“Mengapa menulis?”
Setiap orang yang karena satu dan lain hal “dipaksa sejarah” untuk menjadi penulis—apa pun jenis tulisannya: puisi, cerpen, novel, naskah drama, esai, tulisan ilmiah, travel writing, dan seterusnya—tentu pernah sesekali terantuk dengan pertanyaan ini pada suatu waktu tertentu dalam rentang masa kepenulisannya.
Entah ia kemudian mencari jawab terhadap pertanyaan ini atau membiarkan pertanyaan ini berlalu begitu saja, hal itu tentu merupakan persoalan yang sepenuhnya pribadi.
Memang, tak setiap penulis harus menjelas-jelaskan alasan mengapa ia menulis, mengapa ia menghasilkan karya-karya tulis yang, kadang, begitu banyak jumlahnya. Namun, bagi saya pribadi, pertanyaan ini cukup mendesak untuk ditemukan jawabnya, terutama agar aktivitas yang cukup lama saya geluti ini punya dasar atau alasan untuk terus dilakukan.
Pertanyaan ini mungkin pada awalnya terdengar sederhana dan setiap penulis saya kira bisa segera memberikan jawaban cepat bahwa ia menulis karena suka (atau hobi), menulis untuk mengisi waktu luang, atau untuk “membunuh” waktu. Pendeknya, setiap penulis pada mulanya menulis karena “iseng” belaka, apa pun definisi “iseng” di sana.
Memang, bisa dipastikan bahwa semua penulis semula menulis karena “iseng”. Namun, ketika kita disadarkan oleh ke-“iseng”-an itu bahwa kita memiliki bakat, ketika jumlah tulisan yang kita hasilkan semakin banyak, dan ketika secara bertahap kita mulai menekuni “profesi” ini secara lebih serius, jawaban-jawaban sederhana (atau sekenanya) di atas mulai terasa tidak memadai.
Benarkah kita menuliskan karya-karya kita karena “iseng” belaka? Hanya karena “coba-coba”, atau hobi, atau mengisi waktu luang, atau “membunuh” waktu belaka? Atau ada sesuatu yang lain yang secara sadar atau tak-sadar (biasanya yang kedua ini yang lazim terjadi) sedang kita kejar, sedang kita perjuangkan dengan menulis, melalui tulisan?
Tampaknya kita harus mencari jawaban lain bagi akitivitas yang menyita begitu banyak waktu dan menguras sebagian besar energi kita ini, namun yang sebenarnya kurang “menjanjikan” sebagai sandaran hidup.
Sekali lagi, mengapa kita menulis? Mengapa kita terus menulis? Mengapa kita terus menggoreskan huruf demi huruf di sebuah negeri di mana menulis kurang bisa dijadikan sebagai mata pencaharian dan pada sebuah masa ketika apa yang bisa ditonton (baca: budaya visual) lebih digandrungi ketimbang apa yang dituliskan (baca: budaya tulis)?
Jawaban yang cukup layak diperhitungkan, dan bagi saya cukup memuaskan, bisa didapatkan dari negeri seberang.
Nietzsche, filosof Jerman abad ke-19 itu, pernah mengatakan, kurang lebih, bahwa setiap penyair (sesungguhnya: setiap penulis) tidak pernah merasa puas dengan realitas. Dan karena ia tidak puas dengan realitas, ia berusaha mengubah realitas, menjadikannya lebih tertahankan, lebih bisa diterima, dan lebih memuaskan baginya—dan mungkin bagi setiap orang yang lain.
Demikianlah, menurut saya, sejatinya setiap penulis menulis untuk membuat realitas lebih tertahankan, lebih bisa diterima, dan lebih memuaskan, paling tidak bagi dirinya sendiri. Dengan kata lain, menulis berarti memanipulasi realitas.
Saya menggunakan kata memanipulasi karena, menurut saya, menulis berarti mendramatisasi realitas, memasukkan elemen-elemen yang kita anggap seharusnya ada dalam realitas, membuang elemen-elemen yang kita anggap seharusnya tidak ada dalam realitas, memperlihatkan kepada para pembaca kita bahwa ada sesuatu yang salah dalam realitas.
Dan, dengan melakukan semua ini, kita secara langsung atau tidak langsung ikut terlibat dalam menjadikan dunia ini tempat yang lebih baik, tempat yang lebih layak.
Bagi saya, ketika seorang penulis menulis sebuah karya (apa pun bentuk karya itu), ia hendaknya secara sadar berusaha melihat karya-karyanya sebagai sebuah medium untuk memperjuangkan sesuatu, misalnya suatu pandangan dunia tertentu.
Dengan melakukan hal ini, ia diandaikan memiliki peran atau andil dalam—memakai istilah yang sedikit hiperbolis—“mengubah dunia” menjadi lebih baik atau lebih adil melalui karya-karyanya. Ada sebuah ungkapan menarik, entah dari siapa asal ungkapan ini, yang selalu teringat kapan pun saya menulis: “Kau mungkin tak punya harta dan tahta, namun kau punya pena.”
Ya, saya percaya dengan sebuah pena setiap penulis bisa melibatkan dirinya dalam sebuah perjuangan melawan ketidakadilan atau kediktatoran, misalnya, dan terlibat dalam sebuah upaya untuk menjadikan dunia ini lebih baik dan lebih adil.
Baca juga:
Pengarang “Mati”, Pembaca Lahir
Ketika Pajak dan Api Memadamkan Literasi
Jokowi, Literasi, dan Proyek Besar Buku