Pemilu presiden di Amerika Serikat selalu menjadi salah satu peristiwa politik paling besar dan kompleks di dunia. Setiap siklus pemilu dipenuhi dengan berbagai isu yang beragam, mencakup segudang topik yang menyentuh berbagai aspek kehidupan masyarakat. Namun, dalam setiap pemilu, selalu ada satu isu yang menjadi sorotan utama, memicu perdebatan, kontroversi, dan bahkan membentuk jalannya kampanye politik.
Pada 2016, isu yang mendominasi perbincangan adalah imigrasi, ketika perbatasan dan kebijakan terkait warga pendatang menjadi titik fokus. Pada 2020, pandemi global yang melumpuhkan dunia menjadi pusat perhatian, menguji kemampuan para kandidat dalam menangani krisis kesehatan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Kini, pada pemilu 2024, isu yang tiba-tiba mencuat dan mendominasi adalah soal memiliki anak, topik yang mungkin tak terduga namun sarat dengan muatan politik dan sosial.
Debat semalam memberikan gambaran yang jelas tentang beragam isu yang dibahas, mulai dari ekonomi, kebijakan luar negeri, imigrasi, hingga kontrol senjata. Semua isu-isu besar ini kami laporkan secara detail. Namun, ada satu isu lain yang sangat sensitif yang turut masuk ke dalam agenda perdebatan, yakni aborsi. Kamala Harris, sebagai salah satu peserta debat, tampil dengan pembelaan yang sangat kuat terhadap hak aborsi.
Dengan suara tegas, ia membahas situasi medis yang mengerikan yang sering dihadapi perempuan, memberikan rincian yang tajam dan menyalahkan Donald Trump atas kebijakan-kebijakan yang dianggapnya merugikan perempuan.
Di sisi lain, Trump dengan keras menuduh Harris berbohong, sambil menyatakan bahwa dirinya mendukung pengecualian dalam kasus pemerkosaan, inses, serta dalam situasi di mana nyawa ibu terancam. Lebih lanjut, Trump mengklaim dirinya sebagai sosok yang memimpin dalam bidang fertilisasi in vitro (IVF), teknologi reproduksi yang semakin penting dalam diskusi tentang hak-hak reproduksi.
Debat ini berjalan dinamis dengan kedua pihak saling melempar tuduhan dan pembelaan. Namun, di tengah semua perdebatan, ada satu pernyataan dari Harris yang benar-benar mencuri perhatian: bahwa pemerintah—terutama Donald Trump—tidak berhak untuk menentukan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan seorang wanita terhadap tubuhnya sendiri.
Pernyataan ini memicu diskusi lebih lanjut tentang bagaimana, dari masa muda hingga tua, tubuh seorang wanita sering kali tidak dianggap sebagai milik pribadi mereka. Masyarakat, melalui budaya dan kebijakan, kerap memandang tubuh wanita sebagai objek yang bisa dikomentari dan diatur, terutama ketika berkaitan dengan pilihan atau kemampuan mereka untuk memiliki anak.
Melahirkan sering kali dilihat sebagai kewajiban seorang wanita, dan keputusan ini menjadi sasaran kritik dari berbagai pihak. “Apakah dia memiliki anak? Mengapa tidak? Jika ya, kapan? Berapa banyak? Semoga segera, tapi jangan terlalu cepat,”—pertanyaan-pertanyaan ini terus menghantui perempuan, dengan segala hal yang seharusnya menjadi pilihan pribadi malah berubah menjadi bahan perdebatan publik dan politis.
Apa yang seharusnya bersifat personal, sering kali dipolitisasi dan digunakan sebagai alat untuk mempertanyakan moralitas atau kesesuaian seseorang dalam konteks sosial. Pertanyaan tentang memiliki anak tidak hanya menyentuh ranah pribadi, tetapi juga membawa beban sosial yang besar, terutama bagi perempuan yang sering kali terperangkap dalam harapan dan tuntutan publik.
Setelah perdebatan berakhir, perhatian publik teralihkan ke salah satu ikon pop terbesar di dunia, Taylor Swift. Dengan gayanya yang selalu vokal tentang isu-isu sosial dan politik, Swift menyatakan dukungannya secara terbuka kepada Kamala Harris melalui sebuah unggahan di Instagram.
Dalam postingan tersebut, Swift dengan bangga menandatangani dirinya sebagai “childless cat lady” atau “wanita tanpa anak dengan kucing.” Ini adalah cara Swift untuk membalikkan sindiran yang pernah dilontarkan oleh J.D. Vance, calon wakil presiden dari kubu Trump, yang sering merendahkan perempuan tanpa anak. Swift, dengan cerdas dan elegan, justru menggunakan julukan tersebut sebagai simbol kekuatan dan kebebasan pribadinya.
Namun, respons yang muncul setelah itu justru semakin mencerminkan dinamika yang aneh dalam perdebatan politik modern. Elon Musk, salah satu pendukung vokal Trump dan seorang tokoh kontroversial di dunia teknologi, merespons Swift di Twitter dengan nada yang sinis dan merendahkan.
Dengan keangkuhan khasnya, Musk menawarkan inseminasi kepada Swift, menyatakan, “Baiklah Taylor, kamu menang. Aku akan memberimu seorang anak dan menjaga kucing-kucingmu dengan nyawaku.” Pernyataan ini, yang tampak seperti lelucon kasar, mencerminkan kemampuan Musk untuk secara bersamaan bersikap ofensif dan patronizing, sebuah keterampilan yang jarang ditemui.
Tak bisa dipungkiri, Musk memang memiliki sejarah panjang terkait reproduksi. Dengan 12 anak yang sudah ia miliki—tiga di antaranya sedang menjadi subjek sengketa hak asuh dengan mantan pacarnya—Musk tampaknya memiliki obsesi tersendiri terhadap prokreasi. Lebih mengejutkan lagi, tiga anak lainnya lahir dari hubungannya dengan salah satu karyawannya.
Di luar itu, Musk juga sering menebar kecemasan tentang potensi “krisis populasi” global, bahkan menyebarkan teori konspirasi terkait hal tersebut. Dengan nada bercanda, dia sering kali mengatakan, “Aku sudah melakukan bagianku, haha,” seakan-akan misi pribadinya adalah memastikan keberlanjutan spesies manusia. Melihat jumlah anak yang telah ia hasilkan, mungkin Musk memang sedang berusaha mengisi dunia ini dengan keturunannya sendiri—dan jika dilihat dari trajektorinya, ia mungkin melakukan pekerjaan yang luar biasa dalam hal itu—haha, memang begitu.
Namun, pertanyaan yang lebih besar muncul: apakah semua ini, entah bagaimana, memberi hak kepada Musk, Vance, atau bahkan Trump untuk menuntut atau mendikte orang lain, khususnya perempuan, untuk memiliki anak? Apa mereka menganggap diri mereka sebagai semacam otoritas dalam urusan kesuburan? Apakah kita sudah sampai pada titik di mana tokoh-tokoh ini merasa berhak mengendalikan keputusan pribadi orang lain, seolah-olah dunia ini adalah klinik kesuburan pribadi mereka?
Yang jelas, diskusi mengenai anak dan reproduksi ini tidak terlepas dari kepentingan politik. Para tokoh ini berbicara tentang isu anak hanya ketika hal tersebut selaras dengan agenda politik mereka. Sebagai contoh, Donald Trump sebelumnya pernah menyatakan dukungannya untuk larangan aborsi nasional, sebuah langkah yang langsung disoroti Kamala Harris dalam perdebatan tadi malam. Trump, seperti biasa, menuduh Harris berbohong. Namun, isu ini jauh melampaui sekadar urusan Partai Republik. Kita bisa melihat contoh dari Presiden Joe Biden, seorang Katolik berusia 81 tahun yang secara pribadi menentang aborsi sepanjang hidupnya. Biden, yang selalu merasa canggung saat membahas topik ini, tetap memberikan dukungan kepada kebijakan aborsi dalam konteks politik karena hal tersebut dianggap penting bagi Partai Demokrat.
Dalam dunia politik yang serba kompleks ini, isu-isu yang sangat personal seperti reproduksi dan hak aborsi sering kali dipolitisasi dan digunakan sebagai alat untuk memenangkan dukungan, bahkan ketika isu tersebut seharusnya menjadi hak pribadi yang tidak boleh diganggu gugat.Isu ini bukan hanya masalah internal Amerika Serikat, melainkan juga mencerminkan dinamika global yang lebih luas. Pada tahun ini, Prancis mengambil langkah signifikan dengan menjadikan aborsi sebagai hak konstitusional.
Meskipun tidak ada desakan mendesak untuk melakukannya, keputusan ini diambil demi memperkuat posisi politik Presiden Emmanuel Macron dan mendapatkan dukungan dari kalangan yang pro-aborsi. Di sisi lain, Polandia menghadirkan cerita berbeda. Empat tahun lalu, ketika pemerintahan sayap kanan berkuasa, negara tersebut melarang aborsi secara total.
Namun kini, dengan munculnya perdana menteri baru, muncul dorongan kuat untuk membalikkan undang-undang tersebut dan mengembalikan hak-hak reproduksi perempuan. Tak peduli di negara mana pun, persoalan kelahiran anak selalu menjadi medan pertempuran politik, di mana tubuh perempuan sering kali menjadi korban dari perdebatan yang lebih besar.
Pilihan-pilihan yang seharusnya bersifat pribadi, seperti keputusan untuk memiliki anak, sering kali dipolitisasi dan dianggap sebagai refleksi dari pandangan politik seseorang. Contoh nyata bisa dilihat di Inggris pada tahun 2016, ketika Theresa May mencalonkan diri sebagai Perdana Menteri.
Fakta bahwa May tidak memiliki anak menjadi bahan serangan politik dari lawannya, yang menyindir bahwa seorang ibu memiliki “kepentingan nyata dalam masa depan negara kita.” Sebuah logika yang tampaknya cemerlang, namun pada kenyataannya sangat menyedihkan. Seolah-olah, menjadi seorang ibu adalah satu-satunya cara untuk benar-benar peduli terhadap masa depan negara.
Hal ini mencerminkan tekanan sosial global yang dihadapi perempuan. Di berbagai belahan dunia, perempuan diharapkan untuk mengikuti peran tradisional, yaitu melahirkan anak. Jika mereka tidak memenuhi ekspektasi ini, mereka langsung dilabeli dengan sebutan-sebutan merendahkan, seperti “wanita tanpa anak dengan kucing”, “perawan tua”, atau “janda tua”. Stigma ini begitu kuat dan membatasi ruang gerak perempuan dalam menjalani pilihan hidup mereka sendiri.
Yang lebih menyedihkan lagi, beban stigma ini sepenuhnya ditanggung oleh perempuan. Laki-laki, di sisi lain, tampaknya lolos dari perhitungan ini. Mereka tidak dihadapkan pada tekanan yang sama untuk memiliki anak, membesarkan mereka, atau menangani sebagian besar pekerjaan rumah tangga yang tidak dibayar. Tanggung jawab untuk menjalani dan merawat keluarga secara tradisional jatuh di pundak perempuan, sementara laki-laki hanya perlu berbicara mengenai “keibuan”, seolah itu sudah cukup. Dan seakan-akan, Tuhan melarang jika kita berhenti menilai perempuan berdasarkan pilihan hidup yang mereka buat. Daripada terus-menerus menghakimi mereka, bukankah lebih baik kita fokus pada kebijakan yang benar-benar dapat membantu orang-orang yang ingin menjadi orang tua?
Sebuah refleksi sederhana namun sangat penting dalam percakapan politik global ini.