Semakin meluasnya penyebaran wabah virus korona atau Covid-19 di Indonesia membuat pemerintah kalang kabut mempersiapkan segala bentuk antisipasi untuk mengatasi virus corona.
Salah satu bentuk antisipasi yang disiapkan oleh Pemerintah adalah menyusun seluruh instrumen hukum dan langkah-langkah luar biasa guna memastikan percepatan aksi tanggap pemerintah dalam menjamin dan melindungi kesehatan masyarakat dari pandemi virus korona.
Itu sebabnya, di akhir maret kemarin Presiden Joko Widodo mengumumkan 3 (tiga) instrument hukum sebagai fondasi yaitu Perppu Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Covid-19, PP Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid-19, dan Keppres Nomor 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Covid-19.
Dari ketiga instrument hukum tersebut, ada satu aturan yang sangat perlu dicermati sekaligus dikawal di tengah wabah korona yang membuat masyarakat berada dalam situasi tidak nyaman dan penuh ketakutan ini.
Regulasi dimaksud yaitu Perppu Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan. Semua mengamini, bahwa Perppu ini sangat penting untuk dikeluarkan, bahkan Presiden Jokowi pun mengklaim bahwa Perppu ini akan menjadi dasar bagi pemerintah, otoritas perbankan, dan otoritas keuangan untuk malakukan upaya luar bisa dalam menjamin kesehatan masyarakat, menyelamatkan perekonomian nasional, serta stabilitas sistem keuangan.
Namun, sangat disayangkan Perppu yang akan menggolontorkan dana sebesar Rp. 405,1 triliun dari APBN 2020 seakan prematur ketika dijalankan. Sebab, terdapat satu materi muatan penting yang luput oleh pemerintah memasukkannya ke dalam Perppu tersebut. Materi muatan itu yaitu perihal pengaturan sistem pengawasan dan pelaporan pertanggugjawaban keuangan negara.
Dalam adagium hukum keuangan, pengawasan dan pertanggugjawaban merupakan nafas dari APBN. Hal ini tentu saja akan membuka celah bagi semua oknum baik pemerintah, otoritas perbankan, maupun otoritas keuangan untuk melakukan penyimpangan terhadap anggaran yang dianggarkan.
Pasalnya, dalam substansi norma Perppu tersebut tidak ada satu pun frasa/klausul yang menukilkan soal pengawasan dan pelaporan pertanggugjawaban keuangan negara dalam penanganan pandemi Covid-19 ini.
Hanya saja, dalam Pasal 13 secara terbatas menyebutkan bahwa penggunaan anggaran dalam rangka pelaksanaan kebijakan keuangan negara dan langkah-langkah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 12 dilaporkan Pemerintah dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat. Hanya sebatas itu, tanpa kemudian memasukkan unsur-unsur pengawasan dan pelaporan pertanggungjawaban keuangan serta peran dari masing-masing lembaga pengawas keuangan dalam mengawasi penggunaan dana yang sifatnya darurat ini.
Sebab, setiap pengelolaan dan pelaksanaan anggaran dalam keadaan darurat sekalipun, maka harus tetap mengacu pada aturan perundang-undangan yang berlaku, namun ada pengecualian-pengecualian atau pembatasan-pembatasan yang mesti dicantumkan dalam Perppu tersebut.
Jika mengacu pada ketentuan Pasal 27 ayat (4) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara menjelaskan bahwa dalam keadaan darurat Pemerintah dapat melakukan pengeluaran yang belum tersedia anggarannya, yang selanjutnya diusulkan dalam rancangan perubahan APBN dan/atau disampaikan dalam Laporan Realisasi Anggaran. Artinya, ketika pemerintah telah menyatakan kondisi dalam keadaan darurat kesehatan, maka RUU Perubahan APBN harus segera dilakukan sekaligus mempertanggungjawabkan dan menyampaikan Laporan Realisasi Anggaran.
Oleh sebab itu, ada 2 (dua) pilihan bagi pemerintah untuk mengadopsi norma yang dimaksud, pertama menambahkan satu bagian dalam norma Perppu Nomor 21 Tahun 2020 perihal pengawasan dan pelaporan pertanggungjawaban keuangan, atau pilihan kedua membentuk satu Perppu yang secara khusus mengatur tentang kebijakan pengawasan dan pelaporan pertanggungjawaban keuangan untuk penanganan pandemi Covid-19.
Karena, konsekuensi dari lahirnya sebuah kebijakan, juga harus diiringi dengan pengawasan dan itulah yang harus ada dalam Kebijakan Keuangan Negara untuk penanganan pandemi Covid-19 ini.
Mengkawal Pertanggungjawaban Keuangan Covid-19
Pada prinsipnya setiap kebijakan keuangan negara harus diletakkan pada konsep pertanggungjawaban penggunaan keuangan negara yang tentu saja membawa implikasi yuridis yang cukup signifikan dalam sistem ketatanegaraan.
Penulis memprediksi dengan ditetapkannya status darurat kesehatan dan memberlakukan pembatasan sosial berskala besar akibat pandemi Covid-19 melalui peningkatan defisit anggaran menjadi 5,07 persen dari APBN 2020 tanpa pengaturan khusus terkait pengawasan dan pertanggungjawaban keuangan, maka dapat dipastikan pelaksanaan APBN dengan besaran dana Rp. 405,1 triliun sulit akan berjalan efektif dan juga tidak menjamin percepatan pertumbuhan ekonomi bahkan sarat akan koruptif.
Itu sebabnya, perumusan APBN tidak bisa semata-mata hanya membicarakan pada aspek kebijakan, atau dikenal dengan istilah politik anggaran, namun harus melihat bagaimana implementasinya ketika diterapkan, apalagi dalam kondisi darurat yang menyangkut hajat hidup orang banyak di bidang kesehatan dan perekonomian sebagaimana amanat konstitusi UUD 1945.
Artinya, meskipun dalam keadaan normal sudah ada pengaturan soal pengawasan dan pertanggunggjawaban keuangan negara, namun dalam keadaan darurat seperti ini, perlu penormaan secara spesifik perihal kebijakan pengawasan dan pertanggungjawaban keuangan negara dalam mengatasi korona ini.
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebagai pengawas eksternal keuangan harus lebih ketat mengawasi setiap tindak tanduk pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang sifatnya darurat ini, karena potensi untuk disalahgunakan justru sangat besar sekali. Di samping itu, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dan Inspektorat sebagai pengawas internal keuangan juga diharapkan dapat mendampingi dan mengawasi pengelolaan keuangan yang dikelola secara penuh oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Selanjutnya untuk koordinasi pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan, sebagai tindak lanjut dari Perppu Nomor 21 Tahun 2020, pemerintah diharapkan dapat berkonsultasi dengan BPK mengenai kondisi darurat kesehatan dengan menyatakan bahwa kondisi saat ini tidak memungkinkan untuk proses pertanggungjawaban laiknya dalam keadaan normal.
Begitu juga dengan BPKP dan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (LKPP) dalam pengadaan barang dan jasa, proses pengadaannya perlu ditetapkan melalui pengaturan khusus yang berbeda dengan kondisi normal. Hal ini urgen dilakukan agar proses refocussing anggaran sebagaimana amanat Inpres Nomor 4 Tahun 2020 yang didesain oleh pemerintah dapat dijalankan secara efektif dan berkeadilan guna mempercepat penanganan virus global Covid-19 ini. Akan tetapi, bukan berarti menghilangkan esensi untuk mengkawal Perppu Kebijakan Keuangan Korona ini. Semoga..