Ketika berbicara soal pelecehan seksual, dunia mendadak terlihat abu-abu. Sejenak tebersit di benak saya, benarkah di Indonesia upaya penyelesaian masalah semacam ini ibarat melempar koin? Jika beruntung, keadilan dapat kau kantongi dan sebaliknya, jika malang justru kau yang dibui.
5 Juli 2019, bahu Baiq Nuril seolah tertindih batu raksasa sekali lagi. Peninjauan kembali atas kasus pelanggaran UU ITE yang didakwakan kepadanya membuahkan penolakan dari MA. Pada Maret 2017, mantan tenaga honorer SMAN 7 Mataram ini dilaporkan ke polisi atas tuduhan penyebaran konten mesum berisikan cerita relasi seksual kepala sekolah tempat Nuril bekerja dulu.
Sejumlah dukungan menghujani Nuril sejak dua tahun silam, seiring viralnya tagar #SaveIbuNuril. Pasalnya, sebagian orang memandang Nuril adalah korban alih-alih pelaku pelanggaran hukum. Konten seksual yang diterima Nuril dari si Kepsek tanpa dikehendakinya, disimpannya sejak 2012 dan akhirnya bocor pada 2015 dianggap sebagai bukti bahwa perempuan ini menerima pelecehan seksual. Namun sebagian orang lainnya memandang dari perspektif berbeda. Penyebaran konten seksual, terlepas dari konteks apa pun, tetaplah suatu pelanggaran hukum.
Setelah sempat ditahan, Nuril merasakan kebebasan di pertengahan tahun yang sama begitu Majelis Hakim PN Mataran memvonisnya bebas. Kendati demikian, kebebasan yang diperoleh Nuril hanya berlaku temporer. Proses hukum berlanjut hingga kasasi. Pada September 2018, Nuril sekali lagi divonis hakim, tetapi kali ini vonisnya ialah pidana penjara 6 bulan dan denda 500 juta subsider 3 bulan kurungan. Menurut hakim saat itu, perbuatan Nuril membuat kepala sekolah, Haji Muslim, kehilangan pekerjaannya, sementara keluarga besar Muslim juga harus menanggung malu.
Soal menanggung malu ini, saya tak habis pikir. Lha, wong yang cerita sendiri tanpa diminta si Muslim, apa dia tidak memikirkan soal ini begitu menguak salah satu bagian personal darinya? Dia bilang, penyebaran konten seksual oleh Nuril mempermalukan dirinya dan karena itu, Nuril patut dipenjara. Tapi sadarkah dia, begitu kasus ini masuk pengadilan, berkas dapat diakses publik lebih luas lagi, termasuk di dalamnya transkrip cerita pengalaman seksualnya yang lumayan gamblang, yang dia sampaikan bertahun-tahun lalu kepada Nuril. Alhasil, menurut saya sih, lebih mempermalukan dirinya sendiri lagi.
Sokongan terhadap Nuril tidak surut. Upaya PK pun dilakukan demi melepaskan jeratan hukum untuk ibu ini. Memang, hasilnya tak berbeda dari putusan kasasi. Akan tetapi simpati dan upaya untuk terus menggaungkan isu ketidakadilan perempuan korban pelecehan seksual tidak berhenti. Seiring dengan itu, harapan turun tangan Jokowi—yang pada November tahun lalu mengatakan pengajuan pengampunan bisa dilakukan Nuril jika keadilan belum diperolehnya dari putusan MA—diutarakan kuasa hukum Nuril. Dan saya kira, di situlah momen lempar koin tercipta. Nuril tak pernah tahu apakah yang didapatinya kepala atau ekor. Tetapi yang jelas, mau tak mau ia bersiap menanggung hukuman yang mungkin masih dipertanyakannya, kenapa ini yang terjadi?
Bicara Hak Azasi? Haknya Siapa yang Utama?
Konon, keadilan ditegakkan dengan mengindahkan hak azasi seseorang. Realitanya, bisa begitu njelimet, bahkan seratus delapan puluh derajat dari keyakinan tersebut. Dalam pemberitaan mengenai penolakan PK Baiq Nuril, Detik menulis bahwa menurut MA, perekaman yang dilakukan Baiq Nuril terhadap Haji Muslim melanggar hak azasi manusia.
Sebagian warganet yang membaca ini boleh jadi gerah, geli, atau menggaruk kepala. Mengapa isu hak azasi Muslim yang diangkat? Apa kabar dengan hak azasi Nuril sebagai penerima konten seksual tak dikehendaki? Apa mungkin hak azasi yang dibela pengambil keputusan di sana punya hierarki, di mana hak Muslim lebih tinggi dibanding Nuril? Apa karena status Muslim waktu itu sebagai atasan dan Nuril bawahan? Apa karena Muslim kehilangan pekerjaan dan ‘kehormatan’ lantaran dia bercerita tentang aktivitas seksualnya sendiri lebih dirasa merugi oleh hakim dibanding Nuril yang telah dilecehkan? Apa isu pelanggaran UU ITE—yang berkali-kali disebut memuat pasal karet—lebih krusial dibanding isu kenyamanan dan keamanan dari ancaman pelecehan seksual sebagai perempuan di Indonesia, yang belum juga dijamin perlindungannya?
Hak azasi yang mana yang menduduki nomor wahid di negeri ini, dan apakah ia berlaku saklek atau terus berganti tergantung siapa yang mengadili dan punya kendali?
Kegilaan dalam Upaya Mencari Keadilan
Orang-orang berkomentar, misuh-misuh, mengekspresikan kekecewaan, tapi tidak berdaya mengubah kondisi begitu palu hakim diketuk. Sederet fakta dan interpretasi yang lain dari punya hakim dibeberkan, masih juga gagal menyelamatkan orang seperti Nuril yang dikriminalisasi atau tak dipercaya sebagai korban.
Saya berpikir, kadang ketika kita punya sejumlah keyakinan berdasarkan argumentasi-argumentasi serta bukti tertentu, lantas dianggap salah, dipandang sebelah mata, atau diragukan, kita sebenarnya perlahan digiring pada suatu kegilaan. Ingatan saya berlari ke salah satu petikan penulis fiksi asal Brazil, Paulo Coelho, yang dalam Veronika Memutuskan Mati menulis, “kegilaan adalah ketidakmampuan untuk mengomunikasikan isi pikiranmu. Seolah kamu sedang berada di negeri asing, mampu melihat dan memahami apa pun yang terjadi di sekitar, tetapi gagal menjelaskannya ke orang-orang atau meminta bantuan karena kamu tak paham bahasa mereka.”
Isu pelecehan seksual sudah lama digaungkan, disosialisasikan aktivis, sejumlah pemangku jabatan, bahkan penyintas sendiri dengan beragam cara dengan harapan ada perlindungan terhadap tindak kriminal ini. Namun, banyak orang masih menganggap isu ini alien. Mereka yang koar-koar ingin bebas dari pelecehan seksual dan mendapat jaminan dari negara masih sering dianggap ‘gila’, disalahkan karena apa yang dipakai atau dilakukannya, bahkan saat ia berlaku demi membela diri dan mencari keadilan.
Setelah berulang kali berusaha meyakinkan orang sekitar dan sejumlah penegak hukum, sebagian orang terpaksa bertekuk lutut di depan putusan yang memberatkan dan tak adil. Bahkan, sebagian lainnya memilih berhenti melanjutkan proses legal karena selain meletihkan, pesimisme kian membubung seiring dengan diperlihatkannya keraguan dan sikap menyalahkan dari penegak hukum ke korban.
Cerita korban perkosaan yang tak dipercaya karena kurang bukti gampang ditemukan di berbagai media. Beberapa waktu lalu pun, saya mendengar kisah korban pelecehan seksual dalam diskusi tentang Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) di Komnas Perempuan. Alih-alih kasusnya ditangani dengan penuh simpati dan responsif sejak awal, ia malah sempat diminta mencari sendiri pelakunya oleh polisi setelah melaporkan kasusnya. Dalam kasus Nuril, meski sudah ada Perma No. 3 tahun 2017, tentang pedoman mengadili perkara perempuan berhadapan dengan hukum, yang menerapkan azas penghargaan harkat dan martabat manusia, nondiskriminatif, kesetaraan gender, persamaan di depan hukum, keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum, putusan yang memberatkan perempuan tersebut tetap saja dijatuhkan hakim. Urusan mengejar keadilan di negeri ini, UU ITE tampaknya jauh lebih ampuh dipakai sebagai senjata dibanding isu gender.
Jika paparan cerita macam ini tak kunjung henti, bagaimana korban-korban kekerasan seksual, termasuk pelecehan, bisa percaya bahwa keadilan bagi mereka masih bisa diperjuangkan di sini? Apa definisi keadilan ketika dikaitkan dengan kasus kekerasan seksual? Bagaimana menghindari kebungkaman korban-korban lainnya, dan lebih lanjut, menyurutkan tekanan dan hantu-hantu trauma di kepala mereka yang muncul sejak tragedi terjadi?
Putusan PK kasus Nuril adalah teror bagi para korban lainnya. Berani mereka bersuara, taruhannya adalah dipenjara atau paling mending, dicerca. Jangankan di depan penegak hukum, di ruang-ruang publik secara langsung maupun digital, atau secara personal bercerita kepada yang terdekat pun, bisa saja ada ancaman kriminalisasi yang dikaitkan dengan pencemaran nama baik, pelanggaran UU ITE, dan penyebaran konten pornografi. Bercerita atau berpendapat sewaktu-waktu bisa dianggap tindak kriminal, sekalipun niatnya adalah bercerita untuk meringankan beban atau membela diri setelah menerima perlakuan buruk.