Situasi di Gedung Putih semakin memanas! Hasil jajak pendapat terbaru mengindikasikan bahwa Kamala Harris kini berada di posisi terdepan, yang menyebabkan Donald Trump terperosok ke dalam situasi yang sulit. Beberapa minggu yang lalu, mantan presiden ini tampak berada di jalur yang solid untuk meraih kemenangan, tetapi kini Demokrat berhasil membalikkan keadaan dan merebut momentum. Lantas, apa yang dilakukan Trump untuk menghadapi kemunduran ini?
Dalam menghadapi tantangan ini, Trump mengandalkan serangkaian taktik yang sudah tidak asing lagi—dari menyebarkan teori konspirasi hingga melakukan gaslighting dan melancarkan serangan pribadi. Namun, ketika semua strategi tersebut tampak tidak membuahkan hasil, Trump menyiapkan langkah berikutnya: duduk bersama sahabat barunya, Elon Musk, dalam wawancara yang dijadwalkan taka lam kemudian. Musk, seorang tokoh yang kontroversial dan berpengaruh, akan mewawancarai Trump. Pertanyaan besar yang muncul adalah, apakah langkah ini akan mampu mengangkat kembali kampanye Trump yang mulai goyah?
Sebulan yang lalu, Donald Trump berada di puncak kejayaannya. Dia berhasil lolos dari upaya penembakan yang mengancam nyawanya, menegaskan posisinya sebagai kandidat presiden dari Partai Republik, dengan peringkat popularitas yang meroket ke titik tertinggi sepanjang karier politiknya. Segalanya tampak berjalan mulus, dan Trump merasa yakin bahwa dia akan berhadapan dengan Joe Biden dalam pemilihan presiden yang akan datang. Namun, keadaan berubah drastis ketika Kamala Harris muncul sebagai lawannya yang tak terduga. Kehadiran Harris mengubah dinamika persaingan ini, mengubahnya menjadi sebuah pertarungan yang jauh lebih kompleks dan menantang bagi Trump.
Kamala Harris kini mendominasi ruang publik dan gelombang udara, menjadi pusat perhatian dalam siklus berita yang terus bergulir. Setiap saluran berita dan media utama tampaknya memusatkan perhatian mereka padanya, meninggalkan Trump di belakang dalam perlombaan yang semakin ketat. Posisi ini adalah sesuatu yang tidak nyaman bagi mantan presiden AS tersebut, yang terbiasa mendominasi panggung politik.
Dalam situasi ini, Trump segera beralih ke strategi-strategi andalannya, memanfaatkan senjata favoritnya untuk melawan. Yang pertama dan paling menonjol adalah penyebaran teori konspirasi. Trump menuduh Kamala Harris menggunakan kecerdasan buatan (AI) untuk memanipulasi foto-foto kerumunan dalam sebuah rapat umum di Detroit, sebuah tuduhan yang disebutnya sebagai bentuk gangguan pemilu.
Meski kampanye Harris dengan tegas membantah tuduhan ini, Trump tidak berhenti di situ. Serangannya berlanjut dengan hinaan yang lebih personal. Dalam sebuah artikel yang diterbitkan oleh New York Times, disebutkan bahwa Trump secara pribadi melontarkan kata-kata kutukan yang kasar terhadap Kamala Harris, menunjukkan betapa terganggunya dia oleh popularitas Harris yang semakin meningkat.
Ada pula unsur gaslighting dan serangan terhadap identitas rasialnya. Seorang warga, dalam pernyataannya yang kontroversial, mencoba meragukan identitas Kamala Harris dengan mengatakan, “Saya sudah mengenalnya cukup lama, meskipun hanya secara tidak langsung. Selama ini, dia selalu mengidentifikasi dirinya dengan warisan Indianya. Saya bahkan tidak tahu bahwa dia berkulit hitam sampai beberapa tahun lalu ketika tiba-tiba dia mulai diidentifikasi sebagai orang kulit hitam. Sekarang, dia ingin dikenal sebagai orang kulit hitam. Jadi, saya benar-benar bingung—apakah dia orang India atau apakah dia berkulit hitam?”
Di balik layar, situasi ini ternyata lebih parah daripada yang terlihat. Penasihat Trump mengungkapkan bahwa kemarahannya telah mencapai titik yang mengkhawatirkan. Mantan presiden itu berjuang keras untuk mengendalikan emosinya yang membara. Para pembantunya mendesaknya untuk fokus menyerang kredibilitas Kamala Harris dengan cara yang lebih strategis, namun Trump memilih untuk menjadikannya masalah pribadi, sebuah pendekatan yang secara signifikan memengaruhi peringkatnya dalam jajak pendapat.
Di negara bagian kritis yang sering menjadi penentu hasil pemilu, seperti Wisconsin, Michigan, dan Pennsylvania, Kamala Harris kini berada di depan. Hasil polling menunjukkan bahwa sang wakil presiden AS mendapat dukungan sebesar 50%, sementara Donald Trump tertinggal di belakang dengan 46%. Di samping itu, jajak pendapat lain menunjukkan bahwa negara bagian Georgia, Arizona, dan Nevada, yang sebelumnya cenderung mendukung Partai Republik, kini berada di posisi yang lebih seimbang, menjadikannya pertarungan yang belum bisa diprediksi.
Dalam isu ekonomi, Harris juga menunjukkan peningkatan signifikan. Sebuah survei baru-baru ini mengungkapkan bahwa 42% responden kini mempercayakan perekonomian kepada Harris, sementara Trump mendapatkan dukungan 41%. Meskipun selisihnya tampak tipis, ini merupakan peningkatan yang signifikan, naik 7% dari angka yang diperoleh Biden bulan lalu.
Dengan demikian, jelas bahwa posisi Trump sedang melemah. Harris mengambil alih kepemimpinan. Namun, mantan presiden AS tersebut masih memiliki kartu as yang siap dimainkan. Dalam upaya untuk menghidupkan kembali kampanyenya, Trump berencana menggunakan satu dari sedikit opsi yang tersisa—memanfaatkan pengaruh teman lamanya, Elon Musk, CEO Tesla. Kedua tokoh ini akan melakukan wawancara eksklusif yang akan disiarkan secara langsung di X, platform media sosial milik Musk, sebuah langkah yang diharapkan dapat membantu Trump membalikkan keadaan.
Saat ini, tidak ada sisa kasih antara kedua pria itu. Selama bertahun-tahun, Elon Musk adalah pendukung Demokrat yang setia, bahkan hingga tahun 2022, ia secara terang-terangan tidak menyukai Donald Trump. Musk pernah menyampaikan dalam sebuah tweet bahwa mantan Presiden AS tersebut seharusnya “berlayar menuju matahari terbenam,” mengisyaratkan bahwa karier politik Trump sudah seharusnya berakhir.
Namun, dalam beberapa bulan terakhir, hubungan antara keduanya mengalami perubahan yang signifikan. Elon Musk kini menunjukkan dukungannya terhadap Trump, dan mantan presiden tersebut pun mengungkapkan rasa hormatnya kepada Musk. Bromance yang baru terbentuk ini tampak jelas di platform X, dengan interaksi mereka yang semakin erat. Kini, mereka siap melangkah lebih jauh, bersatu dalam upaya untuk membantu Trump meningkatkan posisinya dalam jajak pendapat.
Apakah strategi ini akan berhasil? Itu masih menjadi tanda tanya besar. Namun, bagi seorang pemain sandiwara ulung seperti Trump, ini mungkin merupakan cara paling efektif untuk menyampaikan pesannya kepada publik.