Minggu, November 24, 2024

Perlukah Kartu Pra Kerja Jokowi Beri Honor Pengangguran?

Dede Yusuf Macan Effendi
Dede Yusuf Macan Effendi
Ketua Komisi IX DPR RI, Ketua DPP Demokrat
- Advertisement -

Pada 24 Februari 2019, di Sentul International Convention Centre (SICC), di hadapan para pendukungnya, Joko Widodo (Jokowi) menyatakan ingin meluncurkan Kartu Pra Kerja jika terpilih kembali. Ia menyatakan, “untuk memberikan layanan pelatihan vokasi, meningkatkan atau memberikan pelatihan bagi yang belum bekerja, bagi yang sudah bekerja dan akan berganti pekerjaan.”

Dalam kesempatan lain, pada 1 Maret 2019, di Sulawesi Tenggara, Jokowi menyatakan pemegang Kartu Pra Kerja jika belum mendapat pekerjaan setelah pelatihan, maka akan mendapatkan honor atau intensif dari negara.

Sementara, Menteri Ketenaga Kerjaan Hanif Dakhiri pada 6 Maret 2019 menyatakan masih mengkaji realisasi Kartu Pra Kerja. Baik terkait rencana pemberian pelatihan, maupun pemberian honor.

Berdasarkan pernyataan-pernyataan tersebut, dapat dikatakan Kartu Pra Kerja belum jelas peruntukannya. Apakah untuk memberi bantuan intensif langsung kepada pemegangnya atau memberi pelatihan kerja? Ataukah memang untuk keduanya?

Pandangan saya, kalau memang Jokowi benar ingin merealisasikan Kartu Pra Kerja, lebih baik dalam bentuk pemberian pelatihan kerja sebagaimana pernyataannya di awal. Bukan memberi honor kepada para pengangguran.

Alasannya, secara filosofis memberi kail lebih baik daripada memberi ikan. Pelatihan kerja akan berguna bagi mereka sampai waktu yang lama. Selama mereka masih dalam usia produktif kerja, sampai sekitar usia 60 tahun, kemampuan dari pelatihan itu tetap berguna untuk mendapatkan pekerjaan.

Sebaliknya, pemberian honor hanya bermanfaat dalam rentang waktu singkat. Malah justru bisa melenakan penerimanya. Alih-alih menyelesaikan masalah pengangguran di negeri ini. Lagi pula, pemberian honor bukan suatu yang baru. Sama saja dengan Bantuan Langsung Tunai (BLT) di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang fungsinya adalah untuk membantu masyarakat miskin menyambung hidup.

Selain itu, saat ini anggaran yang sudah diketuk di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) melalui kesepakatan Kemenakertrans dan Komisi IX adalah untuk pelatihan kerja di Balai Latihan Kerja (BLK). Baik BLK yang dikelola pemerintah, dikelola pesantren, maupun dikelola swasta. Anggarannya sebesar Rp2 triliun untuk 1 juta orang.

Artinya, rencana pemberian honor tidak memiliki sumber alokasi anggaran khusus. Bila akhirnya tetap dilakukan, maka kami di Komisi IX tentu akan bertanya ke Kemenaker sumber anggarannya. Apakah menggunakan anggaran Rp2 triliun tersebut atau menambah anggaran baru? Jika menggunakan anggaran yang ada, bagaimana mekanisme pembagiannya sehingga tidak mengganggu rencana pengentasan pengangguran yang sudah disepakati dengan Komisi IX? Apakah tanggung jawab tetap di Kemenakertrans atau di Kemensos? Kategori penerimanya seperti apa, pengangguran terbuka atau semi terbuka?

Semua itu harus dijelaskan Menaker Hanif Dakhiri kepada kami. Begitupun Jokowi harus menjelaskannya kepada publik agar tidak simpang siur. Karena ini bukan sekadar perkara Kartu Pra Kerja-nya, melainkan soal menjaga dari kebocoran dan penyelewengan anggaran negara.

- Advertisement -

Memang di negara maju, di luar negeri, sudah biasa pemberian intensif kepada pengangguran. Mereka dapat melakukannya karena anggaran mereka mencukupi dan angka penganggurannya rendah. Sementara Indonesia sebagai negara berkembang belum memiliki anggaran sebanyak mereka dan angka pengangguran sangat tinggi, lebih kurang 7 juta orang.

Pada intinya, kita harus realistis dalam membuat program pengentasan pengangguran. Harus mengukur kemampuan anggaran negara dengan segala kebutuhan lainnya untuk kesejahteraan rakyat. Misalnya, saat ini kita masih menghadapi masalah defisit BPJS yang mencapai Rp16,5 triliun, sehingga obat-obatan untuk penyakit katastropis mesti tidak ditanggung lagi. Tentu ini bukan masalah kecil dan wajib dipikirkan penyelesaiannya, termasuk dengan menghitung berapa anggaran negara yang akan digunakan.

Siapapun nanti yang terpilih, Jokowi atau Prabowo, harus memikirkannya. Caranya dengan melihat masalah utama pengangguran di negara ini.

Pelatihan Kerja Untuk Mensinergiskan Lapangan Kerja dan Kemampuan Kerja

Masalah utama pengangguran di negeri ini, menurut saya, adalah tidak ada link and match antara kemampuan kerja dengan lapangan kerja yang tersedia. Dari data yang kami miliki di Komisi IX dan pantauan langsung ke lapangan, sangat banyak lapangan kerja tercipta. Baik dari bisnis skala kecil, menengah maupun besar. Tapi sumber daya manusia (SDM) untuk mengisinya masih sedikit karena kemampuan kerja mereka tidak selaras dengan kebutuhan lapangannya.

Sebut saja di bidang konstruksi. Saat ini pemerintah sedang giat melakukan pembangunan infrastruktur, seperti ratusan kilometer tol di pelbagai daerah. Semestinya bisa menyerap banyak lapangan kerja. Faktanya tidak demikian. Kebutuhan teknis untuk pekerjaan itu tidak bisa terpenuhi lantaran SDM yang lebih banyak tersedia di bidang admin.

Atau di bidang tekstil. Sekarang mulai tumbuh industri tekstil berbagai skala. Namun tidak banyak SDM dengan kemampuan layak bekerja di bidang tersebut. Semakin sedikit orang yang mampu mengobras dan menjahit. Padahal obras dan jahit adalah core business tekstil.

Memasuki Revolusi Industri 4.0 yang mengedepankan industri padat modal ketimbang padat karya. Kemampuan kerja yang selaras dengan lapangan kerja semakin tidak bisa terelakkan. Karena, industri padat modal, seperti teknologi sangat bertumpuh pada SDM yang mampu di bidangnya.

Oleh karena itu kami di Komisi IX berpendapat, strategi yang paling mungkin untuk menyelesaikan problematika tersebut adalah dengan memberikan vocational course atau pelatihan vokasi.

Berbeda dengan pendidikan vokasi yang berlangsung bertahun-tahun, pelatihan vokasi dilakukan dalam waktu singkat. Bisa selama tiga bulan atau enam bulan pelatihan dengan materi terfokus pada bidang tertentu. Fungsinya melatih para angkatan kerja secara cepat untuk menguasai bidang tertentu.

Hal ini juga berfungsi untuk memberi kesempatan kepada mereka yang tidak sempat mengenyam pendidikan teknologi bisa mendapatkannya. Sehingga mereka bisa segera memanfaatkan kemampuannya untuk mengisi pos-pos lapangan kerja yang tersedia.

Dalam perhitungan kami, dari sekitar 130 juta angkatan kerja saat ini bisa lebih kurang 60 persen dapat mendapat pelatihan kerja melalui program tersebut. Kalau dirupakan angka itu sangat signifikan. Bahkan bisa untuk menyiapkan kebutuhan angkatan kerja bagi industri-industri baru yang akan tumbuh berikutnya.

Dengan kemampuan kerja yang mereka miliki, para angkatan kerja tersebut juga akan terhindar menjadi buruh murah. Mereka akan lebih dihargai oleh industri. Gaji mereka akan diperhitungkan sesuai kemampuannya, seperti yang telah lama dilakukan di pelbagai negara maju.

Secara alokasi anggaran, pelaksanaan vocational course sangat realistis untuk dilakukan dalam waktu dekat. Bisa mengombinasikan alokasi anggaran 20 persen untuk pendidikan dan anggaran Rp2 triliun untuk pelatihan ketenaga kerjaan yang telah disepakati.

Karena, sistem pendidikan nasional juga telah melingkupi pendidikan vokasi. Tinggal ditambah saja bentuknya menjadi vocational course janga pendek pula di institusi pendidikan non-vokasi dan institusi pelatihan kerja lainnya.

Setelah program tersebut terlaksana, Kementerian Perindustrian dan Kementerian Pendidikan tinggal melakukan kerja sama untuk membuat program taktis penyaluran para skill worker tersebut ke industri-industri yang sesuai bidangnya.

Namun, semua itu adalah usulan yang sebelum dilakukan hanya sebatas teori saja. Dan, yang bisa merealisasikannya hanya political will dari siapapun nanti presiden Indonesia selanjutnya. Saya berharap Jokowi dan Prabowo memiliki political will tersebut.

Dede Yusuf Macan Effendi
Dede Yusuf Macan Effendi
Ketua Komisi IX DPR RI, Ketua DPP Demokrat
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.