Selasa, Oktober 8, 2024

Pesta Teror Dunia Pendidikan

Yanto Mushtofa
Yanto Mushtofa
Alumni Fakultas Tarbiyah, Jurusan Tadris Bahasa Inggris, Universitas Islam Syarif Hidyatullah Jakarta. Pemimpin Redaksi Majalah "Media Panduan Sentra", Ketua Yayasan Insan Nahlah Semesta Bogor.
ANTARA FOTO/ Siswowidodo
ANTARA FOTO/ Siswowidodo

Februari adalah masa-masa mulai memanasnya pesta teror di dunia pendidikan. Sampai pertengahan bulan, di beberapa daerah para murid kelas 9 dan 12 sudah dua kali menjalani try-out Ujian Nasional. Diperkirakan sampai saat perang yang sesungguhnya, akhir dan awal April mendatang, anak-anak sekolah yang sedang mempersiapkan diri melewati timbangan nasib masa depan itu akan menjalani lima sampai enam kali try-out.

Walau bertujuan memberi semacam efek rasa tenang dan kepastian, pesta itu sejatinya justru membunuh berkali-kali bagian-bagian dasar dari urat kehidupan anak-anak.

Sengaja beberapa kata keras pada paragraf di atas tidak dituliskan dalam tanda petik: teror, perang, timbangan nasib, dan membunuh. Teror, karena pesta try-out pada hakikatnya melenyapkan kebahagiaan belajar, bukan hanya bagi anak-anak kelas 9 dan 12, tapi juga mengirim gelombang sinyalnya kepada anak-anak kelas 7, 8, 10, dan 11.

Bahkan sinyalnya pun terasa di tingkat Sekolah Dasar yang, meskipun di dalamnya tidak berlaku lagi ujian yang bersifat nasional, nyaris segenap energi pendidikan tersedot ke arah empat hari penentu nasib itu. Gelombang sinyal teror itu mengalami resonansi di rumah-rumah karena ketakutan dan kecemasan orangtua.

Perang, karena Ujian Nasional memang tidak seperti mengukur badan untuk membuat baju atau anak menginjak timbangan untuk mengetahui berat badan. Bukan pengukuran yang bisa dihadapi dengan perasaan biasa-biasa saja, Ujian Nasional lebih seperti mesin sortir yang akan menyeleksi anak-anak untuk ditempeli label lolos uji atau apkir dan masuk tangki limbah pendidikan. Karena itulah ada kata timbangan nasib, karena Ujian Nasional di negeri ini memiliki karakter kuat sebagai high-stake testing.

Membunuh? Ya. Ujian Nasional membunuh kreativitas karena adanya mesin sortir penyeragaman. Sebesar apa pun sekolah atau guru memotivasi anak agar mengasah bakat-bakat khusus mereka, anak tidak akan pernah beranjak dari fokus utama kesuksesan mengerjakan soal-soal ujian dalam kehidupan mereka. Entah itu bakat bermusik, menjadi atlet, penari, berkesusasteraan, main drama, penulis novel, desainer grafis, berbisnis,… you name it. Semua keterampilan yang sangat mungkin memiliki relevansi paling tinggi bagi kehidupan anak di masa depan itu tidak pernah memiliki tempat yang layak di sekolah.

Sekurang-kurangnya, kalaupun bekal-bekal unik itu tumbuh, bisa dipastikan tidak tumbuh by-design di sekolah. Sebab, sekolah hanya didesain untuk menjaring lulusan terbaik, produk sekolah yang akan diserahkan ke pasar kerja sebagai pegawai terbaik, syukur-syukur pegawai negeri. Jadi, by-design, lulusan terbaik sekolah bukan sejenis kreator penuh imajinasi, pengendus peluang bisnis yang ulung, atau inspirator gerakan produktif di masyarakat.

Lulusan terbaik sekolah adalah peserta ujian terbaik (best test-takers) yang lebih cenderung bertanya pada dirinya: “saya akan bekerja di mana?”, ketimbang “saya akan mengerjakan apa?”

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan. ANTARA FOTO/ Puspa Perwitasari
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan. ANTARA FOTO/ Puspa Perwitasari

Apakah paradoks pendidikan yang direpresentasikan institusi sekolah saat ini bisa diurai, dibenahi, diluruskan, dan dibetulkan? Bisa saja. Tapi, itu membutuhkan dekonstruksi pola pikir yang telah mendarah-daging, bukan hanya di kalangan sekolah dan birokrasi otoritas pendidikan, melainkan juga di sebagian besar orangtua. Yakni, rezim pendidikan high-stake testing.

Tanda-tanda keberhasilan dekonstruksi yang bisa dilihat adalah antara lain bila kelak berlaku non-selective system of schooling. Artinya, sistem penerimaan murid baru di setiap jenjang sekolah bukan lagi berdasarkan ranking numerikal angka-angka nilai rapor atau ijazah. Penerimaan murid baru akan berjalan berdasarkan pertimbangan geografis dan umur anak.

Dalam konteks seperti itu, Ujian Nasional akan kembali kepada fungsi sejatinya sebagai instrumen evaluasi pendidikan, yakni pengukuran akuntabilitas penyelenggara sekolah, dan bukan sebaliknya menjadi beban perang anak-anak Indonesia.

Itu berarti, atribut “sekolah unggul”, “sekolah favorit”, “sekolah bertarif internasional”, menjadi semakin kehilangan makna, karena pada hakikatnya semua sekolah adalah sekolah unggul dan favorit. Tak ada lagi kelompok anak paling super, karena setiap anak Indonesia adalah anak istimewa yang berhak mendapatkan pendidikan terbaik. Kalaupun tetap ada sekolah eksklusif, porsinya akan sangat minoritas dengan jumlah terbatas untuk, misalnya, anak dari keluarga konglomerat berpenghasilan satu miliar rupiah per bulan.

Tanda lainnya adalah di masa kapan pun dalam kalender belajar sekolah, termasuk di akhir jenjang seperti kelas 9 dan kelas 12, anak tetap menikmati waktu belajar yang efektif untuk membangun bekal kehidupan. Artinya, sekolah harus kembali kepada prinsip non-scholae sed vitae discimus (belajar bukan untuk sekolah itu sendiri, apalagi untuk mendapatkan angka, tapi belajar untuk membangun otot-otot kehidupan).

Jadi, tidak ada lagi teror pendidikan bernama try-out Ujian Nasional, dan anak belajar dengan bahagia sepanjang hidupnya. Dengan demikian, dalam iklim seperti itu sangat mungkin tidak ada lagi industri bimbingan belajar yang bisa bertahan.

Satu lagi, tanda berhasilnya dekonstruksi pola pikir itu adalah, tanpa insentif atau iming-iming yang berlebihan, anak dengan sendirinya mempunyai kesempatan, minat, dan daya lebih besar dengan tingkat keragaman yang lebih tinggi untuk membaca buku. Bukan semata-mata sikap pesimistis, tapi niscaya belaka bahwa gerakan literasi yang sedang menggeliat akhir-akhir ini di berbagai daerah, tetap membentur tembok besar: anak-anak memiliki kepentingan yang lebih besar dari membaca buku, yakni memastikan keselamatan diri di timbangan nasib masa depan.

Sudah satu tahun lebih pemerintahan Presiden Joko Widodo berjalan dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang dipimpin Anies Baswedan, seorang tokoh inspiratif yang dulu pernah ikut meneken petisi menolak Ujian Nasional. Jelas, bukan kurikulum baru yang dinanti segenap stake-holder pendidikan nasional, meski ada kebingungan di masyarakat tentang kurikulum apa yang harus diterapkan. Tapi, yang dinanti sesungguhnya adalah kehendak untuk mulai mendekonstruksi pola pikir pendidikan yang menempatkan anak sebagai bahan baku pabrik lulusan.

Menyelami spirit pendidikan yang memanusiakan semacam anjangsana ke Reggio Emilia di Italia atau ke sekolah-sekolah di Finlandia tentu tidak mahal buat negara demi kepentingan masa depan bangsa ini. Tapi, saya berangan-angan Presiden Jokowi punya kesempatan blusukan melihat di dalam negeri sendiri, karena tidak sedikit lagi sekolah yang telah berhasil membebaskan diri dari paradigma high-stake testing.

Salah satunya adalah Sekolah Batutis Al-Ilmi di Pekayon, Bekasi, sekolah gratis untuk kaum dhu’afa yang dibangun dengan pardigma Metode Sentra. Tidak ada kecemasan, anak-anak menikmati tes, termasuk saat ikut Ujian Nasional, sebagai kegiatan rutin progress assessment.

Di situ tidak ada mata pelajaran Budi Pekerti atau Akhlak. Tapi, setiap detik keberadaan di sekolah adalah detik-detik belajar kehidupan, termasuk saat makan atau ke kamar kecil. Dan, anak-anak dari keluarga marginal itu pun tidak masalah menghadapi Ujian Nasioal, lulus semuanya.

Yanto Mushtofa
Yanto Mushtofa
Alumni Fakultas Tarbiyah, Jurusan Tadris Bahasa Inggris, Universitas Islam Syarif Hidyatullah Jakarta. Pemimpin Redaksi Majalah "Media Panduan Sentra", Ketua Yayasan Insan Nahlah Semesta Bogor.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.