Masih ingat lirik lagu Indonesia Raya yang dinyanyikan oleh kita semua ketika upacara bendera sewaktu masih sekolah dulu? “Indonesia tanah airku, tanah tumpah darahku…” Apa yang ada dalam imajinasi kita ketika mendengar kalimat “tanah air tumpah darah”.
Saya dulu selalu mengafiliasikan dinyanyikannya lagu ini ketika masa revolusi kemerdekaan dan banyak huru-hara para pejuang pribumi bertempur melawan tentara NICA dan darah yang tumpah adalah darah para pejuang. Imajinasi pejuang pribumi saya juga amat sempit, hanya terbatas pada laki-laki, jawa, dan Muslim.
Sylvia Tiwon dalam tulisannya berjudul The Trapped Goddesses: Myth of Mother, Earth and Nation mengungkapkan, yang dimaksud dengan “tumpah darah” adalah darah yang keluar setelah persetubuhan dan darah yang tumpah ke tanah adalah darah nifas perempuan setelah melahirkan.
Tentu penemuan seperti ini belum masuk dalam pelajaran sejarah Indonesia. Ketika kita membicarakan tentang bangsa, sebuah komunitas yang merasa terikat pada suatu wilayah sama yang dipijak, dan wilayah itu adalah tubuh ibu (mother earth). Ibu yang melahirkan. Ibu yang tumpah darah.
Cara berpikir kita amat male-sentris dan begitu pula pengetahuan kita tentang sejarah bangsa. Ini yang berusaha diungkapkan feminis teoritis Dewi Candraningrum dalam bukunya Body Memories (2014).
Sekarang kita kembali pada masa sekarang. Kampanye pencegahan kekerasan seksual terhadap perempuan kini viral di mana-mana. Opini tentang kekerasan seksual berhamburan di berbagai media online, termasuk di Geotimes. Dan dengan membaca tulisan-tulisan tersebut kita bersepakat pada satu hal, kekerasan seksual terjadi karena adanya ketimpangan relasi antara perempuan dan laki-laki.
Buat saya, salah satu bukti ketimpangan relasi adalah pemahaman tentang sejarah dan pemikiran yang mengutamakan laki-laki yang kita sebut dengan patriarki.
Dan contoh yang disebutkan dalam pembukaan esai ini mengungkapkan bagaimana cara kita berpikir telah mengendap dan menjadi arahan untuk menilai dan bertindak, sehingga tercipta sebuah kebudayaan memperkosa yang kita tidak pernah sadar bahwa kita berada di dalamnya.
Tulisan ini berusaha mengungkapkan cara berpikir male-sentris dan menawarkan etika kepedulian (ethics of care) sebagai pendekatan kita untuk menganalisis kasus-kasus kekerasan seksual lebih dalam dan lebih berpihak kepada korban
Tidak Sadar Memperkosa
Sebulan lalu seorang teman datang kepada saya dengan tangan dingin gemetar, tatapan matanya lurus tetapi kosong. Dia didiagnosis mengidap post traumatic stress disorder (PTSD) karena perkosaan yang dia terima. Dia enggan melapor tentang apa yang terjadi kepadanya, dan pemerkosa berkeliaran bebas tanpa rasa bersalah.
Ketika membaca tiga baris kalimat di atas, saya menduga akan muncul pikiran “lah salah sendiri kaga ngelapor setelah terjadi perkosaan”. Cara berpikir kita beralih dari berempati kepada korban dan mendengarkan (etika kepedulian) menjadi bagaimana untuk berlaku adil (etika keadilan).
Tanpa kita sadari cara berpikir juga membentuk persepsi kita terhadap apa yang adil. Kita menerapkan keadilan dalam masyarakat dan menghukum pelaku seberat-beratnya tanpa melihat bagaimana hancur hidup korban.
Fakta angka yang diberikan Perserikatan Bangsa-Bangsa bahwa satu dari tiga perempuan mengalami kekerasan seksual selalu memberikan pikiran sampingan bahwa, “angka tersebut cukup besar, tapi saya yakin saya bukanlah pelaku”. Alasan berikutnya adalah, “saya mencintai perempuan, maka saya akan memperlakukannya dengan baik”.
Dalam Jurnal Perempuan edisi 89 berjudul “Psikoanalisis Pelaku Kekerasan Seksual” oleh Kristi Poerwandari dipaparkan, semua kasus kekerasan seksual dalam riset tersebut terjadi dalam hubungan romansa dan dilakukan oleh orang terdekat. Hubungan romansa yang sering kali didasari kata cinta.
Cara berpikir maskulin juga mendorong kita untuk mencintai dengan hasrat untuk memiliki dan menguasai. Ini membuat kekerasan seksual dalam hubungan romansa sering dianggap biasa. Kekerasan seksual yang dilakukan oleh orang terdekat dalam hubungan romansa ini yang tidak pernah disadari dengan dalih tidak mau menyakiti, dan tidak dilaporkan juga.
Etika kepedulian adalah bagian dari “Etika Feminis” tentang cara berpikir apa yang adil dan bagaimana cara melakukannya. Teori ini dikembangkan oleh Carol Gilligan dalam In Different Voice. Etika kepedulian menerangkan bahwa perempuan tidak melihat apa yang “adil”, tetapi apa yang tidak menyakiti atau sedikit menyakiti orang lain.
Teman saya yang mengidap PTSD mengatakan percuma melaporkan pelaku karena pelaku terlampau manipulatif dan tubuh teman saya tidak mampu mengeluarkan tenaga untuk menuntut laki-laki tersebut. Dia cuma bisa marah. Dan dalam kemarahannya atas apa yang terjadi padanya, dia tidak menyakiti siapa pun. Tetapi kita terus memaksa untuk terus bersikap adil.
Padahal, apa yang adil bagi masyarakat belum tentu adil bagi korban yang telah mengalami perkosaan. Kita mungkin meminta dia untuk bungkam saja dan melupakan kejadian perkosaan, karena khawatir lingkungan dianggap tercemar karena kasus pemerkosaan, atau menuntut hukuman mati bagi pelaku.
Contoh paling mudah untuk memahami etika kepedulian adalah pada dongeng The Little Mermaid karya Hans Christian Anderson. Ketika putri duyung berhasil menjadi manusia, menukarkan sirip dan suara indahnya dengan sepasang kaki demi bisa berjalan di darat dan bersama pangeran yang dia cintai. Namun semua usahanya kandas dan pangeran memilih perempuan lain.
Ketika itu solidaritas perempuan, saudari-saudari putri duyung, menukarkan rambut panjang mereka demi sebilah pisau untuk ditancapkan ke jantung pangeran agar putri duyung bisa mendapatkan siripnya kembali dan hidup bersama mereka. Tapi putri duyung menolak, dia mau mengambil sebuah keputusan yang tidak menyakiti siapa pun. Dia tidak tega membunuh pria yang dia cintai, walau harus bertepuk sebelah tangan. Kemudian putri duyung memilih terjun ke lautan dan menjadi buih.
Tahapan pengambilan keputusan putri duyung untuk memilih apa yang baik untuknya, walau masyarakat yang diwakili oleh soildaritas saudaranya menawarkan akan apa yang adil untuk dia. Etika kepedulian memang sulit diterima, karena kita selalu berpikir keadilan dalam konsep laki-laki. Bahkan balas dendam dengan hukuman kebiri dijadikan solusi untuk berlaku “adil”.
Kita mengalihkan perhatian kepada korban menjadi balas dendam kepada pelaku. Kita tidak pernah bertanya kepada korban akan apa yang dia mau. Memang butuh waktu untuk sembuh dari trauma kekerasan seksual dan terbentur kembali oleh cara berpikir kita ditambah hukum yang positivis dan male-sentris.
Dan tentu saja etika kepedulian yang saya tawarkan adalah pada kasus-kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh teman atau pacar terdekat, dalam relasi romansa yang sering kali tidak terungkap dan korbannya harus didengarkan untuk mampu sintas.
Cara berpikir laki-laki dirayakan, dibuat baku, dan kaku melalui peraturan-peraturan tanpa pernah dilakukan refleksi dan dialog sehingga perempuan terus tidak bersuara. Cara berpikir itu juga menghambat pengetahuan akan definisi dari kekerasan seksual. Kekerasan seksual dianggap tidak ada dan pemerkosaan adalah hal yang wajar untuk mengontrol tubuh perempuan dan menguji apakah hukum positivis bekerja.
Laki-laki pemerkosa ataupun catcallers di pingggir jalan tidak sadar apa yang dia lakukan adalah bentuk dehumanisasi perempuan. Cara berpikir ini diinternalisasi dalam pikiran kita dan muncul dalam kebudayaan populer seperti dalam lirik lagu Iwan Fals, Mata Indah Bola Pingpong, “Jangan marah kalau kau kugoda, sebab pantas kau digoda, salah sendiri kau manis”.
Ada anggapan bahwa perempuan adalah setengah manusia. Kecantikan dan kebaikan membuat dia tidak butuh dimintai persetujuan untuk diganggu.
Kekurangan analisa dari kasus-kasus pemerkosaan adalah melihat perempuan sebagai pihak tertindas karena berada dalam relasi yang timpang dan perempuan tak diberikan suara tentang apa yang baik untuknya. Cara berpikir masyarakat yang menuntut “yang adil” sejalan dengan Perrpu yang dikeluarkan pemerintah terkait kampanye darurat kekerasan seksual yang berfokus pada membalas dendam pelaku dan tidak memberikan empati kepada korban. Tidak juga mendengarkan suaranya.
Mereka menjadi putri duyung yang selamanya membisu dan cerita-cerita tentang kekerasan seksual hanya jadi buih di lautan.