater yang kemudian dikutip Francess Gouda dalam Dutch Culture Overseas juga mengatakan bahwa orang pribumi masih berada pada tahap evolusi awal.
Paulus Adrianus Daum dalam roman Number Elf juga berkata, “Siapa yang berani memanggil makhluk-makhluk ini (pribumi)? Yang matanya lebih menyerupai kera daripada orang-orang berkulit merah di (Amerika Utara) yang jinak?”
Entah kenapa, dengan kutipan di atas saya jadi tertarik untuk mengetahui maksud Anies: apakah pribumi adalah kera-kera yang akan segera menjadi manusia? Ah, andai saja saya Anies Baswedan, yang sudah pernah memuncaki klasemen kedudukan dalam pendidikan, saya tak akan berani mencuat-cuatkan kata penghinaan itu: pribumi. Bukan karena saya nyata-nyata benar-benar bukan pribumi lantaran kakek saya (Anies) dari Arab, namun karena saya sadar bahwa pribumi adalah bahasa pecah belah yang akan memecah belah pula.
Lebih-lebih karena saya sadar, seperti kata filsuf George Santayana, mereka yang tidak bisa mengingat masa lalu akan dikutuk untuk mengulanginya (lagi). Saya tak tahu, apakah Anies lupa masa lalu. Kalau lupa, saya tak mau menasihati Anies (saya belum pantas). Biarlah Elie Weisel, korban yang selamat dari kekejaman Nazi ini yang memberi petuah kepada beliau. “Tanpa memori tidak aka nada budaya, tidak akan ada peradaban, tidak akan ada masyarakat, tidak aka nada masa depan.”
Ah, di ujung tulisan ini saya masih tetap bermimpi, andai saja saya Anies Baswedan. Saya akan mengimajinasikan bagaimana kakek saya bercengkerama dengan “nonpribumi” itu. Tapi, sayang seribu sayang, saya bukan Anies!
Kolom terkait:
Di Indonesia, Tak Ada yang Pribumi!
Surat Kedua untuk Anies Baswedan: Meniti Jejak Langkah Pendahulu Kita