Sibuk membincangkan pendidikan karakter hingga lagi-lagi Presiden Joko Widodo “menganulir” Penguatan Pendidikan Kaarakter (P2K) versi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan semakin menegaskan bahwa kita sebenarnya belum paham betul tentang apa itu karakter. Kita seakan-akan berpikiran bahwa pendidikan karakter hanya bisa diwakilkan mata pelajaran agama dan moral.
Padahal, karakter itu bersembunyi dan tersembunyi di sekitar kita. Kita hanya perlu mencarinya lebih tekun. Apakah itu di mata pelajaran biologi atau matematika. Dalam mata pelajaran sastra yang bisa lesap dalam mata pelajaran lainnya, karakter bahkan bisa digali dan ditumbuhkan.
Conrad William Watson menyebutnya dengan sederhana: bahwa cerita fiksi dan pendidikan karakter itu beririsan.
Watson kemudian mengutip Robin Dunbar yang menguraikan hasil penelitiannya bahwa dari zaman purba sampai sekarang, manusia sangat terpengaruh cerita fiksi. Manusia tak akan bisa terbang kalau tak terpengaruh cerita fiksi. Itulah sebabnya, Albert Einstein mengatakan bahwa khayalan lebih “menakjubkan” daripada logika. Sebab, logika hanya akan mengantar kita dari A ke B, sementara khayalan akan mengantar kita ke mana kita suka.
Kita melewati masa nomaden adalah karena fiksi. Manusia selamat dari peradaban kuno bukan karena adaptasi, tetapi karena imajinasi. Dinosaurus, meski kekar dan bahkan ditengarai menjadi pucuk rantai makanan, tak bisa beradaptasi karena memang tak bisa berimajinasi sehingga hewan paling besar sepanjang sejarah itu punah.
Tetapi, siapa dapat mengukur kebesaran dinosaurus? Siapa bisa membuktikan bahwa ada suatu masa di mana dinosaurus idup? Siapa bisa mengatakan dinosaurus pernah ada? Siapa pula bisa menerka bentuknya? Itu semua berkat kesukaan kita berimajinasi.
Tindakan Produktif
Di sinilah nyata bahwa imajinasi hampir menjadi segalanya. Rachmawati dan Kurniaty (2010) mengartikannya sebagai kemampuan berpikir divergen yang dilakukan tanpa batas, seluas-luasnya dan multiperspektif dalam merespons suatu stimulasi. Itulah mengapa saya sangat setuju agar gerakan membaca selama 15 menit di ruang kelas sebelum mata pelajaran dimulai harus dilakukan berkelajutan. Sebab, tanpa sadar, objek bacaan itu kelak akan membangun karakter kita. Kemampuan berpikir kita juga akan diletupkan. Secara tak langsung, ini pasti akan mempengaruhi tingkah dan cara berpikir kita di kemudian hari.
Pendeknya, membaca (apalagi karya sastra) adalah tindakan produktif. Joko Pinorbo mengatakannya begini: “(jika) masa kecil kau rayakan dengan membaca; kepalamu berambutkan kata-kata.” Artinya, membaca (karya sastra) adalah berinvestasi masa depan.
David C. Mc. Clelland—psikolog sosial asal Amerika yang sangat tertarik pada masalah-masalah pembangunan—telah membuktikan itu dalam penelitiannya. Konon, Clelland meneliti faktor kemajuan sebuah bangsa. Dia membandingkan Inggris dan Spanyol yang pada abad ke-16 merupakan dua negara raksasa.
Bedanya, sejak saat itu, Inggris makin jaya, tetapi Spanyol malah melempem. Mengapa? Sebagaimana dimuat dalam buku Arief Budiman berjudul Teori Pembangunan Dunia Ketiga (1995), ternyata faktor penentunya ada pada muatan cerita buku. Kelihatannya, dongeng dan cerita anak-anak di Inggris pada awal abad ke-16 mengandung semacam virus yang menyebabkan pembacanya terjangkiti penyakit “butuh berprestasi” (need for achievement).
Sebaliknya, Spanyol malah didominasi cerita romantis, lagu-lagu melodramatis, dan tarian yang justru membuat penikmatnya lunak hati, meninabobokan.
Artinya, sastra ternyata bukan semata karangan-karangan khayalan biasa. Sastra adalah jiwa yang menubuh. Sastra adalah pelecut dan penentu. Bahkan, sastra adalah pencipta. Konon, Indonesia pun lahir dari puisi. Parni Hadi menggumamkan bahwa secara genealogis, teks Sumpah Pemuda asalnya dapat dirunut dari puisi Muhammad Yamin (23 Agustus 1903-7 Oktober 1962), “Tanah Air” (Jong Sumatra, Juli 1920), “Bahasa, Bangsa” (Februari 1921), “Tanah Air” (9 Desember 1922), yang lebih panjang dari puisi sebelumnya, dan “Indonesia, Tumpah Darahku”, 26 Oktober, 1928. Sumpah Pemuda sendiri dipahami sebagai puncak prosa dari gabungan puisi itu.
Mohammad Iqbal, sang penyair dan filsuf Pakistan, juga menguatkan hal yang sama bahwa negara lahir dari tangan penyair. Riset bahkan membuktikan bahwa puisi (sastra) dapat mengendurkan denyut jantung, dan irama napas jadi harmoni (International Journal of Cardiology, 6/9/2002). Ini semakin meneguhkan kepada kita bahwa sastra itu tidak sekadar memberi hidup, tetapi juga menghidupi. Sastra bukan khayalan-khayalan tukang cendol. Sastra adalah dorongan untuk berpikir dan berkarya.
Ini dapat diterima dengan analogi sederhana. Bahwa segala kenyataan saat ini, misalnya, adalah imajinasi di masa lalu. Itu sama halnya dengan kalimat ini: bahwa segala imajinasi saat ini adalah kenyataan di masa depan. Hal itu berarti bahwa kalau tak berimajinasi, maka kenyataan di masa depan hanyalah olok-olok.
Karena itu, mengekor pada Eagleton (1983), imajinasi harus dipandang sebagai kekuatan yang berdiri sendiri, otonom, yang dapat melampaui batas-batas realitas. Imajinasi adalah bibit unggul sebuah kenyataan
Anda pernah dengar dongeng Atlantis dalam hikayat Timaeus dan Critias karangan Plato pada 428 SM-348 SM? Negeri dalam dongeng ini sangat menginspirasi sehingga kini sedang dicari-cari. Padahal, kalau ngotot dengan logika, untuk apa ini dicari? Tetapi, di sinilah sastra mampu melecutkan tindakan manusia.
Maka, sekaliber Heinrich Himmler (ilmuwan NAZI) pada 1938 harus menelusuri Tibet. Pada tahun 2005 Arysio Santos pun—pakar fisika dan nuklir dari Brazil—mencari dan akhirnya mengklaim telah menemukan Atlantis. Letaknya, konon, ada di Indonesia. Stephen Oppenheimer juga melakukan dan mengklaim hal yang sama.
Imajinasi Masa Depan
Tulisan ini bukan untuk mencari kebenaran klaim itu. Tulisan ini lebih pada bagaimana agar kita kembali mengakrabi dunia sastra. Sebab, kini, sastra seakan tertanggalkan hingga dongeng pun bertukar menjadi game digital. Seperti kata Indra Tranggono, dongeng sudah nyaris tak hadir dalam kehidupan anak-anak. Akibatnya, kehidupan semakin pragmatis-materialistis. Dunia keluarga lantas tak lagi jadi sarang yang hangat. Anak-anak bertukar sikap menjadi semakin soliter, personal, dan individual, bahkan egoistik.
Ini tak terjadi—sekurang-kurangnya dapat diminimalisasi—andai sastra hadir pada pendidikan, entah itu di rumah, terutama kalau diintegrasikan dengan sekolah. Jangan lagi khawatir pada doktrin klasik bahwa sastra adalah khayalan. Membaca(kan) dongeng justru pekerjaan produktif dalam bentuk investasi.
Harvard Business Review pernah menurunkan artikel menarik “Storytelling that Moved People” terkait kisah McKee. McKee adalah pendongeng inspiratif sehingga tak kurang anak didik yang dia dongengi telah mengoleksi 18 Academy Awards, 109 Emmy Awards, 19 Writers Guild Awards, dan 16 Directors Guild of America Awards.
Ini logis karena dalam pemahaman McKee, cerita (dongeng) adalah perangkat terbaik untuk merangkul orang lain dan menyentuh emosi mereka. Dengan kata lain, dengan sastralah kita bisa menyentuh dan mengolah karakter siswa. Sebab, sebagaimana dikutip Doni Koesoema yang meminjam istilah Blaise Pascal (hati memiliki akalnya sendiri), bahwa pendidikan kararker (pekerti) akan berhasil jika sudah menyentuh rasionalitas hati. Maksud saya, mari integrasikan sastra dengan pendidikan karakter karena sastra adalah imajinasi masa depan!
Pendidikan karakter itu tersembunyi di mata-mata pelajaran kita. Tak usah ribut-ribut mencarinya ke sana kemari lagi! Tak usah pula politik merecokinya sedemikian rupa!
Kolom terkait:
Mengisi Kemerdekaan, Memperkuat Karakter