Beberapa waktu lalu usai Anies Baswedan mengunggah foto dirinya sedang membaca buku “How Democracies Die” di salah satu akun media sosialnya, serangan bertubi-tubi mulai dibidik ke Anies dengan pelbagai amunisi. Meski hanya sebuah foto, pro dan kontra bermunculan merespon postingan ini.
Ada yang menyebut Anies tengah mengarahkan sasarannya kepada keadaan perpolitikan Tanah Air yang memang menunjukkan kematian demokrasi. Ada juga yang menyatakan Anies hanyalah tipe orang yang pandai bicara tapi nihil aksi. Namun tidak sedikit yang memuji bahwa sejatinya Anies hendak menegaskan bahwa seorang pemimpin adalah seorang pembaca yang serius.
Foto Anies ini mengingatkan saya kepada sebuah peribahasa terkenal dalam Bahasa Inggris, “A picture is worth a thousand words” (satu gambar bernilai ribuan kata atau satu gambar setara dengan seribu kata). Bagi saya, foto ini adalah sebuah keniscayaan, bahwa seorang pemimpin adalah seorang pembaca. Harry S. Truman, Presiden Amerika Serikat ke-33, berkata, “Not all readers are leaders, but all leaders are readers” (Tidak semua pembaca adalah pemimpin, tetapi semua pemimpin adalah pembaca). Artinya pemimpin adalah pembaca.
Kalau kita mengacu kepada Amerika Serikat, banyak presiden negara Paman Sam bukan hanya suka membaca tapi juga penulis. Ada setidaknya 18 otobiografi yang ditulis oleh mantan presiden Amerika Serikat, di antaranya George W. Bush, Bill Clinton, George H. W. Bush, Ronald Reagan, Jimmy Carter, Gerald Ford, Richard Nixon, Lyndon B. Johnson, Harry S. Truman, Dwight D. Eisenhower, Herbert Hoover, Calvin Coolidge, Martin Van Buren, dan Theodore Roosevelt.
Bahkan beberapa hari lalu, mantan presiden Obama meluncurkan karya terbarunya, A Promise Land. “Lebih dari 887.000 unit buku terjual dalam semua format dan edisi di AS dan Kanada pada hari pertama penerbitan, termasuk untuk pre-order. Ini adalah buku pertama terbesar untuk total penjualan, jika dibandingkan dengan buku apapun yang pernah kami terbitkan,” kata pihak penerbit.
Kalau perkaranya tak sepakat dengan substansi buku, ya silahkan ditulis resensinya. Sebagai catatan saja, berbagai pihak yang memuji substansi buku— yang ditulis oleh dua pakar politik dari Universitas Harvard Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt—bukan orang sembarangan, antara lain Tymothy Snyder, penulis On Tyranny; Francis Fukuyama, penulis Political Order and Political Decay; dan Larry Diamond, penulis The Spirit of Democracy. Harian The Washington Post juga mengapresiasi hasil karya dua ilmuan politik kelas wahid ini.
Apakah membaca menentukan kualitas kepemimpinan? Jawabannya adalah pasti. Pada dasarnya seorang pemimpin setidaknya perlu memiliki dua kemampuan dasar; kemampuan untuk menyerap sebanyak mungkin informasi dan kemampuan untuk memimpin orang lain guna mencapai tujuan bersama. Pemimpin visioner adalah pembaca tekun sehingga mampu memutakhirkan (update) dan membentuk kembali (reshape) visi dan misi kepemimpinannya.
Sejarah Islam mencatat bahwa ayat pertama yang turun kepada Nabi Muhammad adalah perintah membaca, “Bacalah dengan nama Tuhanmu: (QS Al-‘Alaq:1). Dua dekade pasca wahyu pertama, ia menjadi pemimpin besar di jazirah Arab yang hingga sekarang dipercayai sebagai pemimpin paling berpengaruh dan berhasil dalam sejarah umat manusia. Wajarlah bila kemudian Michael H. Hart dalam bukunya The 100, a Ranking of The Most Influential Persons in the History (1978) memilih dan menempatkan Muhammad pada urutan pertama.
Manusia diajarkan untuk memproduksi teks. Aktivitas ini mensyaratkan membaca sebelum menulis. Membaca lebih mendasar dan vital bagi literasi dan kepemimpinan. Kita membaca lebih banyak daripada menulis. Sepanjang sejarah manusia jumlah pembaca melebihi jumlah penulis. Secara definitif, penulis adalah pembaca yang baik, sedangkan pembaca yang baik belum tentu penulis yang baik.
Wahyu pertama, yang merupakan dialog antara Malaikat Jibril dan Nabi Muhammad, menandai awal kepemimpinan dan menggambarkan gagasan penting literasi. Ini juga menunjukkan bahwa dialog kritis amat krusial untuk mengembangkan kepemimpinan. Dengan kata lain, dalam Islam literasi merupakan kebutuhan mutlak dalam kepemimpinan. Tidak ada kepemimpinan tanpa keterampilan membaca dan menulis yang kritis.
Umat Islam percaya bahwa Alquran adalah kitab suci yang wajib ditaati. Namun hanya sedikit yang paham bahwa literasi adalah perintah Allah. Belajar membaca dan menulis adalah bagian dari mengamalkan ajaran Islam yang disebarkan oleh Nabi Muhammad. Diriwayatkan bahwa di awal kenabiannya Nabi membebaskan tahanan non-Muslim dengan syarat mengajarkan keterampilan membaca dan menulis dasar bagi Muslim yang buta huruf.
Mengingat fakta bahwa mayoritas penduduk Indonesia adalah Muslim, negara ini seharusnya memiliki sistem pendidikan yang sangat baik untuk membekali kaum Muslimin dengan keterampilan membaca dan menulis yang hebat. Mayoritas politisi, pemimpin, birokrat dan pengambil keputusan juga Muslim. Sayangnya mereka bukanlah pembaca dan penulis yang baik. Lalu bagaimana kita mengharapkan mereka memimpin konstituen dan rakyat?
Rendahnya tingkat literasi sebagian besar pemimpin dan politisi kita merupakan bukti gagalnya sistem pendidikan nasional. Kenyataannya siswa kita harus mempelajari mata pelajaran yang lebih banyak dari rekan-rekannya di Singapura. Namun kemampuan literasi siswa Indonesia masih saja berada pada urutan bawah. Hal ini menunjukkan bahwa kuantitas mata pelajaran tidak menunjukkan mutu pendidikan.
Sebagai warga mayoritas, Muslim Indonesia perlu diingatkan untuk meningkatkan literasi. Menegakkan kebijakan untuk mengembangkan literasi tidak hanya menguntungkan secara politik tetapi juga merupakan praktik dari ajaran Islam itu sendiri. Sayangnya hal ini masih diabaikan oleh banyak sarjana Muslim. Banyak yang berpandangan sempit bahwa literasi sebatas kemampuan membaca Alquran dan referensi bahasa Arab tradisional.
Pendidik Muslim, baik di sekolah umum dan sekolah Islam, perlu mengurangi jumlah mata pelajaran sekolah dengan mengajarkan kepada siswa hal-hal yang esensial. Kuantitas, sebagaimana terlihat dalam sistem pendidikan nasional, bertentangan dengan kualitas.