Sabtu, April 20, 2024

Merayakan Hari Santri dengan Puisi

Jamal D. Rahman
Jamal D. Rahman
Penyair, esais, dan dosen sastra UIN (Universitas Islam Negeri) Syarif Hidayatullah Jakarta. Pemimpin Redaksi "Jurnal Sajak". Mantan pemimpin redaksi majalah sastra "Horison" (2003-2016). Buku puisinya: Airmata Diam, Reruntuhan Cahaya, Garam-Garam Hujan, dan Rubaiyat Matahari. Bukunya yang akan segera terbit: Wahdatul Wujud: Artikulasi Islam dalam Sastra Indonesia Modern dan Secangkir Kopi Seorang Musafir (kumpulan esai). Penerima Hadiah Sastra Mastera (Majelis Sastra Asia Tenggara) 2016.
“Puisi Islam”, salah satu puisi KH Mustofa Bisri (Gus Mus).

Kementerian Agama menggelar acara Malam Pembacaan Puisi Hari Santri 2017 di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, Senin, 16 Oktober 2017. Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin dijadwalkan membuka dan baca puisi dalam acara tersebut. Acara akan diisi oleh Ahmad Tohari, D. Zawawi Imron, Husein Muhammad, Shinta Nuriyah Wahid, Sapardi Djoko Damono, Sutardji Calzoum Bachri, Sujiwo Tejo, Acep Zamzam Noor, Fatin Hamama, Habiburrahman El-Shirazy, Abidah el-Khalieqy, dan lain-lain.

Acara itu bertajuk “Pesantren Tanpa Tanda Titik”. Hari Santri sendiri jatuh pada tanggal 22 Oktober.

Hari Santri memang layak disambut dan dirayakan dengan puisi, setidaknya karena dua hal. Pertama, syair atau puisi merupakan dunia santri sehari-hari. Di pesantren, puisi merupakan tradisi yang sangat hidup, terutama puisi Arab tradisional. Tiada hari tanpa santri membaca atau menyanyikan puisi, sendiri-sendiri atau bersama-sama. Santri bahkan membaca dan/atau menyanyikan puisi lebih dari sekali setiap hari: pagi baca puisi Imam Syafii; siang puisi Imam Malik; sore puisi Abu Nuwas; malam puisi Al-Bushiri.

Di pesantren, bahkan ilmu pun diajarkan lewat puisi (syi’r, nadham), misalnya ilmu akidah dan tata bahasa Arab. Kiai Ihsan Jampes dari Kediri bahkan membahas hukum merokok dalam puisi (berbahasa Arab). Banyak pula kiai dan nyai menulis syair dalam bahasa daerah. Shalawat Badar merupakan puisi yang kerap dinyanyikan dan paling populer di kalangan santri. Semua ini tidaklah mengherankan, sebab puisi memang merupakan bagian integral dari tradisi intelektual dan spiritual Islam.

Kedua, secara historis, syair Melayu-Indonesia dirintis oleh seorang ulama. Dia adalah Hamzah Fansuri, seorang ulama Aceh yang diperkirakan hidup di akhir abad ke-16 sampai awal abad ke-17. Dia menulis cukup banyak syair (puisi tradisional) dalam bahasa Melayu, di samping kitab prosa. Sejak itu, syair kemudian menjadi tradisi baru dalam sastra Melayu-Indonesia. Dari abad ke abad bentuk syair menyebar ke berbagai wilayah Nusantara: Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Sumbawa, dan Lombok. Dalam batas tertentu, corak syair Melayu bahkan mewarnai puisi Indonesia modern.

Syair-syair Hamzah Fansuri berisi pemikiran tasawuf spekulatif, terutama ajaran wahdatul wujud (wujudiyah), yaitu ajaran tentang kesatuan Tuhan dengan alam semesta. Isu wahdatul wujud kemudian menjadi wacana intelektual yang cukup luas di kalangan elite ulama Melayu-Indonesia. Isu tersebut bahkan menjadi polemik tak hanya di kalangan ulama Sumatra, melainkan juga di kalangan ulama Kalimantan, Sulawesi, Jawa, dan Sunda.

Polemik ini berlangsung dari generasi ke generasi, dari abad ke abad, setidaknya hingga awal abad ke-20. Di antara ulama yang mendiskusikan isu tersebut adalah Syamsuddin Sumatrani (w. 1630 M), Nuruddin Ar-Raniri (w. 1658 M), Abdurrauf Singkel (w. 1693), Yusuf Al-Makasari (w. 1699 M), Abdul Muhyi Pamijahan (w. 1715), Muhammad Nafis Al-Banjari (l. 1735 M), Abdusshamad Al-Falimbani (diperkirakan w. tak lama setelah 1788 M), Muhammad Arsyad Al-Banjari (w. 1812), Ronggowarsito (w. 1873), dan Haji Hasan Mustafa (w. 1930).

Dalam tradisi kaum santri, ulama bukan saja pusat orientasi keilmuan, keagamaan, dan kemasyarakatan, melainkan juga pusat orientasi hampir seluruh aspek kehidupan. Mereka belajar ilmu-ilmu Islam kepada ulama dan memposisikan mereka sebagai pemimpin dalam kegiatan sosial-keagamaan. Khususnya dalam masyarakat tradisional, kepada ulama para santri juga berkonsultasi tentang pertanian, perdagangan, bahkan perjodohan.

Sementara itu, dalam pandangan kaum santri, seorang ulama atau kiai memiliki hubungan kerohanian yang sangat dalam dengan ulama-ulama lain dari zaman ke zaman, yang bersifat sambung-menyambung sebagai genealogi keilmuan dan terutama kerohanian. Maka, jika puisi (syair) Melayu-Indonesia dirintis oleh seorang ulama, alangkah penting kedudukan puisi dalam kehidupan kaum santri.

Dalam perkembangan mutakhir, puisi (dan sastra) Indonesia kian hidup pula di pesantren. Kian banyak pesantren mendirikan sanggar sastra (dan seni), mengadakan kegiatan sastra, menerbitkan publikasi sastra, mengikuti forum-forum sastra, dan lain sebagainya. Kian banyak pula penyair Indonesia berlatar pesantren, seperti Ahmad Mustofa Bisri, Ahmad Tohari, Emha Ainun Nadjib, D. Zawawi Imron, dan Acep Zamzam Noor—untuk menyebut sebagian saja. Makin banyak pula kiai-kiai muda menulis puisi, misalnya M. Faizi dan W.A.A. Ibrahimy.

Belakangan kian banyak pula sastra Indonesia menggali khazanah pesantren, baik dalam hal bentuk maupun tema. Bagi kaum santri, kehadiran sastra(wan) berlatar pesantren mewakili kehadiran mereka di panggung sastra Indonesia. Dengan beberapa fenomena mutakhir ini, kaum santri tampak mengintegrasikan diri dengan sastra Indonesia modern, seraya terus merawat tradisi puisi yang memang sudah hidup di pesantren.

Apa yang penting dari mengakarnya tradisi puisi di pesantren adalah bahwa ia pastilah membentuk watak puisi itu sendiri di kalangan santri, paling tidak sampai batas tertentu. Watak puisi adalah menyentuh perasaan dengan hati terbuka, atau menyentuh hati dengan perasaan yang paling halus. Puisi membebaskan manusia dari kecupetan perasaan dan kejumudan pikiran. Puisi menyalakan biru api perasaan, hati, dan jiwa seseorang. Ia menghidupkan keriangan hati, memberikan kepuasan menyala-nyala melalui ekspresi hal-hal yang sulit diungkapkan lewat bahasa formal dan diskursif.

Semua suasana batin itu—perasaan halus, pikiran terbuka, dan hati riang—merupakan prasyarat penting dalam menghayati agama. Dengan perasaan halus, pikiran terbuka, dan hati yang riang, seseorang akan menangkap segi-segi sublim dari agama, dan dengan demikian agama akan menjadi jalan keselamatan. Sebaliknya, dengan perasaan cupet, pikiran jumud, dan hati yang mampet, agama justru bisa menjerumuskan.

Dalam konteks itulah, agama memerlukan puisi. Dengan tradisi puisi yang demikian hidup dan mengakar di kalangan santri, bisa dipahami kenapa corak keislaman kaum santri tampak lentur dan terbuka.

Kolom terkait:

Syekh Hasyim Asy’ari dan Spirit Hari Santri

Jokowi, Pesantren, dan Proyeksi Perdamaian

Doa dan Puisi untuk Palestina

Dari Gus Dur ke Gus Mus untuk Perdamaian Palestina

Hari Santri: Pelecehan Seksual dan Wajah Layu Santri

Jamal D. Rahman
Jamal D. Rahman
Penyair, esais, dan dosen sastra UIN (Universitas Islam Negeri) Syarif Hidayatullah Jakarta. Pemimpin Redaksi "Jurnal Sajak". Mantan pemimpin redaksi majalah sastra "Horison" (2003-2016). Buku puisinya: Airmata Diam, Reruntuhan Cahaya, Garam-Garam Hujan, dan Rubaiyat Matahari. Bukunya yang akan segera terbit: Wahdatul Wujud: Artikulasi Islam dalam Sastra Indonesia Modern dan Secangkir Kopi Seorang Musafir (kumpulan esai). Penerima Hadiah Sastra Mastera (Majelis Sastra Asia Tenggara) 2016.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.