Sabtu, April 20, 2024

Ada Apa antara Istana dan GNPF MUI?

Abdillah Toha
Abdillah Toha
Pengusaha, mantan politisi, pemerhati politik, ekonomi, sosial, dan keagamaan. Pendiri dan Komisaris Utama Grup Mizan.
Presiden Joko Widodo (ketiga kanan) didampingi Menkopolhukam Wiranto, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, dan Mensesneg Pratikno menerima pimpinan Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF-MUI) di Istana Merdeka, Jakarta, Minggu (25/6). ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari

Di hari lebaran kemarin kita dikejutkan oleh sebuah pertemuan di istana. Sebuah pertemuan yang tampaknya tidak dipikirkan dan direncanakan dengan matang. Beberapa orang yang menamakan diri sebagai representasi Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF MUI) di bawah pimpinan Ustadz Bachtiar Nasir diterima Presiden Joko Widodo di Istana Merdeka. Berbagai reaksi kemudian muncul di publik.

Ada kelompok simpatisan GNPF yang kecewa, tapi ada pula yang senang. Yang kecewa menganggap dengan datang menemui Presiden di Istana berarti GNPF telah lempar handuk dan menyerah. Di antara mereka ada yang menyebut diri sebagai Alumni 212 yang gerah karena tidak diikutsertakan dan merasa ditinggalkan serta tidak diajak berbicara sebelum pertemuan. Kelompok terakhir ini tampaknya dikendalikan oleh penasihat GNPF MUI Amien Rais.

Kelompok Alumni 212 yang merasa punya kekuatan besar belakangan bersikap lebih angkuh lagi dengan memberi syarat-syarat tertentu bila rekonsiliasi akan dilakukan dengan Presiden, seperti pertemuan harus di tempat yang netral, dan lain-lain, mirip syarat perundingan antar-negara yang sedang berperang.

Sebaliknya, ada kelompok simpatisan GNPF yang memuji kehebatan tokoh-tokoh itu yang berhasil membuat Jokowi “takluk” karena akhirnya Presiden mau duduk sejajar dengan mereka. Mereka menganggap pertemuan itu sebagai sebuah kemenangan GNPF MUI.

Di luar simpatisan GNPF, publik umumnya bertanya apa sebenarnya yang terjadi dan apa maksud Presiden menerima tokoh-tokoh yang ketidaksukaannya kepada Jokowi sudah mendarah daging sejak Pemilihan Presiden 2014 yang lalu (baca disini).

Lagi pula mereka diterima sebagai utusan sebuah kelompok GNPF MUI, yakni Gerakan Nasional Pembela Fatwa MUI yang didirikan dalam rangka memperjuangkan agar Gubernur DKI Ahok dipenjarakan karena dituduh menista agama. Sebuah kumpulan yang seharusnya sudah bubar setelah Ahok divonis, tetapi tetap dipertahankan sebagai wadah untuk mengajukan berbagai tuntutan baru dengan mengatasnamakan umat Islam. Ketua umum MUI sendiri juga sudah menyatakan selesai sehingga tidak ada lagi yang harus “dibela” atas nama MUI.

Dengan menerima mereka sebagai utusan GMNF MUI, bukankah kemudian bisa diartikan pemerintah telah melegitimasikan dan memberi nyawa baru kepada sebuah kumpulan yang sudah selesai misinya dan bukan pula sebuah organisasi resmi?

Kita tidak tahu persis informasi apa yang disampaikan para pembantu presiden kepadanya sehingga beliau bersedia menerima utusan itu di Istana Merdeka. Yang kita tahu, tokoh-tokoh GNPF itu sudah beberapa kali menemui Wakil Presiden dan Menko Polhukam serta Menteri Agama sebelum mereka jumpa Presiden.

Sejauh ini nyaris tidak ada penjelasan komprehensif dan memuaskan dari pihak istana tentang isi dan alasan pertemuan. Sebaliknya, dari pihak GNPF telah beberapa kali memberi keterangan pers dan wawancara terbuka mengenai pertemuan tersebut. Penjelasan Bachtiar Nasir (BN) dan kawan-kawan tentang hal ini justru menimbulkan pertanyaan baru tentang iktikad baik mereka.

Ketua Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF-MUI) Bachtiar Nasir (ketiga kiri) bersama Wakil Ketua GNPF-MUI Zaitun Rasmin (kedua kanan) meninggalkan Kompleks Istana Kepresidenan usai bertemu Presiden Joko Widodo di Jakarta, Minggu (25/6). ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari

Dari wawancara khusus yang disiarkan di Youtube tidak lama setelah pertemuan itu BN menyebut beberapa hal yang merisaukan.

Pertama, BN mendudukkan GNPF yang bukan lembaga resmi itu setara dengan pemerintah dengan mengatakan bahwa dia tidak pernah minta bertemu dengan Presiden Jokowi tetapi hanya mengusulkan gagasan untuk berdialog dengan Presiden yang kemudian disetujui.

Kedua, BN tidak menggunakan istilah “pemerintah Jokowi” dalam keterangannya itu tetapi menyebutnya sebagai rezim Jokowi. Seperti kita ketahui, istilah rezim berkonotasi pemerintah otoriter yang tidak sah seperti rezim fasis, rezim komunis, dan sebagainya.

Ketiga, BN dengan bangga menceritakan bagaimana GNPF MUI bekerja keras dan berhasil menjebloskan Ahok ke penjara dengan “mengawal jalannya sidang pengadilan dari luar dan dari dalam” (baca: UU Penodaan Agama dan Negara Muka Dua). Tidak jelas apa yang dimaksud dengan mengawal pengadilan “dari dalam”. Mudah-mudahan tidak berarti ikut mengatur vonis hakim.

Keempat, BN beberapa kali mengklaim bahwa dia mewakili umat Islam. Tidak jelas juga umat Islam mana yang merasa terwakili oleh BN dan kawan-kawan ketika dua ormas Islam terbesar di negeri ini tidak pernah menyatakan sebagai bagian dari GNPF.

Kelima, BN mengatakan salah satu topik penting yang dibahas adalah apa yang disebutnya sebagai kasus kriminalisasi ulama. Presiden diharapkan turun tangan dan mencampuri urusan hukum dengan menghentikan proses hukum yang sedang berjalan. Suatu tuntutan yang tidak etis.

Keenam, BN mengenalkan istilah baru yang berbau SARA dalam ketatanegaraan Indonesia dengan menyebut adanya kelompok warga negara Indonesia yang “bukan bangsa kita”. Mereka inilah menurutnya yang saat ini menguasai ekonomi Indonesia.

Ketujuh, bicara tentang hubungan Jokowi dengan PKI, BN menyampaikan cerita tendensius tentang suatu kunjungan Presiden ke daerah ketika seorang kiai menanyakan hal itu kepada Presiden dan Presiden membantahnya dengan mengatakan dia bukan PKI. BN menambahkan bahwa bantahan Presiden itu “menurut dia (Jokowi)”.

Kedelapan, kepada yang mempertanyakan manuvernya yang dianggap oleh sebagian simpatisannya merugikan kelompoknya, BN mengatakan bahwa untuk mencapai puncak gunung kadang-kadang kita harus berputas-putar dulu. Memberikan kesan bahwa manuvernya adalah sebuah taktik politik guna mencapai tujuan yang tidak berubah sejak awal.

Bagi banyak pihak, sudah bukan rahasia lagi bahwa apa yang disebut GNPF MUI itu diadakan bukan sekadar untuk menyingkirkan Ahok tapi juga melengserkan Jokowi sebagai presiden segera atau paling lambat pada Pilpres 2019 mendatang.

Dari paparan diatas, ke mana kira-kira arah kebijakan presiden selanjutnya dalam hubungan dengan kelompok-kelompok yang berpotensi mengganggu program pembangunan pemerintah?

Sekarang pilihan pemerintah tinggal dua. Merangkul kelompok jenis itu dengan harapan mereka akan berubah haluan tetapi dengan risiko dikhianati, atau menarik garis tegas menghadapi mereka yang dianggap sudah di luar jalur dengan tetap berpegangan kepada aturan hukum yang berlaku.

Sementara itu, publik yang sudah lelah dengan berlarutnya berbagai peristiwa politik baik di dalam maupun di luar Senayan, menginginkan kepastian dan arah yang jelas dan terukur dari Presidennya.

Baca juga:

Pidato Penting Presiden Kita

Jokowi, Amien Rais, dan Tuduhan Komunis Itu

Saya Percaya Amien Rais, tapi…

Abdillah Toha
Abdillah Toha
Pengusaha, mantan politisi, pemerhati politik, ekonomi, sosial, dan keagamaan. Pendiri dan Komisaris Utama Grup Mizan.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.