Senin, November 11, 2024

Dua Mimpi Buruk dan Satu Malam Penebusan Luka Modric

Darmanto Simaepa
Darmanto Simaepa
Penulis buku "Tamasya Bola: Cinta, Gairah, dan Luka dalam Sepakbola"; Pengelola blog Belakanggawang.
- Advertisement -

Luka Modric pernah berada di momen itu sebelumnya. Momen menakutkan di ujung pertandingan yang panjang. Momen di malam musim panas yang begitu panjang. Momen yang menghantui sejarah sepakbola Kroasia. Bukan hanya sekali, tetapi dua kali. “Akhirnya, kami bisa melewatinya,” katanya tentang pertemuan dengan momen yang ketiga.

Penyebutan ‘kami’, bagi Modric, barangkali sebagiannya adalah penghargaan atas kerja rekan-rekannya dan sebagian lagi menunjukkan bahwa ia seorang pemimpin bijaksana. Namun, itu tidak menghilangkan sedikit tanda yang menunjukkan sebuah upaya untuk tak menjadikan pertemuan dengan momen itu sebagai perjumpaan personal.

Namun, Modric tak akan bisa, dan tak akan pernah bisa menghindar dari momen itu. Momen-momen itu adalah perjumpaan yang sangat personal.

Mimpi buruk itu bermula di Vienna. Di menit terakhir babak tambahan, Modric muda mengejar bola di sudut kotak penalti Turki. Rustu Recber, kiper veteran itu, salah menghitung langkah. Modric lebih cepat dan dengan ligat mengirim umpan silang dengan kaki kiri. Ivan Klasnic menyambut dengan tandukan. Stadion menggila. Bendera merah putih kotak-kotak berkibaran. Bir-bir bertumpahan. Kroasia membayangkan semifinal.

Ketika suporter Kroasia masih merayakan gol itu dengan lagu-lagu kemenangan dan komentator pertandingan belum selesai menuntaskan kalimat tentang kepastian Kroasia melaju ke semifinal, Rustu mengirim umpan panjang dari tengah lapangan. Sebuah kemelut membuat bola bergerak liar.

Semih Senturk memunggungi gawang tapi berhasil mengubah posisi dan menyambar bola dengan tendangan kaki kiri setengah voli ke sudut kanan gawang. Tendangan itu seketika membungkam mulut pendukung Kroasia yang masih menganga dan membua pemain Kroasia, termasuk yang di bangku cadangan, tertunduk lemas.

Euro 2008 adalah turnamen besar pertama Modric. Ia datang ke Swiss membawa reputasi sebagai anak ajaib Kroasia yang diramalkan akan lebih besar dari Robert Prosinecki atau Zvonimir Boban, legenda yang berhasil membawa negara mereka ke semifinal Piala Dunia satu dekade sebelumnya.

Ia juga bagian dari era generasi emas kedua Kroasia. Piala Eropa itu menjadi saksi kemunculan Vedran Corluka, Danijel Srna, Ivan Rakitic dan Nico Kranjar. Kualitas mereka setara dengan generasi pendahulu. Di lapangan tengah, bersama Rakitic dan Kranjar, Modric berperan sebagai pengontrol tempo, menjadi pusat kreatifitas Kroasia.

Di tangan Slaven Bilic, Kroasia mengombinasikan pengalaman generasi transisi dengan kesegaran bakat-bakat anak muda. Di babak kualifikasi, Kroasia mempermalukan Inggris. Di babak final, mereka menyapu bersih kemenangan di fase grup, termasuk dengan memorak-porandakkan Jerman. Kasak-kusuk calon juara beredar dari mulut ke telinga.

Hingga akhirnya datang momen itu. Turki berhasil membuat Kroasia mati gaya. Satu-satunya bintang yang bersinar hanyalah pemuda tirus itu. Ketika permainan Rakitic dan Kranjar berhasil dimatikan, ia menciptakan beberapa umpan brilian. Sayang, dua umpan jadinya tak berhasil diselesaikan Rakitic dan Ivica Olic.

- Advertisement -

Modric adalah pemain terbaik di pertandingan itu. Energi dan kreativitasnya terpacak di seluruh lapangan. Ia juga terlihat sangat percaya diri. Di babak penentuan, ia mengambil penalti pertama. Tak ada rasa gugup di wajahnya. Namun, tendangan dua belas pasnya melebar ke kiri gawang. Rakitic mengambil tendangan ketiga. Melebar juga.

Kegagalan itu menghasilkan kekecewaan besar. Mereka pulang dengan hati yang berlubang. Gol balasan di detik terakhir itu bukanlah akhir dari mimpi buruk Modric. Malam-malam yang menghantui itu baru dimulai.

Delapan tahun kemudian, mimpi itu datang kedua kali. Kali ini, dModric bukan lagi anak ajaib. Ia telah menjadi salah satu gelandang terbaik dunia. Piala Champions baru saja diangkatnya untuk kali kedua. Begitu juga teman-teman segenerasinya.

Euro 2016 dianggap sebagai kesempatan terakhir bagi generasi emas Kroasia untuk membuat sejarah. Anak-anak ajaib itu sudah malih rupa menjadi pria-pria juara dan berada di puncak permainannya. Rakitic sukses besar di Sevilla dan lalu di Barcelona. Mario Mandzukic bergelimang piala di Juventus. Dengan tambahan darah segar seperti Mateo Kovacic, Marcelo Brozovic dan Ivan Perisic, Kroasia adalah kuda hitam sesungguhnya.

Di awal-awal, mereka seperti berhasil membuat perhitungan dengan masa lalunya. Mereka memuncaki klasemen di fase grup, termasuk kemenangan meyakinkan atas juara bertahan Spanyol. Debat lama tentang ketidakmungkinan ada dua harimau di satu lapangan menghilang. Pengalaman membuat Rakitic dan Modric bisa berbagi tugas dan ruang.

Lalu, hantu sewindu sebelumnya itu datang lagi. Melawan Portugal, Kroasia mati kutu. Mereka unggul permainan dan penguasaan bola, tetapi tak mampu membuat satu pun tendangan ke arah gawang lawan.

Sampai di pengujung pertandingan, tak ada tanda-tanda kedua tim berusaha memenangi pertandingan. Kroasia dan Portugal saling mengunci dan memiting, seperti dua pejudo yang memilih untuk menghindari bantingan daripada melancarkan serangan.

Kroasia hanya bisa menyalahkan diri sendiri. Fernando Santos memang berhasil meredam kreativitas Kroasia, terutama pemain sayapnya. Namun, masalah terbesarnya adalah Ante Cacic terlalu takut dengan bahaya Ronaldo. Rasa takut itu menghalangi Kroasia bermain lepas. Kreativitas Modric-Rakitic terkekang. Permainan mengalir di babak grup pun menghilang.

Mimpi buruk kedua itu datang lebih cepat empat menit dari yang pertama. Di ujung babak tambahan, Kroasia mulai berusaha meningkatkan tekanan dan mengoper bola lebih cepat. Mereka mendapat satu-satunya tendangan ke gawang. Tandukan Perisic ditepis dengan ujung jari oleh Rui Patricio. Beberapa detik kemudian, lewat suatu serangan balik kilat, Renato Sanchez membawa bola ke jantung pertahanan Kroasia dan mengopernya ke Nani. Nani mengirim umpan silang menyusur tanah.

Ronaldo sudah menunggu di sana dengan kaki kanan yang siap menghunjam bola. Subasic membuat penyelamatan hebat. Namun, bola muntah itu menuju arah Riqardo Quaresma yang berlari ke tiang jauh. Gol itu adalah satu-satunya tendangan ke gawang selama 120 menit. Sepakbola memberi kekecewaan besar.

Lalu datanglah momen yang ketiga. Prosesinya seperti mimpi-mimpi buruk yang telah terjadi sebelumnya. Kroasia datang dengan status sebagai kuda hitam. Dari tiga pertandingan pertama, Kroasia muncul sebagai tim yang, paling tidak secara statistik, terbaik.

Rusia juga dianggap sebagai kesempatan terakhir bagi kumpulan pemain juara itu memenuhi potensinya dan memberi trofi pertama buat Kroasia. Modric, Rakitic, dan Mandzukic masih di sana. Kematangan mereka dilengkapi dengan bakat-bakat segar, terutama di lini belakang.

Seperti sepuluh tahun sebelumnya, mereka menyapu bersih kemenangan di fase grup dengan hanya satu kebobolan. Modric menjadi pemain terbaik. Kroasia dianggap tim yang bermain dengan taktik yang matang dan kumpulan pemain berpengalaman.

Namun, kutukan babak knock-out telah menungu mereka. Seperti yang sudah-sudah, Kroasia berubah menjadi tim medioker. Khaos di awal-awal menit membuat Denmark dan Kroasia bermain lebih aman dan memperlambat tempo permainan. Modric dan Rakitic susah payah menemukan ritme yang, seminggu sebelumnya, membuat Argentina menjadi puing-puing dan Javier Mascherano seperti pemain debutan.

Mirip saat melawan Turki dan sedikit lebih baik daripada ketika melawan Portugal, Kroasia mengendalikan permainan. Kendati kaki-kakinya sudah mulai melambat dan berat, Modric masih mengontrol permainan. Duel di lapangan tengah dengan Eriksen ia menangkan. Lewat kombinasinya dengan Rakitic, Kroasia punya beberapa peluang.

Namun, malam itu seperti disiapkan sebagai panggung bagi Kasper Schemeicel. Berkali-kali ia membuat si Peter ayahnya, yang menonton dari kotak VIP, tersenyum bangga dan mengepalkan tinjunya.

Kali ini, momen itu menghadirkan kenyataan yang lebih pahit buat Modric. Seperti yang terjadi sepuluh tahun lalu, mimpi itu bermula dari kakinya. Dari lapangan tengah, Modric mengirim umpan terobosan yang membelah lini pertahanan Denmark. Ante Rebic mengejarnya. Ia berhasil menjangkau bola, melewati Kasper dan berhadapan dengan gawang kosong. Namun, dari arah belakang, Jorgensen meluncur, menjulurkan kaki dan membuat kaki kanan Rebic terantuk. Penalti.

Jam pertandingan menunjukkan menit 116. Modric mengambilnya. Ia berusaha menghilangkan gugup dan gentar dengan beberapa usapan dua ujung jari ke rambutnya. Seperti yang sudah-sudah, ia menghadapi penjaga gawang dengan ketenangan yang sama. Tangan memacak pinggang yang sama. Dengan tarikan napas seperti biasa yang membuat hidungnya tampak mengecil. Ia menendang bola itu ke arah favoritnya. Dengan bagian dalam kaki kanan yang sama.

Kutukan babak enam belas besar seakan-akan sudah digariskan untuknya. Tendangannya lemah dan Kasper bisa menebaknya. Peluang emas itu tiba-tiba berbalik haluan menjadi batu gerinda yang akan mengikuti ke mana pun langkahnya pergi. Nasib buruk sedang mengetuk pintu Kroasia untuk kesekian kali.

Kasper berhasil membalikkan suasana hati pertandingan. Denmark mulai percaya bahwa malam ini adalah malam mereka. Di tribun, Peter melonjak dan barangkali mulai membayangkan malam indah di Stockholm dua puluh empat tahun lalu terulang kembali.

Namun, untuk momen yang ketiga ini, Modric sudah siap menghadapinya. Kegagalan itu tidak berhasil meremukkan semangat dan mengaburkan visinya. Setelah tertunduk sesaat, ia kembali menegakkan kepala, berlari, membuka ruang dan meminta bola. Di menit-menit akhir, ia maju ke depan dan tampak berusaha menebus kesempatan yang hilang.

Sampai kemudian, takdir memberi kesempatan untuk bertemu kembali dengan mimpi buruk dalam sebuah lingkaran waktu yang sempurna. Seperti momen pertama, ia berjumpa dengan momen ketiga di babak adu penalti. Tidak seperti saat momen pertama, momen ketiga itu datang di tendangan ketiga. Apa pun urutannya, momen itu datang di waktu yang tepat, ketika nasib Kroasia di ujung tanduk dan sejarah sepakbola mereka dipertaruhkan.

Drama adu tendangan penalti itu barangkali sudah disiapkan untuk mereka. Ketegangan dan kegembiraan muncul silih berganti secepat bunglon merubah warna kulitnya. Suara teriakan dan kesunyian datang dan pergi tanpa jeda. Adrenalin mengalir cepat. Sangat cepat. Irama jantung berdegup kencang. Sangat kencang.

Kegagalan Eriksen membuat momentum berada di tangan Kroasia. Namun, kecemerlangan Kasper mengubah mood seisi stadion. Di tendangan ketiga, Krohn-Delhi memberi tekanan pada Kroasia. Mereka tertinggal satu-dua. Bangku cadangan Denmark mengepalkan tinjunya. Peter berteriak dan melojak dari tempat duduk, mengingatkan kita pada polahnya setelah berhasil memblok tendangan Marco van Basten di Swedia.

Hawa kematian mengambang di udara. Mereka bisa mencium baunya. Detik-detik beracun itu membawa langkah Modric menuju arah kotak pinalti. Waktu seakan berjalan lambat. Yang ada hanyalah perasaan senyap. Itu adalah momen kesunyian nasib.

Seperti sebuah adegan film Michelangelo Antonioni, kamera mengarahkan lensanya ke wajah Modric yang mengambil ancang-ancang, menarik napas, dan mata memicing memilih sudut gawang. Bayang-bayang kegagalan sepuluh tahun itu bermain dibenaknya. Ia tidak hanya berhadapan dengan pemain terbaik di pertandingan itu. Ia juga sedang berhadapan dengan pangalaman terburuk di masa lalu.

Ia menendang dengan ragu-ragu. Bolanya bergerak pelan ke tengah dan, sebetulnya, gampang diselamatkan. Namun, kali ini Kasper terkecoh dan gagal menebak arah tendangan. Suasana hati Kroasia berubah. Emosi di stadion berganti. Penebusan itu datang di waktu yang tepat. Di momen krusial, ia menuntaskan tugasnya. Nasib memberi balasan yang sempurna.

“Pertandingan melawan Turki telah menjadi kutukan bagi generasi kami. Kekalahan itu tak tertanggungkan,” katanya usai pertandingan. “Kini kami bisa melupakan dan melampauinya.”

Kami? Ya, Modric menghalau mimpi buruk itu dari wajah Kroasia. Ia memimpin rekan-rekannya untuk tidak takut menghadapi hantu sejarah. Kegagalan pinalti di babak tambahan waktu boleh jadi mematahkan semangatnya. Namun ia tak pernah bersembunyi. Ia terus meminta bola. Dan tak ada keraguan bahwa ia akan mengambil tendangan pinalti itu.

Tendangan penalti itu bisa jadi kuburan pecundang yang sedang disiapkan khusus untuknya. Modric tak bisa menyembunyikan perasaan ragu dan ngeri dari wajahnya. Namun ia tidak lari. Itu adalah momen di mana, dengan gemetar, seseorang berhasil menyalakan suar bagi kapal yang sedang mulai tenggelam di tengah laut lepas di malam gulita. Ia mengubah keputusasaan menjadi harapan.

Kami? Ya, ia tidak hanya berdamai dengan kesunyian nasibnya. Ia tidak hanya berhasil menghadapi momen personalnya. Keberanian dan keberhasilan di penalti ketiga itu meningkatkan kepercayaan diri Subasic dan memberi kesempatan bagi Rakitic untuk berhitung dengan masa lalunya. Sepuluh tahun yang lalu, Rakitic, di usia belum genap dua puluh tahun merasakan kejamnya sepakbola.

Setelah satu dekade, lingkaran waktu itu berputar dengan sempurna. Putaran nasib memberi kesempatan bagi Modric dan Kroasia untuk membuat penebusan. Modric bertemu kembali dengan momen itu. Kroasia bertemu kembali dengan mimpi buruknya. Modric memenangkan pertarungan personal dengan momen itu. Rakitic membuat pembalasan yang sempurna atas nasib sialnya. Kroasia menghalau kutukan babak 16 besarnya.

Malam di mana Modric, Rakitic, dan Kroasia membuat penebusan adalah malam yang akan mengubah mimpi buruk Kroasia menjadi mimpi indah. Momen penebusan itu membukakan pintu lebar-lebar buat Modric dan generasi emas Kroasia untuk menulis sejarah mereka sendiri. Setelah melewati dua mimpi buruk dan satu malam penebusan, generasi emas Kroasia kali ini bisa membayangkan untuk melakukan penebusan yang jauh lebih besar. Tepat dalam lingkaran waktu.

Dua puluh tahun yang lalu di Paris, generasi emas pertama Kroasia berhenti dari mimpi indahnya. Dua kaki Thuram membangunkan mereka dari kenyataan manis. Kini, lingkaran nasib sepertinya akan mempertemukan keduanya. Jika itu terjadi, generasi emas kedua Kroasia tak lagi hanya membuat penebusan untuk diri mereka sendiri, tetapi penebusan bagi sejarah sepakbola sepakbola Kroasia.

Modric dan Kroasia berpeluang melampaui pencapaian generasi emas pertama Kroasia. “Kini saatnya generasi kami menunaikan tugas untuk memberi mimpi paling indah bagi Kroasia,” kata Modric sesudah bersitatap dengan momen ketiganya. Sebuah momen penebusan di malam musim panas yang panjang, lewat sebuah pertandingan yang panjang dan melelahkan.

Darmanto Simaepa
Darmanto Simaepa
Penulis buku "Tamasya Bola: Cinta, Gairah, dan Luka dalam Sepakbola"; Pengelola blog Belakanggawang.
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.