Jumat, April 19, 2024

Perang Hestek: Arena Demokrasi Digital?

Damar Juniarto
Damar Juniarto
Pegiat Forum Demokrasi Digital, Regional Coordinator SAFENET
twitwar
Ilustrasi dari safenet.

Selama bulan September 2015, obrolan mengenai kepemimpinan Presiden Joko Widodo kembali memanas di media sosial Twitter di Indonesia. Banyak yang percaya, sedang terjadi perang hestek antara dua kubu: mereka yang tidak mendukung pemerintahan Jokowi dengan mereka yang masih mendukung. Keduanya berusaha memenangkan pembicaraan. Inikah arena demokrasi digital? Signifikankah untuk pembelajaran demokrasi yang lebih baik di Indonesia?

Hestek Sebagai Peluru

Hashtag — seringkali dibahasakan oleh netizen Indonesia menjadi hestek atau tanda pagar (tagar) — sebenarnya hanya penanda topik yang sedang dibicarakan dengan memberi tanda #. Semisal Anda sedang mengirimkan opini mengenai meluasnya asap di Riau, maka akan diakhiri dengan #BencanaAsap. Tujuan dari mencantumkan hashtag ini agar pembicaraan lebih mudah diikuti mengingat cepatnya laju percakapan di dalam lini waktu Twitter.

Meluasnya penggunaan hashtag memang diawali di Twitter, tapi lambat laun melebar ke platform media sosial lain. Pada tahun 2007, pengembang Chris Messina mengusulkan agar Twitter mulai mengelompokkan topik-topik ini dengan simbol #, tapi baru mulai Oktober 2007, Twitter dipenuhi oleh hashtag #SanDiegoFire yang bertujuan mengabarkan perkembangan terkini mengenai kebakaran hutan di San Diego. Begitu mahsyurnya hashtag sampai-sampai dalam edisi Oxford English Dictionary tahun 2014, istilah ini masuk ke dalam salah satu entry.

Maraknya penggunaan hashtag kemudian mendorong Twitter melakukan pengelompokkan hashtag berdasarkan tingkat popularitas yang dinamakan Trending Topic. Sederhananya, trending topic adalah pembicaraan yang paling hangat di media sosial Twitter. Trending Topic ditentukan oleh sebuah algoritma tertentu yang menghitung kecepatan replikasi sebuah hashtag, luasnya penyebaran, dan lokasi keberadaannya. Algoritma ini mengidentifikasi topik yang sedang populer saat ini, bukan yang sedang populer per harinya, karena urgensinya adalah memberitahu apa yang sedang diminati oleh para pengguna Twitter.

Dalam praktek komunikasi digital, ketika suatu topik tertentu menjadi Trending Topic entah di Worldwide atau hanya di Indonesia, maka topik tersebut dianggap berada dalam puncak kemenangan. Sang pencetus dan para pengusung hashtag berhak naik ke podium juara dan menyatakan “kemenangan”.

Begitu tidak mudahnya bertengger menjadi topik paling hangat, menjadikan Trending Topic diperlakukan sebagai indikator kemenangan sebuah pesan, entah itu produk yang sedang dijual secara viral, isu yang sedang dihembuskan, atau pencapaian eksistensi. Ada banyak keuntungan saat sebuah topik menjadi Trending Topic. Semisal: isu yang tadinya hanya beredar di media sosial berpindah menjadi berita di media papan atas. Atau bahkan, sebuah topik bisa mempengaruhi pengambilan kebijakan. Begitu memikatnya posisi Trending Topic ini membuat hal ini diperjuangkan dengan banyak cara. Cara paling alami adalah membentuk barisan pengguna yang memasuki lini waktu Twitter dengan hestek sebagai peluru. Namun bagi yang tidak sabar dan senang menempuh jalan pintas, mereka menggunakan jasa Trending Topic.

Karena Trending Topic adalah tujuan yang dihasilkan ketika seberapa cepat, seluas apa, dan ke arah mana hestek diarahkan, tepat bila kita posisikan hestek sebagai sebutir peluru dan karenanya setiap posting dari akun pengguna adalah senjata yang meletuskannya. Jika posting ini dilakukan oleh mesin yang mereplikasi akun media sosial (bot), maka ibaratnya seperti memiliki senjata otomatis yang meletuskan hestek berkali-kali dalam hitungan detik — sekalipun isi postingan tersebut tidak relevan isinya atau malah tidak ada isinya sehingga pantas dikategorikan sebagai spam — dan jauh lebih mudah mencapai posisi Trending Topic. Konsekuensi lain dari tidak mencapai posisi puncak Trending Topic maka pesan tersebut dianggap menemui kegagalan dan kemudian ditinggalkan orang.

Perang Hestek, Sesungguhnya Memerangi Apa?

Jika hestek disepakati sebagai sebutir peluru maka istilah lain seperti twitwar menjadi masuk akal. Kata twitwar berasal dari “tweetwar” yang berarti adu argumentasi antar pengguna media sosial Twitter. Masing-masing pengguna meletuskan hestek dan berupaya saling “menjatuhkan”. Karena keinginan untuk saling menjatuhkan ini, akibatnya twitwar lebih sering tampak bukan sebagai adu argumentasi, tapi hanya adu memaki yang membuat seseorang sakit hati.

Ada begitu banyak twitwar politik yang terjadi selama ini yang membuat hasil akhir dari sebuah twitwar bisa ditebak: setuju untuk tidak setuju, berujung dengan blokir akun seperti yang ditunjukkan akun @susipudjiastuti milik Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti terhadap akun @RatnaSpaet milik Ratna Sarumpet atau berakhir adu fisik seperti saat twitwar mobnas antara akun @panca66 dengan pemilik akun @redinparis pada Februari 2015.

Terakhir pada bulan September 2015 adalah rangkaian perang hestek yang diletuskan dari akun @yponganan milik Dr. Y. Paonganan, S.Si.,M.Si. dengan aneka hestek memperkarakan kepemimpinan Jokowi dan letusan hestek balasan dari akun @hariadhi yang menuding letusan hestek lawan sebagai tindakan makar.

Dari perspektif demokrasi digital, sebenarnya perang hestek yang terjadi belakangan ini merupakan kesia-siaan. Kemajuan teknologi digital yang sebenarnya memberikan kesempatan kedua untuk menghidupkan pembicaraan politik di negeri ini dan memberi ruang demokrasi baru yang melampaui cara penyebaran gagasan di masa lalu tidak digunakan dan alih-alih digunakan hanya untuk mengumbar caci-maki yang tidak memberi keuntungan apapun bagi demokrasi negeri ini. Padahal yang terjadi setahun lalu mengindikasikan sebaliknya.

Setahun lalu, terjadi perang hestek yang berusaha saling rebut pengaruh untuk memilih calon presiden Indonesia. Sekalipun terjadi kampanye hitam, tetapi perang hestek bisa menggoyahkan pilihan politik netizen yang tadinya golput menjadi merasa berkepentingan untuk ikut memilih dalam pemilihan umum lalu. Peristiwa tersebut paling tidak mencerminkan bagaimana teknologi digital bila dimanfaatkan sebaik-baiknya dapat dipakai untuk membuat wacana tandingan.

Perang hestek yang sesungguhnya adalah yang menyediakan kontestasi wacana. Saat terjadi kontestasi wacana tersebut, netizen sebagai bagian dari masyarakat digital bisa memilah dan menyatakan keberpihakannya berdasarkan argumentasi logis dari wacana yang dipertarungkan. Maka ketika kontestasi wacana tidak terjadi dan malah berujung pada caci maki, sakit hati dan bahkan ada yang terluka karena berbeda pendapat, yang terjadi bukanlah demokrasi digital, melainkan sekedar kekerasan tekstual.

Ke Depan, Utamakan Kedewasaan

Saat ini kita menghadapi pilihan, terus menggali kekayaan demokrasi digital dari surplus teknologi digital yang terjadi di Indonesia yang suatu saat bisa diarahkan menjadi bagian tak terpisahkan dari kegiatan berdemokrasi itu sendiri, atau terjebak dalam melakukan kesia-siaan dengan memanfaatkan teknologi digital sebagai sarana iri dengki. Tentu masa depan yang dicita-citakan adalah memajukan pemanfaatan teknologi digital ini untuk memberdayakan demokrasi digital yang sedang tumbuh ini. Namun semua harus diawali dari kesadaran setiap netizen untuk mengutamakan kedewasaan.

Satu hal yang pasti, sikap negatif tidak akan mengarahkan ke mana-mana dan malah mengubur kesempatan untuk menjadikan Indonesia lebih baik dari sekarang.

Damar Juniarto
Damar Juniarto
Pegiat Forum Demokrasi Digital, Regional Coordinator SAFENET
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.