Persiapan “perang” Pemilihan Presiden 2019 sudah dimulai. Dua jenderal bertemu di Cikeas, lengkap dengan serdadu-serdadunya pada Kamis, 27 Juli 2017. Berunding untuk mengatur strategi dan menjajaki aliansi.
Jenderal yang satu sulit menerima kekalahannya di tahun 2014, apalagi dikalahkan oleh kerucuk sipil yang tidak bersenjata. Jenderal ini juga ingin melanjutkan dinasti Cendana dan menghidupkan kembali bangkai Orde Baru. Jenderal yang pernah dipecat karena kasus penculikan dan perilaku indisipliner ini juga tumbuh kembali semangatnya ketika taktik membakar sentimen ras dan agama pada Pilkada DKI belum lama ini berhasil memenangkan calon pasangan gubernur dan wakil gubernur yang diusungnya.
Jenderal tuan rumah yang dikunjungi rupanya merasa bahwa sepuluh tahun tinggal di istana belum cukup. Kalaupun harus keluar dari istana, dia tidak boleh diwariskan kecuali kepada ahli waris yang sah. Apalagi sang ahli waris sudah telanjur menganggur karena mengundurkan diri dari jabatannya di TNI dan eksperimen sang bapak untuk memberi hadiah kepada puteranya sebagai gubernur DKI gagal berantakan.
Mantan presiden yang mempopulerkan istilah Lebaran Kuda ini barangkali juga gusar karena beberapa kelompok usaha yang berkiprah selama masa pemerintahannya seperti mafia minyak Petral telah dikubur hidup-hidup oleh presiden penggantinya. Begitu pula sumber konstituennya pada kelompok fundamentalis yang dibiarkan membesar pada masa jabatannya kini sedang dipereteli satu per satu oleh pemerintah.
Usai pertemuan, kedua jenderal bersuara lantang menyatakan keberatan pada UU Pemilu yang baru dan menuduh yang berkuasa sekarang sebagai tidak demokratis dan otoriter. Padahal UU itu disahkan dalam sebuah sidang terbuka oleh mayoritas anggota DPR. Lagi pula, bila masih ada keberatan, terbuka jalur hukum untuk menggugat di Mahkamah Konstitusi.
Kedua jenderal yang keberatan terhadap ketentuan ambang batas baru yang telah disahkan itu barangkali lupa atau pura-pura lupa bahwa sebenarnya itu bukan hal baru. Prabowo maju pada Pilpres 2014 dan Susilo Bambang Yudhoyono pada pilpres periode keduanya pada tahun 2009 dengan menggunakan aturan ambang batas yang sama. Bedanya kali ini perhitungan ambang batas itu diambil dari jumlah perolehan kursi atau suara pada pemilu sebelumnya karena adanya kesepakatan baru yang mengharuskan pemilu legislatif dan presiden dilaksanakan serentak dan bersamaan waktu.
Ke Mana Arahnya?
Kita belum tahu persis apakah pertemuan kedua jenderal itu ujungnya akan benar-benar mewujudkan sebuah aliansi pada pilpres mendatang. Yang sudah pasti, tidak ada satu partai pun saat ini dapat mengajukan calon sendirian tanpa bergabung dengan partai lain. Jumlah kursi tertinggi hasil pemilu legislatif tahun 2014 diraih PDI Perjuangan. Namun itu pun masih di bawah ambang batas 20% sesuai ketentuan UU Pemilu yang baru.
Dengan alasan yang sama, baik Gerindra maupun Demokrat tidak mungkin sendirian mengusung calonnya. Gerindra yang kursinya di DPR sebesar 11.81% dan Demokrat 10.19% saling membutuhkan dukungan satu sama lain. Diperkirakan Gerindra hampir pasti akan maju bersama Partai Keadilan Sejahtera (PKS) untuk mengulang suksesnya di Pilkada DKI yang lalu. Namun, bila itu terjadi masih belum cukup untuk mencapai ambang batas karena PKS jumlah kursinya hanya 6.79%. Dengan demikian, masih perlu tambahan kursi dari partai lain.
Dengan asumsi bahwa Jokowi akan dicalonkan kembali oleh partai-partai koalisi kecuali PAN, maka Prabowo akan memenuhi syarat sebagai calon presiden bila didukung Partai Amanat Nasional (PAN) atau Demokrat atau keduanya.
Bagaimana dengan demokrat? Dapatkah dia mengusung kandidatnya sebagai calon nomor satu? Kemungkinannya kecil dan lebih mungkin Demokrat maju bersama Gerindra dengan kandidatnya sebagai calon nomor dua atau mengulang posisinya pada Pilpres 2014 dengan tidak mencalonkan dan mendukung siapa pun.
Meski demikian, tampaknya cukup banyak faktor yang bisa menjadi halangan bagi bergabungnya dua jenderal ini. Pertama, ini adalah dua jenderal yang berbeda tabiat. Yang satu jenderal lapangan yang banyak bermasalah, cenderung bertempramen tinggi dan impulsif, sedang SBY adalah jenderal yang lebih banyak di belakang meja, santun, dan sangat hati-hati bahkan cenderung ragu-ragu dalam mengambil keputusan dan bertindak.
Kedua, pandangan politik kedua jenderal itu juga tidak sama. Keduanya pernah bersaing pada Pilpres 2009. Dan pada Pilpres 2014, ketika Hatta Rajasa yang besan SBY berpasangan dengan Prabowo, SBY justru tidak mendukung dan berposisi netral.
Ketiga, meski sangat tidak realistis, SBY bisa saja berharap maju dengan putra mahkotanya sebagai calon presiden, bukan wakil.
Keempat, andai Gerindra dengan PKS dan Demokrat dengan PAN, masing-masing akan merasa lebih kuat untuk mencoba membujuk salah satu partai kecil anggota koalisi Jokowi untuk bergabung dengan mereka guna memenuhi ambang batas dengan tawaran posisi yang menarik.
Jangan lupa juga bahwa pada tahun 1998 Letnan Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono adalah salah satu penandatangan keputusan Dewan Kehormatan Perwira yang merekomendasikan pemecatan Prabowo. Di samping itu, antara sekarang dan saat pendaftaran calon presiden masih terbentang waktu yang lama. Dinamika politik masih akan bisa berubah.
Dengan demikian, meski tidak mudah, opsi masih terbuka baik bagi Gerindra maupun Demokrat untuk mengatasi ketentuan ambang batas tanpa harus bergabung.
Bila akhirnya ada kesepakatan antara Gerindra dan Demokrat memasangkan Prabowo dan Agus Yudhoyono, sedangkan Jokowi akan maju dengan calon wakil presiden sipil, maka Pilpres 2019 akan merupakan pemilu presiden pertama yang akan sepenuhnya mempertarungkan (mantan) tentara dengan sipil.
Di luar berbagai kemungkinan di atas, ada satu hal penting yang patut menjadi concern kita semua. Dengan merasa bahwa strategi Pilkada DKI Jakarta dianggap efektif, apakah taktik pecah belah dan eksploitasi sentimen agama, ras, dan ideologi akan berulang diterapkan oleh para jenderal itu pada pilpres mendatang?
Bila itu yang terjadi, maka bersiap-siaplah tim Jokowi untuk menghadapi kampanye anti-PKI, anti-asing, anti-kafir, anti-liberal, anti-Islam, anti-sekuler, dan sejenisnya. Hanya saja, bila Prabowo cs akan mengulangi taktik yang sama, kali ini belum tentu akan efektif karena Indonesia bukan Jakarta, dan rakyat pemilih sudah paham dan belajar dari liku-liku manipulasi opini di masa yang baru lalu.
Semoga itu tidak terjadi dan pemilu presiden mendatang akan menyajikan persaingan yang damai dan terhormat.
Jakarta, 2 Agustus 2017
Baca juga:
Peluang Prabowo Pasca Pilkada Jakarta