Rabu, Januari 15, 2025

Percakapan Tak Selesai: Sally Rooney dan Kesepian Kita

Deri Hudaya
Deri Hudaya
Penulis dan pengajar di Ilmu Komunikasi, Universitas Garut. Buku terakhirnya "Lawang Angin dan Puisi-Puisi Lainnya (2022)
- Advertisement -

Ada sebuah percakapan yang sering kali tidak selesai, seakan-akan semua orang di dalamnya terlalu sibuk dengan pikiran mereka sendiri. Sally Rooney, penulis asal Irlandia yang disebut-sebut sebagai “penulis suara generasi milenial,” gemar memotret momen-momen semacam itu. Ia tidak menghadirkan percakapan yang menjernihkan, melainkan justru membiarkan kita tenggelam dalam kegelisahan karakter-karakternya. Normal People (2018), Conversations with Friends (2017), dan Beautiful World, Where Are You (2021) adalah tiga novel yang mengukuhkan posisinya sebagai pengamat halus hubungan manusia di era kekacauan emosional.

Dari ketiga karyanya, Normal People sering disebut sebagai mahakarya. Novel ini, yang bercerita tentang hubungan rumit antara Connell dan Marianne, bukanlah kisah cinta biasa. Rooney memaparkan hubungan mereka seperti menguliti bawang: lapisan demi lapisan, membuat pembaca menangis—bukan karena haru, tetapi karena betapa menyesakkannya melihat dua orang yang saling mencintai terus gagal memahami satu sama lain. Di tangan Rooney, kisah cinta tidak berakhir bahagia, melainkan menjadi eksperimen tak selesai tentang trauma, komunikasi yang buruk, dan sedikit (atau banyak) penghakiman diri.

Namun, jika Normal People adalah penelusuran hubungan yang penuh luka, maka Conversations with Friends menawarkan sudut pandang yang lebih eksperimental. Novel ini berfokus pada Frances dan Bobbi, dua sahabat yang terjerat dalam hubungan yang kompleks dengan pasangan menikah. Rooney dengan lincah menggambarkan bagaimana hubungan modern penuh dengan ambiguitas, kebingungan, dan, tentu saja, sedikit perselingkuhan untuk bumbu. Di dunia Rooney, tidak ada yang benar-benar bersih, termasuk rasa cinta itu sendiri.

Sally Rooney tampaknya memahami bahwa hubungan manusia bukanlah balok kayu yang bisa dipahat menjadi bentuk yang sempurna, melainkan lebih seperti benang kusut yang sering kali semakin membingungkan ketika kita mencoba meluruskannya.

Dalam Normal People, Connell dan Marianne adalah contoh sempurna dari dua orang yang mencintai satu sama lain tetapi terus-menerus membuat pilihan yang salah. Cinta mereka seperti permainan catur tanpa papan—langkah mereka tidak pernah jelas, dan hasilnya adalah kekalahan untuk keduanya. Rooney tidak menawarkan solusi, hanya potret; dan mungkin itulah yang membuatnya begitu relevan untuk generasi yang tumbuh dengan lebih banyak notifikasi daripada percakapan.

Rooney juga terkenal karena gaya bahasanya yang minimalis. Ia menolak deskripsi berlebihan dan lebih memilih untuk menyampaikan emosi melalui dialog yang sering kali menyakitkan dalam keheningannya. Dalam Conversations with Friends, misalnya, Frances tidak mengatakan banyak tentang rasa sakitnya, tetapi setiap kalimat yang ia ucapkan terasa seperti memotong udara dengan dingin. Gaya ini mungkin membuat pembaca merasa seperti menguping percakapan pribadi yang seharusnya tidak mereka dengar, tetapi di situlah letak kekuatan Rooney. Ia mengundang pembaca untuk menjadi saksi, bukan hakim—meskipun kita semua tahu, manusia tidak bisa tidak menghakimi.

Namun, ada sisi lain dari karya Rooney yang sering kali diabaikan: humornya yang gelap. Dalam Beautiful World, Where Are You, salah satu karakter berbicara tentang kiamat lingkungan dengan nada yang nyaris santai, seolah-olah menyaksikan kehancuran dunia adalah sesuatu yang bisa dinikmati sambil menyeruput teh sore. “Mungkin ini akhir dunia,” katanya, “tapi setidaknya aku masih punya waktu untuk memesan kopi lain.” Humor semacam ini adalah bentuk pemberontakan halus terhadap absurditas hidup—cara untuk bertahan dalam dunia yang tampaknya tidak memiliki jawabannya.

Rooney juga mengajukan pertanyaan besar tentang generasi milenial: mengapa hubungan yang kita bangun begitu rapuh, meskipun kita memiliki begitu banyak alat komunikasi? Karakter-karakternya sering kali menemukan diri mereka terjebak dalam percakapan yang tidak membawa ke mana-mana, seperti pesan teks yang tidak pernah mendapat balasan. Dalam dunia Rooney, keheningan bukanlah emas; ia adalah lubang hitam yang menelan harapan dan rasa percaya diri. Tetapi, mungkin di situlah letak pesannya: bahwa ketidakpastian adalah bagian dari menjadi manusia.

Akan tetapi, yang paling menarik dari karya Rooney adalah cara ia menghubungkan hubungan personal dengan persoalan yang lebih besar. Dalam Beautiful World, Where Are You, ia tidak hanya berbicara tentang cinta tetapi juga tentang perubahan iklim, ketidaksetaraan ekonomi, dan politik global. Novel ini seperti kumpulan pemikiran gelisah yang tersusun rapi, meskipun di bawah permukaannya ada perasaan bahwa tidak ada yang benar-benar rapi di dunia ini. Rooney tampaknya ingin mengatakan bahwa bahkan ketika dunia runtuh, kita tetap akan sibuk memikirkan siapa yang mencintai siapa, dan mengapa hal itu begitu menyakitkan.

Di balik keheningan minimalis karya Sally Rooney, tersimpan kenyataan pahit: tidak ada hubungan yang benar-benar tanpa luka. Hubungan manusia, seperti yang digambarkan Rooney, adalah negosiasi tanpa akhir. Ia tidak memberikan jalan keluar yang nyaman, tetapi justru memaksa kita untuk merenungkan ketidaksempurnaan kita sendiri. Apakah ini terlalu suram untuk generasi muda? Mungkin. Tetapi di era di mana segala sesuatu harus “instan,” mungkin kita butuh seseorang seperti Rooney untuk mengingatkan bahwa beberapa hal—seperti cinta dan pemahaman—tidak pernah datang tanpa kerja keras.

- Advertisement -

Melalui karakternya, Rooney juga menantang norma. Marianne, Frances, Connell, dan yang lainnya adalah individu-individu yang tidak selalu bisa kita simpati. Mereka egois, kadang-kadang menyakitkan, dan sering kali terjebak dalam pola pikir mereka sendiri. Tetapi mungkin itulah yang membuat mereka begitu nyata. Tidak ada pahlawan dalam novel Rooney, hanya manusia yang berusaha menemukan makna di tengah kekacauan.

Pada akhirnya, kekuatan Sally Rooney adalah kemampuannya untuk membuat hal-hal kecil menjadi penting. Ia tidak menulis tentang revolusi besar atau perubahan drastis, tetapi tentang percakapan sederhana, tentang bagaimana satu pesan yang tidak dibalas bisa menghancurkan hari seseorang. Dan di sanalah, di tengah kesederhanaan itu, kita menemukan kejujuran yang menyakitkan: bahwa hidup tidak pernah benar-benar mudah, tetapi mungkin itu tidak apa-apa.

Dalam sebuah wawancara, Rooney pernah berkata bahwa ia tidak percaya pada “karakter yang baik” atau “cerita yang sempurna.” Ia percaya pada kebenaran, bahkan jika kebenaran itu tidak nyaman. Itulah yang membuatnya berbeda, dan mungkin itulah yang membuat generasi muda merasa terhubung dengannya. Rooney tidak menawarkan pelarian dari kenyataan, melainkan sebuah cermin untuk melihat diri sendiri—lengkap dengan semua retakan dan ketidaksempurnaannya.

Akhirnya, karya Sally Rooney adalah tentang manusia dan bagaimana mereka bertahan. Ia tidak pernah berjanji untuk memberi jawaban, tetapi ia memberi kita keberanian untuk bertanya. Dan mungkin, di dunia yang semakin rumit ini, itu sudah lebih dari cukup. Seperti karakternya, kita hanya perlu terus mencari makna, meskipun kita tahu tidak ada jaminan bahwa kita akan menemukannya.

Deri Hudaya
Deri Hudaya
Penulis dan pengajar di Ilmu Komunikasi, Universitas Garut. Buku terakhirnya "Lawang Angin dan Puisi-Puisi Lainnya (2022)
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.