Kamis, Oktober 3, 2024

Pemerkosaan, Instrumen Paling Brutal Budaya Patriarki

Arli Aditya Parikesit
Arli Aditya Parikesit
Pengajar di STAI Al-Hikmah, Jakarta. Meraih PhD bidang bioinformatika dari Universitas Leipzig, Jerman.
sos-yuyun2
Aktivis yang tergabung dalam Komite Aksi Perempuan menyalakan lilin saat aksi “#SOS (Save Our Sister): Bunyikan Tanda Bahaya! menyatakan Indonesia Darurat Kekerasan Seksual” di Jakarta, Rabu (4/5). ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja

Pengusung budaya patriarki percaya bahwa “aku berkuasa, maka aku ada”. Instrumen yang mereka gunakan untuk menancapkan kuku kekuasaannya sangat beragam. Mulai dari yang sangat halus seperti melarang perempuan berpolitik dan kerja, sampai yang paling brutal yaitu pemerkosaan dan bahkan pembunuhan keji.

Malala Yousafzai, pemenang Nobel Perdamaian, pernah mengalami percobaan pembunuhan karena mengadvokasi hak perempuan untuk sekolah. Namun, bukan berarti instrumen yang halus dan brutal saling bekerja sama dan mendukung, karena umumnya mereka berada pada pihak yang berbeda. Tetapi “budaya macho” yang mereka usung tetap mengarah pada supremasi lelaki. Dalam kacamata patriarki, lelaki yang sama saja dengan perempuan sebagai entitas biologis dikonstruksikan secara sosial sebagai “superman”.

Kasus Yuyun telah membuka mata kita bahwa perempuan dijadikan obyek akan perversi (tingkah laku yang didorong oleh kelainan seksual) pendukung patriarki. Pemerkosaan sangat brutal, yang diganjar hanya dengan hukuman paling tidak 10 tahun penjara, melahirkan pertanyaan sangat serius: “Benarkah negara ini melindungi perempuan?”

Sungguh tepat perkataan Simone de Beavoir bahwa seseorang tidak dilahirkan sebagai perempuan, namun “dijadikan” sebagai perempuan. Proses “dijadikan” ini adalah obyektifikasi oleh hasrat perversi para eksponen patriarki. Perversi tersebut tidak hanya berhenti pada penyimpangan seksual maupun pemerkosaan, namun berlanjut menjadi kejahatan kemanusiaan yang bernama pembunuhan.

Pendukung budaya patriarki selalu berdalih bahwa perempuan diperkosa karena pakaian yang mereka kenakan terlalu merangsang pria. Namun hal tersebut menutupi fakta bahwa banyak perempuan yang mengenakan pakaian tertutup tetap saja diperkosa.

Kemudian, miras dan narkoba disinyalir sebagai penyebab utama pemerkosaan. Akan tetapi, pertanyaan muncul. Mengapa Belanda yang melegalkan ganja dan miras justru memiliki angka pemerkosaan maupun kriminalitas yang rendah?

Menunjuk pakaian, narkoba, maupun miras tidak akan menyelesaikan masalah, karena itu bukan penyebab utama (cardinal cause) pemerkosaan. Penyebab utama pemerkosaan tetaplah budaya patriarki itu sendiri. Negara Eropa Utara seperti Belanda, Jerman, dan negara-negara Skandinavia adalah bangsa yang berhasil memperjuangkan emansipasi perempuan, sehingga posisi perempuan cenderung lebih dihargai.

Berkaca pada Eropa Utara, bukan berarti berpakaian “you can see”, narkoba, maupun miras adalah sesuatu yang baik. Ketiga hal tersebut sangat tidak sesuai dengan kultur ketimuran kita dan hukum positif kita untuk kasus narkoba. Tetapi mengendalikan ketiganya akan sangat minimal efeknya bagi perlindungan perempuan, jika budaya patriarki tidak dikikis.

Jika budaya patriarki dikikis, maka masalah pakaian, narkoba, maupun miras akan bisa dikendalikan dengan lebih baik lagi. Hal tersebut karena perempuan akan berpartisipasi lebih baik lagi dalam membuat negara kita lebih kuat.

Budaya patriarki yang memarjinalkan perempuan tidak akan membawa bangsa ini ke mana-mana. Sebagai contoh, salah satu sebab mengapa Nazi Jerman kalah di Perang Dunia II karena enggan memobilisasi perempuan dalam pertahanan negara. Ketika itu dilakukan, semua sudah terlambat. Pendapat Hitler “Perempuan mengurus rumah tangga saja!” ternyata menghancurkan negaranya sendiri.

Kita ingin perempuan berpartisipasi penuh dalam pembangunan negara ini dan membuat negara ini lebih baik. Tentu saja hal itu hanya bisa dilakukan jika mereka dijauhkan dari instrumen patriarki brutal seperti pemerkosaan. Kita tidak mau perempuan menjadi enggan menyumbangkan ide-ide genial mereka untuk perkembangan bangsa, karena takut dengan ancaman dominasi patriarki.

Indonesia yang kuat adalah Indonesia yang selalu memberi kesempatan bagi perempuan untuk menjadi maju. Menurut Fatimah Mernissi, obyektifikasi perempuan oleh budaya patriarki sudah berjalan begitu jauh, sehingga perempuan harus digambarkan sebagai manja dan dependen. Jika perempuan menjadi independen, dia akan dimusuhi, demikian lanjut Mernissi. Hal ini jelas sesuatu yang sangat berbahaya dan harus dilawan.

Di negara kita, ketika budaya patriarki masih sangat dominan, advokasi dan kampanye tanpa henti akan hak-hak perempuan memang diperlukan. Kampanye tersebut harus jelas dan lugas, yaitu dengan mengarahkan tindakan pemerkosaan sebagai extraordinary crime seperti aksi terorisme, korupsi, maupun penjualan narkoba. Kampanye tersebut juga tak lupa mengarahkan pendukung budaya patriarki sebagai pihak yang bertanggung jawab atas dominasi relasi kuasa terhadap perempuan, di mana pemerkosaan adalah instrumen kekuasaan mereka yang paling brutal.

Dalam konteks ini, media sosial adalah instrumen kampanye yang sangat baik. Kasus Yuyun sudah dijadikan kampanye kesadaran terhadap ancaman pemerkosaan oleh berbagai pihak. Avatar kampanye kasus Yuyun juga sudah tersedia. Kita tidak perlu sok optimistis dengan meyakini bahwa tragedi Yuyun adalah kasus terakhir.

Selama bangsa ini masih dihantui budaya patriarki, maka kasus seperti Yuyun bisa terjadi lagi. Hukuman yang terlalu ringan bagi pemerkosa dan pembunuh jelas bukan instrumen pencegah yang baik bagi pemerkosa. Di Amerika Serikat, misalnya, pemerkosa dan pembunuh dapat dijatuhi hukuman suntk mati, tergantung kasusnya.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa di dalam penjara kita, para napi masih bisa melanjutkan kejahatannya. Razia akhir-akhir ini terhadap narkoba di penjara membuktikan hal tersebut. Bagaimana jika pemerkosa dan pembunuh tersebut keluar dari penjara setelah masa tahanan 10 tahun tersebut dipotong oleh berbagai remisi?

Hal ini harus menjadi pemikiran kita bersama. Sebab, jangan-jangan hukuman ringan tersebut tidak lebih dari instrumen untuk melestarikan budaya patriarki.

Arli Aditya Parikesit
Arli Aditya Parikesit
Pengajar di STAI Al-Hikmah, Jakarta. Meraih PhD bidang bioinformatika dari Universitas Leipzig, Jerman.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.